Kedua tangannya menggenggam sepasang stik. Tangan Max Riefer seolah-olah bercapit dan melebar membentuk huruf V. Tangan kirinya memukul nichopone, instrumen dari logam berbentuk balok. Sedangkan tangan kanannya memainkan nada nyaring dari crotales, yang berbentuk piringan kecil logam berbaris datar memanjang.
Musikus perkusi asal Jerman itu tengah memainkan bagian awal dari repertoar berjudul Snells Beach. Max memilih karya komponis Jerman, Dieter Mack, itu sebagai pembuka resital tunggal musik perkusi kontemporer di Ruang Orkestra Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Kamis, 27 Februari lalu.
Ruangan berukuran 122 meter persegi itu sesak oleh puluhan penonton. Selain mayoritas mahasiswa, ada penonton umum dan beberapa orang asing. Lebih dari satu jam Max memainkan lima komposisi musik perkusi lainnya. Ada karya Kah Hoe Jii berjudul My Spirit Is, kemudian Javier Alvarez berjudul Temazcal.
Javier Alvarez merupakan komposer asal Meksiko yang memadukan bunyi musik dari komputer dan marakas. Max terlihat hampir berdansa saat memainkannya. Meskipun komposisinya berbau Asia, aneka instrumen perkusinya tidak harus demikian. "Inilah musik kontemporer, campuran yang menarik tapi tanpa alat dari Eropa," ujar Max.
Ada juga Gamel Rawak karya Tazul Tajuddin, dan Bell Stone dari Kee Yong Chong. Repertoar pemungkasnya Harakiri-Impro, yang merupakan karya bersama Max Riefer dan Dieter Mack. Max tetap memainkan ragam instrumen perkusinya, sementara Dieter bermain piano sambil sesekali memukul bagian dalam piano dengan stik.
Dalam resital itu, Max juga memainkan gong, bonang gamelan, marimba, conga, gong Cina dan tambur, serta snare drum. Cara memainkannya menjadi atraksi tersendiri di sela tabuhan perkusi.
Menurut Max, repertoar musik kontemporer pilihannya itu mengacu pada hasil proyek risetnya tentang komposisi musik perkusi Asia Tenggara. "Banyak karya komposer Asia Tenggara yang menarik dan musiknya unik," kata dia seusai pementasan. Beberapa karya yang dimainkannya berasal dari komposer Malaysia, seperti Yii Kah Hoe, Tazul Tajuddin, dan Kee Yong Chong.
Dieter, yang menjadi pembawa acara, sejak awal sudah mewanti-wanti penonton. Mereka tidak akan mendengar musik yang umum. "Jangan pikirkan ada melodi atau harmoni seperti biasa," kata lelaki kelahiran Speyer, Jerman, pada 1954 itu. Begitu pun soal judul, yang tidak menggambarkan isi karya. Snells Beach, misalnya, yang dibawakan Max pada bagian awal, menurut dia, merupakan nama desa di Selandia Baru tempat dia pernah tinggal sebulan dan membuat karya.
Tema repertoar itu, kata Dieter, yaitu pada bunyi nichopone. Alat itu buatan temannya di Swiss. "Karena pada satu karya saya membutuhkan bunyi logam yang keras sekali, tapi tidak ada alat musik yang cocok," ujarnya.
Selain menjadi musikus solo dan anggota kelompok perkusi antarnegara, Max adalah seorang peneliti dan akademikus. Kini ia tinggal di negeri jiran dan menjadi Direktur Studi Perkusi di Fakultas Musik Universitas Teknologi Mara, Malaysia. Sejak 2015 ia mencari repertoar musik perkusi karya komposer Asia Tenggara dan menampilkannya di berbagai pertunjukan.
Proyeknya kini terkait dengan pendekatan musik eksperimental yang berasal dari permainan musik tradisional, seperti menjelajahi batas-batas dan kemungkinan instrumen gamelan atau memadukan suara elektronik dengan instrumen musik lokal.
Minatnya pada musik perkusi muncul pada usia 16 tahun setelah mendengarkan karya Edgard Varèse berjudul Ionisation dan Opus 6 dari Alban Berg. Selanjutnya, Max mendirikan ensambel musik perdananya saat berumur 18 tahun.
Dia bermimpi menjadi pemain perkusi orkestra. Namun, setelah mendaftar ke Program Pendidikan dan Pertunjukan Perkusi di Universitas Musik Freiburg Jerman, Max berkenalan dengan repertoar perkusi abad ke-20 dan 21 yang lebih luas dan kaya. Fokus kariernya pun berbelok dengan bereksperimen alat musik, suara akustik, dan elektronik, sebagai pemain solo maupun anggota kelompok musik kamar. ANWAR SISWADI