Ursula Yulita
Penyuka wisata sejarah
Kota Aarhus, yang merupakan kota terbesar kedua di Denmark setelah Kopenhagen, lebih dikenal sebagai kota pelajar. Di sini terdapat University of Aarhus yang termasuk dalam daftar 100 universitas top dunia. Mahasiswanya tak hanya berasal dari dalam negeri Denmark, tapi juga dari negara-negara lain. Namun bukan universitas itu tujuan saya melakukan perjalanan ke sana pada musim dingin lalu.
Dari Frederikshavn, kota tempat saya menginap, saya menempuh perjalanan darat selama dua jam lebih ke Aarhus. Udara dingin tidak mengurangi semangat saya menjelajahi kota yang dibangun bangsa Viking 1200 tahun silam itu. Sebab, selain dikenal sebagai kota pelajar, Aarhus merupakan salah satu European Capital of Culture 2017 yang diprakarsai Uni Eropa. Kota-kota ini menyandang gelar "ibu kota kebudayaan" karena dinilai punya program budaya yang kuat, melibatkan penduduk kota, dan berkontribusi pada pengembangan kota untuk jangka panjang.
Di kota ini terdapat berbagai tujuan wisata budaya, dari museum dan galeri seni hingga gedung teater dan gedung konser. Pencinta seni modern tidak boleh melewatkan kesempatan untuk mengunjungi ARoS Aarhus Art Museum yang memiliki atap rainbow panoramakarya seni spektakuler seniman Denmark, Olafur Eliasson. Bentuknya berupa jalan melingkar, dengan dinding berlapis kaca besar warna-warni. Atap kaca berwarna pelangi ini berdiameter 52 meter dan melingkar 360 derajat, sehingga pengunjung bisa melihat Kota Aarhus dari ketinggian sekitar 150 meter dari berbagai sudut.
Tapi, sebagai penggemar sejarah, antusiasme saya membeludak begitu menemukan Den Gamle By. Ini merupakan museum ruang terbuka yang berisi lebih dari 75 rumah bersejarah yang dipindahkan dari berbagai tempat di seluruh Denmark. Rumah-rumah ini dipilih karena dianggap menggambarkan kehidupan masyarakat Denmark pada masa lalu, bahkan sebelum 1900-an. Di Den Gamle By, kita seperti berjalan menembus waktu ke masa lampau sembari melihat sejarah dan budaya Denmark pada 1800-an, 1920-an, sampai 1970-an.
Harga tiket masuk museum yang buka sejak pukul 10 pagi hingga lima sore ini sebesar DKK 135-150 (sekitar Rp 270-300 ribu). Meski cukup mahal, ada begitu banyak pengalaman yang bisa kita dapatkan di sini. Dari depan museum, pucuk-pucuk bangunan kuno yang terdapat di dalamnya sudah terlihat. Lalu, tak jauh dari pintu masuk, tampak sebuah bangunan yang sudah sangat tua sehingga tidak boleh dimasuki pengunjung, tapi tetap terawat dengan baik. Mata saya pun dimanjakan oleh lorong-lorong bangunan kuno. Sinar matahari musim dingin menyusup di sela-sela bangunan di kiri-kanan jalan. Kereta kuda sesekali melintas membawa para wisatawan berkeliling.
Den Gamle By berbentuk miniatur kota yang lengkap dengan rumah tinggal dan toko-toko yang ada pada saat itu. Wilayah museum dibagi per era. Yang terbesar adalah era 1800-an, masa ketika penulis tenar Denmark, Hans Christian Andersen, hidup. Saya memasuki salah satu bangunan yang menggambarkan kehidupan masyarakat Denmark pada 1833.
Masih ingat cerita Gadis Penjual Korek Api karya Hans Christian Andersen, yang terbit pertama kali pada 1845? Di sini ada ilustrasi dari kisah itu. Si gadis kecil penjual korek api ini digambarkan sedang merapikan korek apinya, sementara ayahnya, yang selalu memukulnya kalau ia tidak menghasilkan uang, sedang tidur. Ilustrasi itu digambarkan lengkap dengan ornamen seperti sepatu kayu dan tikus kecil di lantai. Inilah gambaran kemiskinan Denmark pada masa itu.
Kemudian ada toko pembuat sepatu Kandelsdorff yang berasal dari 1850. Di dalamnya ada patung-patung yang memperlihatkan aktivitas pada masa itu. Tukang sepatu dan pekerja harian memotong dan menjahit sepatu, sementara seorang anak yang magang di toko tersebut sedang menyikat sepatu. Interiornya dibuat persis seperti pada zaman itu.
