Agresi Militer Belanda ke II atau Operasi Gagak diawali di Yogyakarta, 19 Desember 1948. Saat itu, Yogyakarta menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Selama masa agresi tersebut, sekelompok anak-anak dikerahkan untuk mendokumentasikan peristiwa masa-masa agresi. Mereka mengabadikan momen-momen perang melalui lukisan. Anak-anak itu adalah murid Dullah, pelukis di Sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM).
Dullah lahir di Surakarta, 19 September 1919. Sejak kecil ia telah akrab dengan seni karena tumbuh dalam keluarga pembatik. Tak banyak catatan tentang bagaimana mulanya ia tertarik dan belajar melukis. Berdasarkan lukisan tertua yang disimpan di Museum Dullah, Surakarta, diperkirakan ia sudah mulai berkarya pada paruh akhir 1930-an.
Saat agresi militer pecah, Dullah sempat mengungsi. Lalu ia kembali dan memiliki ide menurunkan anak-anak didiknya berusia 10-15 tahun untuk melukis suasana perang. Mereka antara lain adalah Mohammad Toha, Mohammad Affandi, Sardjito, Sri Suwarno, dan F.X. Supono Siswosuharto. Dullah membekali mereka dengan pensil, cat air, dan kertas berukuran 7 x 10,5 cm. Selepas melukis, mereka menyerahkan hasilnya kepada Dullah atau istrinya untuk disembunyikan.
Berjudul The Paintings of War: Aggression in The Eyes of Children, film dokumenter ini menyuguhkan gambar-gambar karya anak-anak itu dan menceritakan perjuangan mereka dalam menciptakan karya seni lukis fenomenal. Ada yang menyamar sebagai penjaja rokok hingga mengintip lewat sela-sela bilik. Bahkan, ada yang tertangkap dan hilang tak berbekas.
Film ini juga mengajak penonton untuk melihat peristiwa sejarah dengan perspektif estetis dan sudut pandang anak-anak. Bagaimana mereka menggambarkan berbagai peristiwa kejam. Meski dalam situasi tak biasa, lukisan-lukisan mereka tetap menampilkan teknik yang khas masing-masing.
Sutradara Agustinus Dwi Nugroho mengatakan lukisan perang yang ada di kanvas-kanvas kecil itu bukanlah lukisan biasa, tapi memiliki nilai sejarah. Apalagi dilukis oleh anak-anak dengan berani. Ia berharap film berdurasi 27 menit ini mampu menangkap semangat perjuangan dan nasionalisme dari sudut pandang anak-anak tersebut sebagai pejuang maupun seniman.
“Diharapkan film ini mampu menginspirasi dan mengedukasi kita semua yang merefleksikan sejarah perjuangan bangsa ini,” ujar Agustinus, seperti dikutip dari situs resmi Montase Film, yang memproduksi film ini.
Sutradara kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, 27 Agustus 1990, itu dikenal aktif di dunia film sejak mengambil pendidikan master di perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Ia menjadi anggota Komunitas Film Montase sejak 2008. Beberapa film pernah ia sutradarai, baik fiksi maupun dokumenter, antara lain The Sacred of Kudus (2014), Ambarrukmo: Kedaton dalam Pusaran Waktu (2016), Arca (2015), dan Reco (2016).
The Paintings of War beberapa kali masuk dalam nominasi berbagai festival film bergengsi sejak pertama kali dirilis pada 2016. Terakhir, film ini menjadi nomine film dokumenter pendek terbaik Piala Maya 2020 di Jakarta. Film ini kini bisa dinikmati di channel YouTube Montase Production.
INGE KLARA SAFITRI
The Paintings of War: Aggression in The Eyes of Children
Produser: Himawan Pratista
Sutradara: Agustinus Dwi Nugroho
Penulis Naskah: Agustinus Dwi Nugroho
Supervisi: Mikke Susanto, Eka Bhuwana
Cinematographer: Antonius Rah Utomo, Febrian Andhika, Fandri Lis Malindra, Rian Apriansyah
Audio: Gregorius Yogaswara Murti, Fandri Lis Malindra, Rian Apriansyah
Editor: Moh. Azri
Score: Gregorius Yogaswara Murti
Penghargaan:
- Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016, Nominasi Film Dokumenter Umum Terbaik, Manado, Indonesia
- 12th Belize International Film Festival 2017, Nomination for Best Short Documentary – Screening, Belize
- 5th Darbhanga International Film Festival 2018, Official Selection, Bihar, Indonesia
- 48th Roshd International Film Festival 2018, Official Selection, Teheran, Iran
- 8th Piala Maya 2020, Nominasi Film Dokumenter Pendek Terbaik, Jakarta, Indonesia