Jamaludin GmSas
/1/
"Jika ada suara-suara rahasia yang
meledak tiba-tiba, tampung saja
di telinga tuliku ini," ucap si tuli
dari dalam hati sambil melayani seorang
perempuan yang sedang membeli hidup
di warungnya yang sejuk.
/2/
Ada kentut yang dibiarkan
meletus. Mungkin itu bukan
kentut, tapi suara-suara rahasia
yang tiba-tiba nyaring bunyinya.
Wajah yang lugu tiba-tiba beku
seperti balok es: dingin dan berembun.
/3/
"Hah? Kamu mau beli apa?" tanya si tuli.
"Hah?"
"Aku Al-Ashom-si tuli dari tanah Balkh.
Aku tak begitu mendengar suaramu."
"Syukurlah," gumam perempuan itu.
Wajahnya yang beku mencair;
embun-embun di keningnya pun mengering.
Tak ada salahnya menampung suara
rahasia di telinga-telinga tuli,
toh suaranya tak bisa dikenali.
/4/
Lima belas tahun berjalan di atas rel
kehidupan yang sudah sempat mampir
dari stasiun satu ke stasiun yang lain,
laiknya perempuan itu yang sudah
buru-buru pergi dari warung hatim
ke warung yang lain sambil bertaburannya
kembang-kembang di atas kepalanya.
Hatim yang pura-pura tuli mengubur
segala rahasia bersama pemiliknya.
Al-Ikhsan, April 2020
*) Syaikh Hatim Al-Ashom adalah ulama yang pura-pura tuli ketika mendengar seorang perempuan tak sengaja kentut di depannya.
Hikayat Pemburu Kijang
Citra D. Vresti Trisna
Tubuhku sekaku batang pohon rubuh. Rambutku jadi daun
Aku menempel pada batu berlumut lalu mengunci mulutku
Raja jin pun tak kuasa mengacaukan tapa diamku
apalagi cucup lintah, sengat kelabang dan nyamuk hutan
Punggungku dijahit rajah penangkal macan, ular dan teluh
Air dari seribu sungai telah kuminum agar tubuhku setenang
batu; agar hatiku sejuk; darahku setenang air kali
Kupastikan senapanku di posisi sempurna agar mesiu tak basah
Hanya ujung jemari kubiarkan lentur. Agar bedil meletus sempurna
menyembur timah dan ciprat api ke pelipis kijang air
Aku tetap bisu sampai ia tersentak kaget dan tersungkur
mencium tanah. Sebelum itu terjadi, aku pendamping
kembang hutan yang mekar dan menguncup
Aku temani kayu-kayu melapuk lalu hancur di tanah basah
Biar tonggeret menjerit-jerit, aku diam. Biar seribu hantu hutan
meniup leherku yang terbuka, aku tetap batang pohon rubuh
Aku menunggu ledakan batin bersama senapan lantak
Selebihnya diam. Membayar hutang dari segala yang terburu-buru
dengan mematung-bisu. Tak ada rumah, tubuh kekasih
dan gelak tawa di warung tuak. Hanya bisu! Bisu! Dan bisu!
Seperti hidup yang hanya perihal menunggu
Setelah segalanya (mungkin) telah sempurna: jejak kaki,
kotoran segar dan bekas rumput yang tak habis dimakan
telah kusimpan di kepalaku, maka aku pun menunggu
Aku tak ingin gagal di pertapaan singkat ini. Segala gerakan
adalah penghianatan atas laku. Ketidaksetiaan yang harus
dibayar dengan rasa malu yang panjang di warung-warung tuak
Mataku kobar! Urat leher mengencang, tapi kukendalikan
Mata itu kubidik, tepat. Pelatuk kuremas: senapan meletus
Seekor kijang menjerit, sekarat dan tersungkur. Aku berlari
mencabut parang siap menyembelih. Tak jadi kulakukan
Ternyata aku lebih sekarat dan mati dari seekor buruan
2020
Jamaludin GmSas adalah nama pena Jamaludin. Lahir di Pemalang, 20 Juli 1997, ia adalah mahasiswa IAIN Purwokerto dan santri di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji, Banyumas. Tulisannya dimuat di beberapa media cetak dan antologi bersama
Citra D. Vresti Trisna lahir di Surabaya, tinggal di Jakarta, dan bekerja sebagai jurnalis. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai. Buku terbarunya adalah kumpulan esai berjudul Catatan Masyarakat Goa.