Lalu di sisi kanan jalan terdapat Lille Rosengården, yang dibangun di Vester Grave, Kota Randers, pada 1741. Lille Rosengården adalah contoh rumah milik pedagang kaya dan disewakan kepada perajin kecil. Rumah ini dibangun kembali di Den Gamle By pada 1931-1935 sebagai contoh perumahan sederhana.
Selain itu, ada sebuah rumah dari 1890-an bergaya Victoria, gaya yang populer di kalangan menengah atas pada masa itu. Ruang tamu dianggap sebagai ruang paling penting di sebuah rumah, sehingga menjadi semacam ruang pamer bagi si pemilik rumah. Pada masa itu, ruang kosong dianggap mewakili selera buruk, sehingga setiap permukaan dipenuhi benda-benda yang mencerminkan kekayaan pemiliknya. Lantai kayu, furnitur berkaki pendek dengan upholstery dari beludru dan sulaman, wallpaper dan karpet motif bunga dengan ukuran besar, lukisan, kristal, dan gorden tebal, itulah gaya mewah Victoria.
Kesenjangan ekonomi memang tinggi pada kala itu, sehingga muncul keinginan dari rakyat Denmark untuk melakukan perbaikan kualitas hidup dalam hal perumahan, keluarga, ekonomi, dan keamanan sosial. Pada 1950-an mulai dimunculkan istilah welfare state. Ide ini tentang orang-orang yang memiliki "bahu yang kuat", membantu mereka yang lemah.
Berbagai jaminan sosial diberikan untuk rakyat dan dibiayai dari pajak. Mereka yang berpenghasilan tinggi membayar pajak lebih tinggi. Inilah mengapa saat ini kesenjangan ekonomi di Denmark rendah. Masyarakat yang bekerja sebagai sopir bus atau petugas kebersihan pun bisa mendapatkan kehidupan layak.
Masih di lokasi era 1800-an, yang ditandai dengan jalan-jalan berbatu, sasaran saya berikutnya adalah rumah-rumah petani. Di sini terlihat tumpukan kayu siap dibelah dan serpihan kayu di sana-sini. Di depan salah satu rumah petani tersebut, terdapat sebuah ruang tanpa dinding yang terbuat dari kayu dan beratap genteng untuk menggantung gandum.
Karena keasyikan menikmati kisah sejarah di Den Gamle By, rasa lapar baru muncul setelah melihat deretan roti yang dipajang di toko roti Petersen. Terbayang lezatnya menyantap roti di tengah-tengah udara dingin seperti ini. Seorang wanita berpakaian era 1800-an menyambut dengan senyum. Ia tinggal tidak jauh dari museum ini. Toko roti Petersen menjual cake dan roti jadul dengan harga bersahabat, sekitar DKK 7-10 atau sekitar Rp 14-20 ribu. Resep-resepnya diklaim autentik dari 1885.
Sambil mengunyah roti, perjalanan pun dilanjutkan. Terdapat beberapa museum kecil yang menarik, seperti museum sepeda. Dari sepeda dengan roda besar di depan dan roda kecil di belakang, hingga sepeda seperti sekarang. Saat ini, Denmark menjadi negara ramah sepeda, yang menyediakan jalur sepeda di setiap ruas jalan.
Akhirnya, sampailah saya di alun-alun dengan dua bangunan bersejarah, Old Mayor House dan Mintmaster’s Mansion. Beberapa pekerja sedang membersihkan halaman alun-alun dan ada juga gerobak berisi jerami. Seorang wanita yang berpakaian gaya 1800-an dan membawa keranjang sedang menyapa para pengunjung. Old Mayor House adalah bangunan penting pada masa Renaisans di Denmark. Ini adalah rumah pertama yang dibangun di Den Gamle By.
Bangunan yang dulu terletak di Lilletorv ini tidak digunakan lagi sejak 1908 dan akan diruntuhkan. Namun Peter Holm, pemrakarsa museum ini, berhasil mendapatkan izin untuk membongkar bangunan tersebut. Ia membawanya ke Aarhus, menyusun kembali bangunan tersebut selama satu tahun. Pada 1908, Mayor House dipamerkan dalam Danish National Exhibit. Barulah lima tahun kemudian rumah ini dipindahkan ke lokasi Den Gamle By sekarang.
Peter Holm adalah seorang guru dan penerjemah yang memiliki minat pada bangunan-bangunan bersejarah. Ia gemar menyelamatkan bangunan-bangunan tua yang sudah tidak digunakan dan akan dimusnahkan. Sebagai penggagas sekaligus kurator Den Gamle By, Peter aktif mengawal pembangunan Den Gamle By sampai 1945. Peter Holm meninggal pada 1950, dan sekarang Den Gamle By menjadi lembaga nonprofit yang didanai oleh donor.
