Ardi Winangun
Founder Backpacker International
Pelabuhan boat pancung alias Pelabuhan Pengumpan Sekupang, Batam, Kepulauan Riau, agak sepi pagi itu. Letaknya bersebelahan dengan Terminal Ferry Domestik Sekupang, yang menjadi pintu keluar-masuk orang-orang dari/ke Kepulauan Riau dan Riau daratan. Terminal itu juga sepi. Hanya ada beberapa orang hilir-mudik di depan terminal.
Pagi itu, akhir Februari lalu, saya pergi ke Pelabuhan Pengumpan Sekupang karena hendak menuju Belakang Padang. Bangunan pelabuhan pancung itu terbilang bagus. Ada kantin dan lengkap dengan fasilitas toilet. Beberapa orang berada di sana. Salah satu di antaranya seorang lelaki dewasa yang mengenakan kaus cokelat, Astiyan. Ia pemilik pancung yang menawarkan jasa mengantar penumpang ke Belakang Padang.
Menurut pria asli Belakang Padang itu, boat pancung di pelabuhan tersebut melayani rute ke pulau-pulau kecil di sekitar Kota Batam, seperti Kasu, Lengkang, Sarang, Mecan, dan Pecung Mongkol. "Bahkan ada yang berani mengantar ke Pekanbaru dan Dumai," kata dia. Dulu juga ada yang berani mengantar hingga Malaysia.
Jasa pelayaran pancung buka 24 jam. Bila penumpang datang pada pukul 08.30 hingga 17.00 WIB, mereka harus membeli tiket di loket. Di luar jam itu, penumpang langsung membayar kepada pemilik kapal. Kala itu, saya termasuk yang harus membayar langsung kepada pemilik kapal karena saya datang sekitar pukul 06.47. Untuk menuju Belakang Padang, Astiyan mengatakan, harga tiketnya Rp 15 ribu sekali jalan.
Pagi itu, satu per satu penumpang datang ke pelabuhan itu. Begitu pula pancung dari pulau-pulau lain yang mulai banyak merapat dan menurunkan penumpang. Mayoritas penumpang adalah pegawai negeri, seperti guru, aparat pemerintahan (pegawai kelurahan dan kecamatan), hingga pegawai imigrasi yang berkantor di Belakang Padang. Mereka pegawai negeri dari Batam yang bekerja di Belakang Padang atau sebaliknya. Jadi, pada pagi dan sore hari (menjelang jam kerja dan pulang kerja), pelabuhan itu dipenuhi para abdi negara. Umumnya, mereka naik pancung dengan langganan bulanan.
Saya menunggu beberapa lama sampai boat berkapasitas tempat duduk 12 orang itu terisi minimal 10 orang. Sesekali Astiyan berteriak-teriak, "Belakang Padang, Belakang Padang!" Ketika siap berangkat, pancung diselubungi terpal agar tidak tepercik air ketika berpapasan dengan pancung lain atau feri. Saya merasakan beberapa kali percikan air meski perahu tradisional itu sudah ditutup rapat.
Permakaman warga Tionghoa.
Menjelang kapal merapat ke pelabuhan, selubung baru dibuka. Pelabuhan di Belakang Padang tampak kokoh. Beton-beton penahan pelabuhan berdiri berjajar. Saya sempat membaca sebuah papan bertulisan "Pelabuhan Rakyat Penawar Rindu". Di kanan-kiri jalan penghubung darat dengan pelabuhan, pancung-pancung satu dengan lainnya terkait. Menurut Astiyan, ada 150 pancung di sana. Banyaknya jumlah pancung membuat jam operasional masing-masing pancung dibatasi sehari hanya melayani dua kali trayek.
Di area pelabuhan, banyak sepeda motor terparkir. Sepeda-sepeda motor itu milik masyarakat Belakang Padang yang bekerja di Kota Batam. Saya berjalan meninggalkan pelabuhan, lalu singgah di warung Kopitiam Aman. Di warung yang letaknya persis di hadapan kantor polisi itu, saya memesan kopi dan lontong sayur, yang banyak ditampilkan vlogger dalam kisah perjalanan mereka. Bukan karena rasanya, tapi karena letaknya strategis persis di gerbang keluar pelabuhan. Di sana, pelancong bisa istirahat sejenak sambil kongko-kongko.
