Homepage
  • login/register
  • Home
  • Berita Utama
  • Editorial
  • Nasional
  • Ekonomi
  • Metro
  • Internasional
  • Olahraga
  • Sains
  • Seni
  • Gaya Hidup
  • Info Tempo

koran tempo

1
Agustus
2020
Dukung Independensi Tempo
  • Home
  • Berita Utama
  • Nasional
  • Ekonomi
  • Metro
  • Sains
  • Editorial
  • Opini
  • Info Tempo
  • Cari Angin
SebelumnyaSeni 2/2 Selanjutnya
Seni

Perburuan Agustus 1947

Cerpen Perburuan Agustus 1947 karya Edy Firmansyah

Edisi, 1 Agustus 2020
Profile
Tempo
Sastra

MATAHARI telah setinggi galah. Cahayanya menembus jendela benteng. Mengurapi wajah Kapten Kim Bornman yang tampak lelah. Masih tercium aroma telur busuk dari seragam militernya yang bercampur dengan bau mesiu dan aroma daging terbakar sisa pertempuran dinihari tadi. Matanya terpejam. Tubuhnya terlentang di sofa tua ruang komando. Tapi tak bisa terlelap. Beban tugas dan bayangan istri serta anak-anaknya centang perenang dan enggan melenyap.

Seandainya bukan perintah Jenderal Spoor, ia barangkali telah berada di Nederland, bertemu dengan anak dan istrinya yang telah lama ia tinggalkan. Dan tak perlu menyaksikan kengerian itu. Sejatinya ia telah tiba di Batavia dari Surabaya dan bersiap berangkat dengan kapal laut menuju Nederland ketika sebuah surat kawat rahasia datang. Bertitimangsa 4 Agustus 1947. Isinya; memerintahkan puluhan peleton untuk mendarat kembali ke Madura serta melakukan pengamanan dan penyelamatan terhadap industri garam secepat mungkin sebelum dikuasai para pejuang. Ia sebenarnya ragu berangkat. Sebab, kembali ke daerah jajahan berarti melanggar Perjanjian Renville. Tapi Jenderal Spoor meneleponnya langsung.

“Produksi garam di Madura merupakan yang terbesar di negara itu. Selain itu, Belanda perlu membentuk negara bagian Madura. Maka, berangkat kau sekarang. Atau kupastikan kau tak pernah kembali ke Nederland jika menolak,” ujar Jenderal Spoor sembari menutup telepon. Dan berangkatlah Bornman. Tentara pantang menolak perintah atasan. Apalagi sebuah perintah yang disertai ancaman.

Ia dan pasukannya tiba di Pamekasan, Madura, pada 10 Agustus 1947. Membonceng NICA. Enam hari kemudian, pasukannya dikepung tentara laskar. Akibatnya, perang tak terelakkan. Sebuah pertempuran paling dahsyat yang pernah ia alami. Sebanyak 400-600 pejuang laskar kemerdekaan Pamekasan, Madura, bergelimpangan seperti ikan pindang di alun-alun depan Masjid Syuhada karena dihujani mortir dan peluru dari BAR. Sungguh mengerikan. Ia kemudian memerintahkan anak buahnya menggali lubang besar di depan masjid dengan buldoser dan memerintahkan laskar yang tertangkap agar menguburkan mayat-mayat di lubang itu. Sebelum dikubur, mayat-mayat itu ditumpuk lalu dibakar. Kim Bornman merasa lelah sekaligus merasa lemah.

W251bGwsIjIwMjEtMDQtMTggMDU6NTg6MjUiXQ

Sebenarnya, para laskar itu bukan lawan sembarangan. Jumlah mereka besar, pandai strategi militer pula. Dipimpin seorang muda karismatik bernama Ladrak. Mereka mengepung dari segala penjuru. Di bagian timur, kelompok-kelompok penghadang dengan tambahan dari badan-badan pemuda melakukan hoofd aanval. Sedangkan dari arah barat dan selatan kurang-lebih ada dua kompi tentara dan bantuan seribu orang dari barisan Sabilillah/Hisbullah. Anak-anak dan perempuan turut serta pula. Tetapi benteng pusat kota Pamekasan tetaplah bangunan terkuat, ditambah pasukan dengan peralatan tempur canggih dan barikade tank yang susah ditembus.

