Mutia Sukma
Di antara pergantian musim dan riak lautan
Air terseret kapal besar
Jantungnya seperti terusan Suez
Menerobos, berkecipak
Cerobong uap yang berkarat digerus garam
menciptakan bunyi "Zeeeeenggg" yang ngilu
Para nona memandang senja dengan topi bundar
yang hampir lepas tertiup angin
Sedangkan dia memejamkan mata seolah
bunyi mesin kapal yang brisik memperdengarkan
lagu kesedihan
Sambil memandang ke belakang
Seolah rumah serta tirai beludru tebal di kamarnya
masih menggantung pada kusen jendela yang bersarang
dipenuhi kopernya dengan kenangan
dengan ciuman kekasih pertama yang tertinggal
kapalnya mengapung menciptakan buih dan suara berisik
lalu dia membayangkan es krim yang mengambang
di atas coca cola kesukaannya
Hatinya dingin
melipat musim dan derita bahagia
pada hidup yang akan ditinggalkannya
Pada Nasib yang Ditinggalkan
Bulan penuh,
Dalam dekapan dingin gunung dan angin lautan
Seorang gadis yang pipinya kemerahan
Wajahnya tertutup bedak beras
Rambutnya adalah alam semesta tergerai lepas
Air terjun yang menyembur di antara bebatuan
Berkilauan wangi minyak kelapa
Tangannya lincah mengupas bawang dan menyisik ikan
Menghalau gemerlap kota
Seolah berada pada puluhan tahun lalu lamanya
Hutan-hutan perawan
Gadis perawan dan lenguh harimau
Keresak ranting digelayuti sekawanan beruk
Pagi yang cepat pagi
Gigil hati mengingat cinta jauh di perantauan
Dan nasib perkawinan yang sebentar lagi akan ditentukan
Tubuhnya bergolak seperti api dalam dian
Menyala namun tak membesar
Tergilas kelap-kelip lampu kota
Membias pada perempuan yang dicintai oleh kekasihnya
Mutia Sukma, lahir di Yogyakarta, 12 Mei 1988. Buku puisinya, Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia, menjadi lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa kategori Buku Pertama dan Kedua.