Sepasang orang tua sedang duduk santai di tengah ladang lahan pertanian miliknya. Mereka tampak mesra dengan raut wajah bahagia. Hingga suatu saat, kemesraan itu terusik oleh orang asing yang datang membelah rangkulan pasangan paruh baya itu. Sang pengacau itu tanpa nama dan di balik punggungnya hanya tertulis angka "19".
Sosok berwajah garang yang sedang menggigit uang, membawa cangkul dan alat penyiram tanaman, itu tengah berjalan di ladang. Ia kemudian menggali sebuah lubang dan menimbun uang yang semula berada di mulutnya. Tak lama kemudian, ia pergi. Sepasang orang tua tadi berubah menjadi beringas menggali lubang itu. Kemesraan mereka sirna.
Lewat lakon itu, Moch Felix Febianto menyampaikan kekacauan masif dan dramatis akibat pandemi Covid-19. Petani dengan busana bernomor punggung 19 ia simbolkan sebagai wabah virus Covid-19 yang datang membawa petaka. "Awal kemesraan dan ketenteraman hidup kedua petani itu buyar ketika Covid-19 datang," tutur Felix dalam videonya berjudul Jalar.
Video karya Felix itu adalah satu dari 217 karya video yang dihadirkan dalam Pameran Daring Manifesto VII bertema “Pandemi”, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran “Manifesto” yang digelar rutin dua tahun sekali itu kali ini bisa disaksikan di laman Galnasonline.id sejak 8 Agustus lalu hingga 6 Desember 2020.
Karya lain, milik Renee Melchert Thorpe, berjudul Covid Zoom Chat menyajikan fenomena baru yang muncul di tengah pandemi. Dalam video berdurasi 4 menitan itu, Renee mengabstraksi pertemuan yang harus terjadi di ruang virtual. Ia pun menangkap beberapa kecemasan dan kebingungan di masyarakat. "Karya ini memungkinkan saya bermain dan mengubah realitas serta ilusi pandemi melalui kolase gambar dan sensasi," ujar Renee.
Renee, yang saat ini menetap di Bali, melihat orang-orang beralih ke televisi dan Internet untuk menjaga koneksi ke dunia. Di tengah pembatasan gerak karena harus mengikuti protokol kesehatan, gambaran dunia datang melalui satelit dan Internet. Orang-orang jauh pun terhubung hanya melalui ruang obrolan virtual bernama Zoom.
Kerisauan yang sama diungkapkan oleh Evy Yonathan. Sebagai seniman keramik Ibu Kota, Evy nyaris frustrasi dengan keadaan. Tak hanya itu, kesimpangsiuran instruksi dan informasi dari pemerintah menambah beban psikis. Lewat karya berjudul Tolong Gusti I Frustrasi (TGIF), Evy menyampaikan betapa pandemi membuat semua sektor kehidupan manusia berubah drastis sekaligus tergagap. "Sebagai seniman, saya merasa terganggu karena rasa resah, gelisah, dan ketakutan masih dihadapi. Tapi saya pikir seniman harus tetap berkarya," ujar Evy.
Bagi Evy, guyon-guyon masyarakat menyikapi pandemi memiliki makna cukup dalam. Ia pun menuangkan ekspresinya dalam patung-patung kecil tanah liat dan glasir dilengkapi beberapa komentar warganet yang menarik tentang bencana ini. Contohnya, "Maaf jalan di London” (salah tulis dari lockdown), "Ceritanya lagi ngayal yang enak-enak, padahal lagi stress", "Get up, dress up, show up, never give up", ataupun "PSBB: Pernah Sayang Belum Jodoh”.
Tak ada yang bisa menerawang kapan situasi pandemi ini akan berakhir. Dhanurendra Pandji mendeskripsikan hal itu dengan nyala api dari sebuah korek gas di ruangan gelap. Api itu tak bertahan lama karena mati ditiup embusan napas. Kemudian, korek itu menyala lagi, lalu mati lagi. Dalam karya yang berjudul Punishment itu, Pandji mengekspresikan tempo kehidupan yang melambat dan semakin terpenjara hingga terjebak dalam sebuah siklus tanpa ujung.
Bagi Pandji, situasi pandemi membuat masyarakat merefleksikan hal-hal mendetail dan spesifik yang berkenaan dengan rutinitas dalam masa penjarakan sosial. "Seperti sebuah hukuman, baik oleh situasi maupun oleh sistem, untuk melakukan hal tak bermakna selagi berjuang untuk terus menggerakkan motor kehidupan," kata Pandji.
Salah satu kurator pameran, Rizki A. Zaelani, menuturkan tema “Pandemi” ini relevan dengan tujuan memotret perkembangan praktik seni rupa melalui keseharian publik yang banyak berubah akibat pandemi Covid-19. Sebelumnya, biennale Galeri Nasional itu khusus mengundang perupa rekomendasi kurator, namun kini dibuka untuk publik luas.
Dalam kurasinya, Rizki menuturkan pameran daring ini dibagi dalam dua tipe peserta pameran: seniman dan non-seniman. Meski jenis karya yang masuk berbentuk video, hasilnya juga beragam. Ada karya video lukisan, tarian, pemeranan teater, hingga karya yang dibuat dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang direkam dalam video.
"Variasi ini turut menampilkan perkembangan seni media baru (new media art) di Indonesia yang semakin menggeliat di tengah tantangan dan kompleksitas," tutur Rizki.
Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto, berujar Pameran Daring Manifesto VII “Pandemi” merupakan langkah inovasi dalam merespons perubahan situasi. "Dengan kerja kreatif dan upaya terbaik, harapan kami ini bisa diterima oleh publik dan menjadi referensi untuk pameran daring yang bisa terus dikembangkan agar lebih baik di masa depan."
LARISSA HUDA
Visualisasi Realitas Pandemi