“Extremist-extremist bodoh. Mereka pikir bisa mengalahkan tank Belanda dengan telur,” Kim Bornman mengumpat sembari membuka kancing-kancing seragamnya.

Berdasarkan informasi dari NEFIS, badan intelijen Belanda, sebelum hari penyerbuan itu, para laskar yang jumlahnya ratusan dijasa’ di pesantren pada malam harinya. Setelah itu, mereka dibekali telur yang telah direndam dalam rajah Arab dan diyakini bisa meledak seperti granat. Untuk melumpuhkan tank. Tapi mesin perang tak bisa dikalahkan oleh sebuah trik sulap atau takhayul. Mereka bertumbangan menyongsong kematian.

Belum selesai ia melepas semua kancing, Letnan Varaney masuk. Sebelum membuka pembicaraan, ia memberi hormat.

“Ladrak belum juga ditemukan, Kapten,” ujar Varaney dengan nada cemas. Ia khawatir pemimpinnya marah. Sebab, ditangkapnya Ladrak, hidup atau mati, adalah kunci untuk mematahkan serangan balasan.

“Kudengar dia sudah mati ditembak. Di Palengnga’an,” kata Bornman. Ia melempar seragamnya ke kursi.

“Bukan, Kapten. Yang tertembak itu Carang. Wajah keduanya memang mirip. Tapi Ladrak memang terluka. Kurasa tak jauh ia sembunyi.”

“Godvedomme. Kalau begitu, sisir semua perumahan penduduk. Kerahkan semua pasukan. Tangkap semua orang dekatnya. Kalau perlu, perintahkan para Cakrah supaya mencambuk mereka agar mengungkap persembunyian Ladrak. Paling lambat 2 x 24 jam pate’celleng itu harus sudah berada di depanku. Hidup atau mati. Kalau tidak, kau yang kutembak Varaney!”

“Siap, Kapten. Laksanakan.” Varaney memberi hormat kembali. Kemudian berlalu.

Kapten Kim Bornman mengempaskan tubuhnya ke sofa. Rambut pirangnya sesekali bergerak disapu angin yang menerobos melalui jendela benteng. Kulit tubuhnya yang pucat digerayangi matahari pagi.

Terdengar deru mesin jip Varaney menyalak memecah siang. Diikuti garang suara mesin tank. Lamat-lamat suara bising melenyap ditelan udara panas. Penyisiran demi penyisiran terus dilakukan untuk menangkap Ladrak. Mula-mula dipimpin langsung Letnan Varaney. Memasuki permukiman penduduk sambil membawa tank. Juga merazia pesantren. Termasuk menyebar mata-mata dan tak segan-segan menembaki penduduk tak berdosa. Tapi Ladrak belum juga tertangkap. Sehingga Kapten Kim Bornman terpaksa turun tangan sendiri melakukan pemburuan.

***

Meetje baru saja mengenakan piyama ketika mendengar suara erangan. Ia menyimak. Ternyata Ladrak kembali terjaga. Sudah dua kali selama pingsan dua hari ini kekasihnya itu terjaga dan mengerang. Ia mendapati Ladrak mula-mula roboh di muka pintu rumahnya. Tubuhnya dipenuhi luka-luka akibat pecahan mortir. Ia kemudian merawatnya. Meetje memang bekerja sebagai anggota palang merah. Ia perempuan Eropa kelahiran Semarang, Jawa Tengah. Bernama lengkap Vanisse Meertruida. Anak semata wayang dari pasangan suami-istri Belanda yang berprofesi sebagai musikus. Ia adalah satu dari banyak perempuan Eropa yang dipaksa menjadi Comfort Women. Perempuan-perempuan Eropa yang dipaksa menjadi budak seks perwira-perwira Jepang. Setelah Jepang bertekuk lutut, Meetje dibebaskan. Ia tak memilih pulang ke Belanda, tapi berlayar ke Pamekasan. Dan menjalin cinta dengan Ladrak.