Selepas membayar kopi dan lontong sayur seharga Rp 17 ribu, baru saya bergerak mengelilingi pulau itu. Berkeliling Belakang Padang bisa dilakukan pelancong dengan ojek atau becak. Saya sendiri menggunakan becak, yang bentuknya persis seperti di Pulau Jawa. Seorang pengemudi becak, Herman, bersepakat mengantar saya berkeliling pulau dengan biaya Rp 60 ribu. Herman mengaku asli Purbalingga, Jawa Tengah. Menurut pria yang anak dan istrinya tinggal di Jawa itu, di pulau tersebut banyak orang Jawa. Bahkan ada Kampung Jawa. Becak-becak yang beroperasi di sana dikirim dari Jawa.
Rumah-rumah orang Jawa di sana bisa ditandai. Salah satunya dengan adanya becak yang terparkir di depannya. Namun, menurut lelaki berusia 50-an tahun itu, kini yang naik becak bukan hanya orang Jawa. Di sana ada sekitar 100 becak. "Dulu ada sampai 300 becak," kata dia. Tarif paling rendah untuk mengantar orang dengan jarak terdekat Rp 10 ribu.
Belakang Padang adalah sebuah kecamatan di Kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau itu memiliki enam kelurahan. Dulu Belakang Padang merupakan pusat kecamatan untuk pulau-pulau kecil di sekitar Batam. Namun kemudian pusat kecamatan dipindahkan ke Batam. Luas daratan Belakang Padang 68,4 kilometer persegi. Berdasarkan data statistik pada 2015, jumlah penduduk di sana sekitar 21.800 jiwa.
Pulau itu disebut sebagai kota tua Batam. Menurut Herman, sebelum Kota Batam berkembang, Belakang Padang lebih dulu berkembang. Herman menunjukkan sebuah bangunan tua yang dulunya kantor sebuah instansi pemerintah. Bangunan itu kini kosong. Bukti lain pulau ini lebih dulu berkembang adalah adanya Kantor Imigrasi. Kantor itulah yang membuat setiap hari ada orang luar datang ke sana untuk mengurus paspor atau keperluan lainnya.
Jajaran rumah tradisional.
Di pulau itu ada banyak tempat wisata. Di antaranya Pasir Putih dan Pantai Sulaiman. Pantai Sulaiman, saat saya berkunjung ke sana, tampak sepi. Bisa jadi karena saya datang pada hari kerja dan anak-anak sedang sekolah. Di pantai itu ada kafe-kafe. Akan terasa nikmat bila menyeruput kopi sambil menikmati segarnya angin laut pada malam hari atau ketika sinar matahari tak terasa menyengat.
Adapun di Pantai Pasir Putih, selain dapat menikmati putihnya pasir yang terhampar, pelancong bisa berenang di laut yang airnya terbilang jernih. Seperti di pantai-pantai yang lain, Pantai Pasir Putih Belakang Padang ditumbuhi pohon kelapa yang menjulang dengan nyiur yang melambai. Buah dari pohon-pohon kelapa itu dipetik, lalu dijual kepada pengunjung.
Kehidupan masyarakat di sana sangat beragam. Sebagian besar warga bekerja sebagai nelayan atau di sektor perikanan. Sebagian lainnya bekerja sebagai wiraswasta, buruh harian lepas, karyawan swasta, pegawai negeri, hingga pedagang. Rumah-rumah warga ada yang berdinding tembok dan berpancang beton, ada pula yang beratap seng, berdinding tripleks, dan berpancang kayu.
Selama dalam perjalanan, yang kanan-kirinya sepertinya hutan mangrove, saya menjumpai bangunan berderet yang terkadang tertutup pohon mangrove. Bangunan itu berdinding dan beratap seng. Ketika saya bertanya, Herman dengan malu-malu menjawab bahwa itu tempat prostitusi. Ia mengatakan tempat prostitusi masih ada, tapi tidak seperti dulu. Orang yang berkunjung ke sana berasal dari luar pulau.
