Azyumardi Azra, CBE
Guru besar dan Direktur Pascasarjana UIN Jakarta.
Bagi kaum mukminun-muslimun, Ramadan selalu mengandung banyak keistimewaan. Salah satunya, Ramadan merupakan kesempatan terbaik untuk kembali berusaha mencapai derajat takwa (Al-Baqarah 2:180). Sebabnya, ketakwaan yang pernah dicapai dalam ibadah Ramadan yang pernah dijalankan tahun demi tahun boleh jadi berkurang. Seperti ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadisnya, keimanan yang menjadi landasan ketakwaan juga bisa meningkat atau merosot.
Ramadan 1435 Hijriah atau 2014 lebih istimewa lagi bagi kaum muslim di Indonesia karena ada 9 Juli. Kaum muslim Indonesia, yang merupakan muslim terbesar di muka bumi, menjalankan tugas kebangsaan-keagamaan memilih presiden dan wakil presiden.
Kewajiban kebangsaan-keagamaan sekaligus? Salah satu mujaddid (pembaru) awal abad ke-20, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dalam artikel panjang di majalah al-Manar untuk menjawab pertanyaan yang dikirim Kiai Basuni Imran dari Banjarmasin, menyatakan mencintai Tanah Air-dan dengan begitu juga bangsa-merupakan bagian dari iman. Syaikh Rida menekankan, semangat keagamaan dengan kebangsaan tidak perlu dipertentangkan.
Pemilihan calon presiden-wakil presiden sebagai bagian dari proses politik demokrasi kebangsaan Indonesia dari perspektif fiqh siyasah (fikih politik) merupakan aktualisasi prinsip Qur'ani tentang syura, yakni wa amruhum syura baiynahum-dan diperintahkan mereka bermusyawarah di antara mereka. Syura bukan hanya berarti "musyawarah", saling berbincang di antara para wakil warga untuk mengambil keputusan terbaik, tapi juga bermakna "pemberian suara" guna memilih pemimpin secara langsung melalui pemilu.
Dengan demikian, memberikan suara dalam pilpres sebagai salah satu bentuk aktualisasi syura merupakan ibadah. Ia merupakan kewajiban keagamaan yang mesti ditunaikan setiap dan seluruh warga yang sudah balig (cukup umur) sesuai dengan ketentuan perundangan negara-bangsa Indonesia. Dari sudut ini, tidak memberikan suara alias menjadi golput tidak dapat dibenarkan fiqh siyasah.
Lebih jauh, memilih pemimpin-apalagi pimpinan puncak negara-bangsa-dalam perspektif fiqh siyasah merupakan kewajiban keagamaan terkait dengan kepemimpinan. Menurut fikih politik, kaum muslim-muslimat wajib memilih dan memiliki pemimpin terbaik, sehingga masyarakat dapat terhindar dari kekacauan dalam kehidupan berbangsa-bernegara, yang nantinya bisa menghalangi umat beriman menjalankan berbagai macam ibadah.
Ibadah puasa juga mengandung sebuah prinsip yang sama dengan kepemimpinan menurut Islam, yaitu amanah. Melalui ibadah ini, mereka yang puasa (sha'imin dan sha'imat) memperkuat sikap dan kepribadian amanah. Karena itu, fiqh siyasah sangat menekankan pentingnya memilih pemimpin, yang melalui rekam jejaknya dapat diketahui apakah amanah atau tidak. Pemimpin yang tidak amanah, cepat atau lambat, membawa umat-bangsa ke dalam kerusakan mental dan moral, bahkan kehancuran.
Dalam rangka memilih pemimpin amanah, para pemilih yang sedang menjadi sha'imin dan sha'imat juga harus bersikap amanah dan mengembalikan pemberian suara sebagai ibadah. Setiap ibadah harus terjaga dari tindakan yang dapat membatalkan nilai ibadah tersebut. Money politics, misalnya, dapat menghilangkan makna ibadah dalam pilpres.