Meetje bergegas memasuki kamar, menutup gorden jendela. Dilihatnya bulan besar menggantung di bukit Pandan. Bukit yang terletak jauh di pinggir kota. Ia kemudian mendekati Ladrak yang kini duduk di sisi ranjang.

“Mau ke kamar mandi lagi?” tanya Meetje. Ladrak menggeleng.

“Aku harus pergi. Aku tak aman terlalu lama di sini,” kata Ladrak lirih. Ladrak tentu tak akan menceritakan perihal mimpinya yang terus-menerus datang sepanjang tidurnya. Mimpi bahwa ia bisa mendapatkan kekuatan tenaga dalam berlipat dan ilmu kebal senapan dengan berbekal celurit api milik Ki Semoko. Seorang pendekar sakti bersenjata celurit api yang dulu sangat disegani. Ia membuat kalang kabut kompeni demi mempertahankan rumahnya yang hendak dijadikan jalur kereta api. Sampai kemudian pendekar sakti itu mati diracun istrinya sendiri yang jadi kaki tangan kompeni. Dalam mimpi itu, ia didatangi seorang ghunjem. Peramal tua berjangkut mirip paruh garuda itu mengatakan bahwa celurit api itu dikubur bersama Ki Semoko di bukit Pandan. Tak hanya memiliki ilmu kebal senapan, ghunjem itu juga menjanjikan, dalam mimpinya itu, Ladrak bisa mengusir tentara Belanda dari bumi Pamekasan.

“Tapi luka-lukamu belum sembuh benar. Sabarlah. Tinggallah dua-tiga hari lagi,” kata Meetje.

“Aku tak bisa bersabar melihat kebiadaban, Meetje. Aku menyaksikan ratusan laki-laki, perempuan, dan anak-anak terkapar bersimbah darah. Beberapa di antaranya mati dilindas tank,” kata Ladrak. Giginya bergemeratuk menahan amarah. Ladrak kemudian berdiri perlahan. Melangkah ke balik pintu. Meraih baju di gantungan, lalu mengenakannya.

“Pergi ke mana?” tanya Meetje. Nada suaranya mulai gelisah. Tapi ia jelas tak bisa menahan kemauan kekasihnya.

“Ke tempat aman. Mengatur siasat untuk serangan balasan. Percayalah, aku akan kembali.”

“Berhati-hatilah,” kata Meetje.

Ladrak kemudian mendekati Meetje. Memeluknya, kemudian mencium keningnya. Lalu melangkah menuju pintu depan dan berlari hingga bayangan lenyap ditelan pengkolan jalan. Udara dingin terjang-menerjang memukul hati yang cemas.

***

Malam gelap dan udara dingin tak menyurutkan keinginan Ladrak untuk terus menaiki bukit Pandan. Ia mendaki dengan kelincahan seekor kettang alas saat menaiki pepohonan. Malam itu angin mati. Pepohonan menunduk lesu setelah seharian dicambuk lidah matahari. Tapi Ladrak terus mendaki. Dengan segenap tenaga yang ia miliki.

Tiap kali ia mengingat peristiwa pembantaian itu, napasnya makin menderu. Dadanya sesak seperti tertimpa puluhan batu. Betapa tidak. Ia memimpin ribuan orang. Termasuk anak-anak dan para perempuan yang tak sudi berada di bawah sepatu lars kompeni lagi. Ribuan orang itu memadati alun-alun kota dengan senjata tajam dan telur di tangan. Mereka mengumandangkan takbir. Tapi para marinir Belanda itu telah bersiaga dengan senapan terkokang dan tank mengancam.