Berkeliling Belakang Padang bisa dinikmati sejak pagi hingga sore. Dengan angkutan tradisional yang melayani penumpang selama 24 jam, pelancong tak perlu menginap di sana. Cukup pagi datang, kemudian siang atau sore kembali ke Batam. Pengunjung yang datang ke pulau itu terbilang banyak. Banyak blogger dan vlogger yang menceritakan pengalaman mereka di sana, baik saat menikmati kuliner maupun berwisata alam, terutama saat melihat Singapura.
Tujuan utama saya ke sana sama: ingin melihat Singapura dari negara sendiri. Herman membawa saya ke pekuburan warga Tionghoa yang berada di atas bukit, sehingga kami harus berjalan menanjak sekaligus melintasi makam-makam. Begitu tiba di ketinggian yang cukup, saya menatap ke seberang. Seketika saya merasa takjub melihat bangunan-bangunan tinggi, deretan gedung pencakar langit di seberang. Bangunan-bangunan tersebut begitu dekat dan sangat jelas. Bila cuaca terang, tidak tertutup kabut atau asap, bangunan itu lebih terasa dekat dan nyata. Pada malam hari, gemerlap Negeri Singa terpancar seperti kota di atas laut.
Saya mengira-ngira jarak antara Belakang Padang dan Singapura itu seperti jarak Surabaya, Jawa Timur; dengan Bangkalan, Madura. Hanya dipisahkan Selat Madura.
Melihat Singapura dari Batam juga saya lakukan dari Pantai Tanjung Pinggir. Untuk ke sana, saya meninggalkan Belakang Padang dan kembali ke Batam. Tiba di Pelabuhan Boat Pancung Sekupang, saya keluar dari pelabuhan dan memesan ojek. Saya lalu dibawa menjauh dari arah kota, melintasi kawasan yang sepi dan banyak rerimbunan pohon.
Jalannya berkelok dan naik-turun. Di beberapa titik terdapat resort, serta ada pelabuhan barang berat. Ketika tiba di Pantai Tanjung Pinggir, dari jauh saya didatangi seorang laki-laki yang menarik ongkos masuk ke pantai sebesar Rp 10 ribu. Namun pantai itu tampak tak terawat. Wilson, seorang warga di pantai itu, mengatakan lokasi ini dulu bekas resort yang tutup.
Angin bertiup begitu kencang. Pohon-pohon kelapa dan pohon tinggi lainnya bergerak keras. Ombak pantai pun begitu besar, sehingga saya tidak merapat ke tepian, cukup di batas antara pasir putih dan rerumputan.
Dari tempat ini, kita bisa melihat hal yang sama dengan di Belakang Padang. Singapura begitu dekat. Sayang, kala itu kabut begitu pekat sehingga bangunan-bangunan tinggi di seberang sana terlihat samar-samar. Di batas perairan Indonesia-Singapura itu, beberapa kapal tanker dan kontainer terapung-apung. Mungkin mereka menunggu waktu bongkar-muat barang di pelabuhan.
Ransel
Dari Bandar Udara Internasional Hang Nadim, Batam, naik Damri ke pusat Kota Batam, bisa turun di kawasan Kepri Mall.
Dari pusat Kota Batam, perjalanan dilanjutkan dengan ojek atau taksi online ke Pelabuhan Pengumpan Sekupang. Jaraknya sekitar 15 km, dengan ongkos ojek online sekitar Rp 45 ribu.
Di Pelabuhan Sekupang naik boat pancung ke Belakang Padang. Di sini tersedia angkutan boat selama 24 jam nonstop dari dan ke Belakang Padang.
Lama perjalanan Pelabuhan Sekupang ke Belakang Padang sekitar 35 menit.
Lama perjalanan dengan becak dari Pelabuhan Belakang Padang ke tempat melihat Singapura sekitar 10 menit.
Dari Pelabuhan Pengumpan Sekupang ke Pantai Tanjung Pinggir bisa ditempuh kurang dari 10 menit dengan ojek online dan biaya sekitar Rp 9.000.