"Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam"
Semakin larut, kenangan bertaut
meluruh dunia, warna-warna saling pagut
di dinding putih
lantai bersih
langit-langit kamar
jendela
pintu
ranjang
mengeriap, semua yang pernah tersingkap
tahu ada yang belum lengkap
tak lengkap:
kau, ibu, bapak, masa kanak-kanak
rumah, pelukan, sawah, belaian tangan
halaman, tanah lapang, pekarangan, pohon ketapang
kelereng, layang-layang, gambreng, ular-ularan
sekolah, guru, sejarah, ilmu nahwu
tatap mata, kisah cinta, remaja, tamasya
dewasa, senggama, anak, bapak
senyum, tangis, murung, sinis
namun detik demi detik, membisik
mematok batas, saat berkemas
tahu ada yang harus lepas
menjauh meluruh mengabur melebur membuyar memudar menghilang
"ada beberapa dahan ditingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam"
sebuah batas
lebih tajam dibanding dari cadas
sebuah diam
lebih sunyi dibanding kuburan
pelan-pelan menyerap, menghisap
seperti tuhan
seperti pohon beringin besar
di pekarangan rumah
kampung halaman
akarnya besar menjalar
mencengkeram tanah sejengkal
menyedot humus rerumputan
dan terpaksa kita menyerah:
sesuatu telah pecah
sebuah wajah, menjadi tanah
maka pada nisan kembar
setelah kembang ditaburkan
setelah doa penghabisan
yang tertinggal hanya kesal
juga sesal:
hidup hanya gelembung tanggal
membesar, membesar lalu hilang
hidup hanya pendaran air kolam
membesar-membesar lalu datar
menghilang
"aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah beberapa waktu bukan kanak lagi"
mungkin hanya perlu riang
setelah tanah digundukkan
dan pulang
sambil diam-diam, kita rahasiakan kenangan
(layang-layang, tanah lapang, ular-ularan, pohon ketapang
pelukan, belaian tangan, tatapan, tawa ringan)
memang tak perlu menyimpan
cuma menyusur jalan
mengabaikan rambu peringatan
mengepak ingatan
memang tak perlu disimpan
ketika album memudar
catatan menjadi buram
semua ruang, meremang
"tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini"
tapi kita terlanjur mencatat
mata telah saling tatap
dan kita jadi punya harap:
sebuah benih menguncup
ria yang menelusup
dalam hidup
sebuah wajah rekah
rumah menjadi cerah
dan kita pun menari
di pekarangan, sawah, belakang rumah
di teras, ruang tamu, loteng
sambil menyangka
itu matahari
kita punya matahari...
"hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah"
barangkali memang
tak perlu menjadi
(bunuh diri?)
sebab toh akhirnya terserahkan semua
terserakkan semua
(bahkan mungkin sebelum waktunya)
seperti bakal pohon yang mati
karena tak tahan panas matahari
"dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah"
Sampai di sini?
Cuma begini?
Menjadi busuk
musnah?
Entahlah...
Wendy Fermana
Post Scriptum
Menanam sebiji sawi
takkan tumbuh sepokok zaqqum
barangkali tumbuh sejumput rumput
tapi sebungkah sawi kembang juga.
Menanam sejumput rumput
adalah melapangkan padang
mengharap tumbuh sawi
semacam haru yang panjang.
Ia akan terbaring di dekat
hijau hidup yang dihidupinya.
Ia akan terisak menjauhi
pokok-pokok berduri
yang ditaburnya
tapi tak kuasa.
Seorang berkata, kita tak pernah menanam apa-apa
kita tak pernah kehilangan apa-apa.
Ah, bagaimana pula tak menanam
tapi mengharapkan tumbuh kehidupan?
16-19
Zaim Rofiqi, menulis puisi, cerpen, esai, dan menerjemahkan buku. Buku puisinya: Lagu Cinta Para Pendosa (2009) dan Seperti Mencintaimu (2014).
Wendy Fermana, lahir di Palembang, 10 November 1994. Menulis buku Kawan Lama (2017). Salah satu cerpennya menjadi karya prosa terbaik Festival Sastra Bengkulu (FSB) 2019.