Mendadak terdengar suara rentetan senapan dari arah utara masjid, kemungkinan besar dari tembakan BAR, disusul lemparan mortir dari berbagai arah. Kegaduhan tak terhindarkan. Juga teriakan. Teriakan orang-orang meregang nyawa. Ladrak menyaksikan gelombang besar massa yang rata-rata bersarung, bergelimpangan seperti daun kering yang jatuh dari rantingnya. Ladrak tiarap, lantas memasuki leke yang terbuka. Merangkak menyelamatkan diri.

Ladrak kini tiba di area bukit Pandan. Puluhan kunang-kunang beterbangan menemani langkahnya sambil mengerlipkan cahaya kuning kehijauan dari perutnya. Di tengah rimbun pandan, ia melihat gundukan tanah dengan batu nisan yang disarungi kain putih bertulisan huruf Arab. Kuburan itulah yang ia cari. Kuburan Ki Semoko.

Dengan tangannya, Ladrak kemudian mulai menggali. Keringatnya bercucuran. Jari tangannya terasa perih. Tapi ia tak merasakannya. Akhirnya, ia menemukan seonggok tulang-belulang yang masih dibalut kain kafan. Ia kemudian menyingkap kain kafan itu dan tampaklah sebuah celurit yang perlahan-lahan membara merah seperti bara api.

Ketika ia membungkuk hendak mengambil pusaka keramat itu, mendadak cahaya lampu sorot menyinari tempatnya berdiri. Ia melongok ke arah cahaya dan tampak sebuah tank berdiri. Cahaya lampu sorot lain menyala dari belakangnya. Ia melihat sebuah tank lain. Dan tank-tank itu bertambah banyak, seolah-olah mengepungnya.

“Menyerahlah, Ladrak!” suara Kapten Kim Bornman terdengar dari pengeras suara sebuah tank.

“Belanda sialan. Tak ada kata menyerah. Merdeka atau mati! Allahu Akbar!” Ladrak balas berteriak. Ia kemudian menyambar celurit api. Lantas melompat menerjang tank tempat Kapten Kim Bornman berdiri. Tapi, belum juga kaki Ladrak melayang di udara, tank-tank itu sudah menghujaninya dengan meriam. Booom!

 “Mampus kau pemberontak!” Kapten Kim Bornman berteriak disambut tepuk tangan riuh anak buahnya. Asap mengepul dari liang kubur. Aroma daging gosong mengepung.

Atas keberhasilannya memadamkan pemberontakan, Kapten Kim Bornman mendapatkan penghargaan. Wajahnya ada di koran-koran. Sedangkan Letnan Varaney naik pangkat. Tapi, di mata penduduk Pamekasan, Ladrak mati sebagai pahlawan.

Seminggu kemudian, di lokasi kematian Ladrak, tepat saat malam meleleh ke dalam tulang, di bawah redup cahaya bulan, mendadak sebuah tangan menyembul dari tanah bekas ledakan. Tangan itu menggenggam celurit yang memancarkan nyala api, sebuah kepala menyembul; tampak wajah Ki Semoko menyeringai. *

Keterangan

Hoofd aanval: serangan inti.

Pate’celleng: anjing hitam, cacian untuk pribumi Madura.

Jasa’: ritual melindungi tubuh agar kebal senjata tajam.

Cakrah: orang-orang Madura yang bekerja untuk tentara Belanda.

Kettang alas: monyet hutan.

Oghem: keahlian meramal nasib.

BAR: kependekan dari Browning Automatic Rifle, mesin perang buatan Amerika. Varian senapan mesin ini dipakai berbagai negara pada abad ke-20.

Leke: got, selokan.

