Mutia Sukma
Di atas panggangan
Anak api memercikkan ujung nasib
Bara mengendapkan panas
Besi tetap tabah memerah
Dibakar minyak dan korek api
Ayam dan bumbu-bumbu
Cabai telah lumat di atas batu
Akar kangkung mengikat silsilahmu
Telah kau nyalakan lapar pada lambungku
yang kosong
Piring-piring minta diisi
Nasi menguarkan aroma sawah Sembalun
dan ayam telah melepuh di atas arang yang terbakar
sebelum genap menghitung sejumlah
hari dengan jari pada kaki cekingnya
2019
Kungfu Cha
kita cium aroma ladang teh di pantjoran
lampion yang menjuntai
tali temali merah
dan ucapan selamat datang
di dalam tekok
air telah menguning
daunan pudar
mengalir ke dalam sloki
putar hangat teh dalam cangkir
pada tatakan tembikar
yang rawan menyimpan panas minuman
dan seketika aroma hamparan china menyebar
kita berpandangan
di atas kompor lilin air mendidih
sebelum api padam kita menandaskan jamuan
dan seketika kehangatan menjalar
dari lantai dua kita melihat jalanan
sebuah pawai digelar
drum ditabuh dengan bunyi yang ritmis
aroma dupa menyebar hingga jauh
barongsai berlompatan menggapai angan
dan seorang pria menusuk pipinya dengan sebatang besi
di dalam riuh keramaian
di antara anak-anak yang menggelayut di pinggang orangtuanya
di antara tukang roti isi yang menguji keberuntungan
kita masih saja sepasang kekasih yang kasmaran
seseorang menyarankan kami melempar angpao ke jalanan
"untuk keberuntungan
bagi cinta kasihmu yang tak lekang."
kita berpandangan
di antara suasana yang baru kita kenal
kebahagiaan dibangkitkan
dan mulutmu mulai mengikuti lirik yang tak kita kenal.
2019
Mutia Sukma, lahir di Yogyakarta, 12 Mei 1988. Buku puisi terbarunya, Cinta dan Ingatan (2019). Buku puisi pertamanya, Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia, masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa kategori buku pertama dan kedua.