Putri itu gelisah menunggu kepastian di Tegal Bubat. Sudah beberapa hari ia menyaksikan para dayang bersama prajurit pengawal setia mendampinginya dan raja. Mereka tetap bergembira setelah melakukan pelayaran yang jauh dan melelahkan. Mereka hendak mengantar calon pengantin dari Kerajaan Galuh Surawisesa ke Kerajaan Majapahit. Kegelisahan terus mendesak dan menghantam benak sang putri calon pengantin, yakni Putri Citraresmi.
Dalam kegelisahannya, Citraresmi (Maudy Koesnaedi) senantiasa bertanya-tanya seperti apa raja yang hendak meminangnya, lelaki yang hendak menjadikannya sebagai permaisuri di Kerajaan Majapahit. Sejak di Pasundan, ia merindu dan mengangankan sang raja kerajaan besar ini menjadi suaminya. Kegelisahan Citraresmi makin menggunung ketika hanya Patih Lembu Peteng yang terus-menerus menemui ayahnya. "Di mana gerangan sang Raja? Kapan ia akan datang menjemputku?" dia bertanya.
Lama-lama, rindunya makin terkikis curiga dan prasangka. Perasaan itu terus menyelinap. "Raja macam apa yang membiarkan calon istrinya dan calon mertuanya bermalam di tengah tegal, sementara raja-raja taklukan bermalam di istana?" ujar dia kepada embannya yang setia. Para dayang berusaha menghiburnya dengan mengatakan mungkin saja ada adat yang belum dipenuhi oleh rombongan.
Kisah Citraresmi, putri Kerajaan Surawisesa di tanah Pasundan, ditampilkan dalam teater tari berjudul Citraresmi, yang disiarkan secara daring di kanal YouTube Indonesia Kaya pada Sabtu-Ahad, 25-26 April 2020. Wawan Sofwan menyutradarai pertunjukan dengan latar panggung yang melingkar dan sederhana itu. Penonton duduk di seputaran panggung. Teater Tari Citraresmi oleh Teater Main dan Titimangsa Foundation ini pernah dipentaskan pada 1 November 2017, di NuArt Sculpture Park, Bandung.
Naskah yang ditulis oleh Toni Lesmana itu mengangkat cerita tentang upaya penaklukan Kerajaan Galuh oleh Majapahit. Dalam kisah tentang Dyah Pitaloka Citraresmi dan tragedi Perang Bubat pada 1261 tahun Saka atau 1339 Masehi disebutkan dalam karya sastra Kidung Sundayana, Kitab Pararaton, dan Kitab Pusaka Pararatwani Bhumi Jawa Dwipa. Kala itu, Galuh merupakan satu-satunya kerajaan merdeka, belum menjadi taklukan Majapahit. Patih Gajah Mada berambisi menaklukkan kerajaan ini demi Sumpah Amukti Palapa dengan cara apa pun.
Adegan yang dimunculkan dengan gerak koreografi para dayang, tembang, monolog, dan dialog menggiring penonton pada pergulatan hati Citraresmi, yang dijuluki sebagai Melati dari Kawali. Pergulatan hati seorang perempuan dan seorang anak yang akan ditentukan nasibnya. Perempuan berada dalam posisi subordinat, tak dianggap penting. Ia dijadikan persembahan dan rampasan perang atau alat untuk memperluas wilayah.
Kegelisahan dan kecurigaan Citraresmi memuncak ketika suara gagak menyeruak saat ia bangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Suara gagak seperti memberikan pertanda. Hingga kemudian muncul kabar yang membuat marah, yakni Patih Gajah Mada meminta Raja Linggabuana menyerahkan Citraresmi sebagai upeti, tanda takluk kepada Majapahit. Ia tidak menjadi putri yang dipinang sebagai permaisuri dari kerajaan yang merdeka.
Tak mau tunduk dan takluk oleh keinginan Gajah Mada, rombongan Prabu Linggabuana memilih berperang. Namun anggota pasukan Kerajaan Galuh hanya sedikit dan tak bersiap dengan senjata karena datang dengan niat damai mengantar pengantin. Meski begitu, mereka memilih melawan hingga titik darah terakhir. Citraresmi mengakhiri pergulatan batinnya dengan keputusannya, yakni tak mau tunduk pada kemauan Majapahit. Ia berdiri melawan dan menunjukkan bakti sebagai anak yang membela kedua orang tuanya.
Gerak koreografi olah kanuragan oleh para dayang memperlihatkan mereka seperti melakukan perlawanan dalam situasi terdesak. Mereka melingkar melindungi Citraresmi dengan tombak. Dan tak sudi menjadi upeti, Citraresmi memutuskan untuk menusukkan patrem ke tubuhnya. Ia memilih mati ketimbang takluk. DIAN YULIASTUTI