 

--------------------

Edy Firmansyah, pengarang kelahiran Pamekasan, Madura. Pemimpin umum Komunitas Gemar Baca (KGB) Manifesco, Pamekasan. Kumpulan cerpen pertamanya yang pernah terbit adalah Selaput Dara Lastri (IBC, Oktober 2010). Buku puisinya yang telah terbit Ciuman Pertama (Gardu, 2012) dan Derap Sepatu Hujan (IBC, 2011). Ia sedang menyiapkan antologi cerpen tunggal keduanya. Karya esai, cerpen, dan puisinya tersebar di banyak media cetak maupun media online.

 

#Sastra

SebelumnyaSeni 2/2 Selanjutnya

Hubungi Kami:

Alamat : Gedung TEMPO, Jl. Palmerah Barat No.8, Jakarta Selatan, 12210

Informasi Langganan :

Email : cs@tempo.co.id

Telepon : 021 50805999 || Senin - Jumat : Pkl 09.00 - 18.00 WIB

Telp/SMS/WA : 0882-1030-2525 | 0882-1023-2343 | 0887-1146-002 || Senin - Minggu : Pkl 08.00 - 22.00 WIB

Informasi Lainnya :

Telp/SMS/WA : 0882-1030-2828 || Senin - Minggu : Pkl 08.00 - 22.00 WIB

Komentar

Berita Terkait

  • Puisi Wendy Fermana
  • Perburuan Agustus 1947

    Berita Lainnya

  • Cover Story

    Sepuluh Malam Di Malaysia

    Dihantam skandal Joko Tjandra yang melibatkan sejumlah perwira tingginya, kepolisian akhirnya mengejar buron 11 tahun itu.

    1 Agustus 2020
  • Berita Utama

    Drama Satu Babak di Negeri Jiran

    Jokowi dikabarkan menelepon Perdana Menteri Muhyiddin agar bisa memulangkan Joko Tjandra dari Malaysia.

    31 Juli 2020
  • Berita Utama

    Polisi Berjanji Jerat Joko Tjandra dengan Kasus Suap

    Anita Kolopaking diperiksa soal penggunaan surat jalan palsu bersama Joko.

    31 Juli 2020
  • Berita Utama

    Akhir Pelarian di The Avare

    Pemerintah diminta mengusut dugaan pencucian uang Joko Tjandra.

    31 Juli 2020
  • Ekonomi dan Bisnis

    Pemerintah Perketat Pengawasan Arus Balik Mudik Idul Adha

    Pelonggaran protokol kesehatan bakal mendongkrak risiko penyebaran Covid-19.

    1 Agustus 2020
  • Ekonomi dan Bisnis

    Bisnis Kuliner Dapur Awan

    Hangry mendapat kucuran pendanaan US$ 2 juta dari program Sequoia Surge, April 2020.

    1 Agustus 2020
  • Metro

    Ganjil-Genap Kembali Berlaku di Ibu Kota Pekan Depan

    Dinas Perhubungan telah berkoordinasi dengan operator angkutan umum untuk mengantisipasi lonjakan jumlah penumpang.

    31 Juli 2020
  • Olah Raga

    Sergio Perez Positif Covid-19

    Perez sempat pulang ke Meksiko sebelum dinyatakan positif Covid-19.

    31 Juli 2020
  • iTempo

    Generasi Milenial Kian Sadar Keamanan Digital

    Padahal, kaum milenial bukanlah target utama para dedemit di dunia maya.

    31 Juli 2020
  • Nasional

    Penularan Covid-19 di Yogya Melonjak Drastis

    Daerah Istimewa Yogyakarta memperpanjang pemberlakuan PSBB.

    31 Juli 2020
  • Topik

    Layang-layang Pengisi Waktu Luang

    Bermain layang-layang ngetren lagi. Pelakunya bukan cuma bocah dan remaja tanggung di kampung-kampung. YouTubers kondang sampai eksekutif muda tertular tren ini. Ada yang sekadar bermain layangan hias dengan berbagai bentuk unik dan cantik, ada juga yang main layangan aduan. Perajin layangan pun meraup untung.

     

    31 Juli 2020
  • Internasional

    Pemilu Parlemen Hong Kong Ditunda

    Dua belas kandidat dari pro-demokrasi didiskualifikasi.

    31 Juli 2020
  • Seni

    Puisi Wendy Fermana

    Wendy Fermana lahir di Palembang, 10 November 1994. Selain menulis puisi, ia menulis cerita.  

    31 Juli 2020
  • Musik

    Nyanyian untuk Bung Glenn

    Ruth Sahanaya menyanyikan lagu-lagu Glenn Fredly dalam Konser 7 Ruang Minggu lalu. Apresiasi bagi sang musikus.

    31 Juli 2020
  • Olah Raga

    Seratus Persen

    Pulisic menyatakan tidak memiliki masalah dengan kebugarannya.

    31 Juli 2020
  • Internasional

    Vietnam Catat Kematian Pertama Akibat Covid-19

    Cina membantah jika disebut berusaha mencuri kandidat vaksin Amerika Serikat.

    31 Juli 2020
  • Obituari

    Sang Penjaga Napas Sastra

    Ajip Rosidi (1938-2020) tak hanya produktif berkarya, tapi juga sangat peduli terhadap sastra berbahasa daerah.

    31 Juli 2020
  • Cari angin

    Wisata Dibuka

    Pandemi Covid-19 belum ada tanda-tanda akan berakhir. Penambahan kasus positif masih terus terjadi. Pemprov DKI Jakarta bahkan memperpanjang pembatasan sosial transisi karena kluster baru bermunculan dari perkantoran.

    31 Juli 2020
  • Buku

    Problem dan Diskriminasi Minoritas

    Buku ini mendedah dan mengajak semua komponen umat untuk tidak melihat minoritas sebagai konsepsi realitas.

    31 Juli 2020
  • Topik

    Melanglang Buana dengan Layang-layang

    Endang Ernawati pantas diberi gelar ratu layang-layang Indonesia. Tiga puluh tahun lamanya ia menggeluti benda yang identik dengan mainan anak-anak ini. Karyanya diburu kolektor mancanegara.

    31 Juli 2020
  • Olah Raga

    Gerak Cepat City Memboyong Si Gimbal

    Pembelian Ake dianggap bukan solusi ideal untuk City.

    31 Juli 2020
  • Tamu

    Nana Firman: Sudah Saatnya Ustad Bicara Lingkungan

    Pegiat lingkungan Green Faith asal Indonesia, Nana Firman, kerap bepergian ke berbagai negara dan menghadiri forum lingkungan internasional—mewakili suara perempuan muslim—mengajak untuk peduli pada lingkungan yang mengalami perubahan iklim.

    31 Juli 2020
  • Gaya Hidup

    Berwisata Aman Saat New Normal

    Sejumlah tempat tujuan wisata kini kembali dibuka pada masa normal baru ini dengan penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Berikut ini hal-hal yang harus diketahui pelancong dalam melakukan perjalanan. 

    31 Juli 2020
  • Seni

    Perburuan Agustus 1947

    Cerpen Perburuan Agustus 1947 karya Edy Firmansyah

    31 Juli 2020
  • Perjalanan

    Asap Merah Muda di Puncak Kerinci

    Gunung Kerinci yang menjulang di antara Jambi dan Sumatera Barat menjanjikan pemandangan spektakuler, meski tak sampai puncaknya. Tapi, untuk mencapainya, perlu perjuangan berat.

    31 Juli 2020
Koran Tempo
  • TEMPO.CO
  • Majalah Tempo
  • Majalah Tempo English
  • Koran Tempo
  • Tempo Institute
  • Indonesiana
  • Tempo Store
  • Tempo.co English

© 2018 PT. Info Media Digital, All right reserved