Bangunan-bangunan di Den Gamle By ada yang dipindahkan dengan cara tradisional, menyusun kembali batu batanya satu demi satu. Ada yang dengan cara lebih cepat, dipindahkan per dinding. Ada pula bangunan yang dibawa secara utuh dengan truk, lalu diberi besi dan papan kayu agar stabil. Cara terakhir ini membuat bangunan tersebut tetap berbentuk sesuai dengan aslinya. Begitu tiba di museum, bangunan lama digabungkan dengan fondasi baru. Bagian-bagian interior, seperti pintu, tangga, dapur, pipa air, dan soket listrik, turut dipindahkan. Kalau bagian-bagian tersebut sudah rusak, direkonstruksi kembali seperti aslinya.
Setelah mengunjungi Old Mayor House, saya bergeser ke Mintmaster’s Mansion. Bangunan dengan perpaduan warna abu-abu, hitam, dan merah ini dipindahkan dari Copenhagen. Di lokasi aslinya, mansion tersebut digunakan sampai 1749, lalu dibongkar oleh Copenhagen City Museum. Pada 1995 baru bangunan itu diserahkan ke Den Gamle By dan mulai direkonstruksi kembali pada 1998. Perlu waktu lebih dari 10 tahun untuk menyelesaikannya.
Sebuah toko yang cantik mengalihkan perhatian saya. Dari jauh sudah tampak nama tokonya: Schou’s Saebehus. Schou adalah toko sabun terbesar di Denmark. Pada 1927, Schou memiliki 846 outlet, jaringan toko yang sangat besar pada masa itu. Di depan toko ini terdapat trotoar dan jalan raya yang rata. Rupanya saya sudah memasuki era 1920-an.
Industrialisasi membawa banyak perubahan. Kereta kuda pun mulai digantikan oleh mobil. Saat belum ada pom bensin seperti sekarang, para pengendara mobil cukup mengisi bensin di tepi jalan melalui mesin yang disediakan British Petroleum, yang mulai memasuki pasar Denmark pada 1921. Tidak jauh dari mesin bensin tersebut, terdapat rumah dengan kaca seperti spion di depan jendela. Ternyata, pada masa itu, para lansia yang sudah tidak dapat pergi keluar rumah, duduk di tepi jendela untuk melihat keramaian di jalan raya. Agar dapat melihat apa yang terjadi di luar sana, para lansia melihatnya melalui kaca spion tersebut. Sungguh ide yang menarik.
Di kejauhan saya melihat papan nama Karl Mey Legetoj. Sejenak saya kira ini adalah Karl May yang menulis cerita Winnetou. Saya sempat heran kenapa ada Karl May di museum ini. Ternyata bukan. Karl Mey Legetoj artinya mainan Karl Mey. Museum mainan ini menyimpan sekitar 5.000 mainan anak-anak koleksi Karl Mey sejak 1800-an hingga 1960-an. Ia menghibahkan 7.000 koleksi mainannya ke Den Gamle By pada 1991, sebelum ia meninggal di Copenhagen pada tahun yang sama. Perlu waktu lima tahun untuk mendata dan mendokumentasikan semua mainan ini, sehingga baru pada 1996 museum mainan ini dibuka untuk umum.
Bagian terbaru dari Den Gamle By adalah blok kota yang khas dari 1970-an. Di sini kita bisa melihat Denmark sebagai welfare state. Ada beberapa bangunan dengan toko-toko, kantor, dan apartemen. Di dalam apartemen digambarkan bagaimana keluarga yang berbeda tinggal dan melengkapi rumah mereka, seperti pasangan pensiunan, pelajar di komune, pekerja migran dari Turki, dan pasangan hippie dengan anak mereka.
Di sini juga bisa ditemukan museum poster, terutama poster-poster klasik, seperti poster pariwisata, politik, dan film. Poster-poster ini koleksi dari pelukis Denmark, Peder Stougaard. Ia mengumpulkan poster sejak 1972. Stougaard menyumbangkan koleksinya ke Museum Poster pada 1993. Baru pada 2006 museum tersebut dipindahkan ke Den Gamle By.
Di satu gedung dengan museum poster, terdapat museum porselen, jam, benda-benda dari perak, dan perhiasan. Termasuk perhiasan karya Georg Jensen, pembuat perhiasan dan peralatan perak ternama. Ia memulai usahanya pada 1904. Walaupun ia meninggal pada 1935, usahanya tetap berjalan sampai sekarang.
Di lokasi ini juga terdapat toko roti, yang menjual roti dan cake masa kini. Tentu saja harganya berbeda dengan roti jadul di toko Pedersen. Selain roti, di sini dijual bolu gulung, pai, dan kransekage, kue khas Denmark yang ditumpuk seperti menara. Kue ini biasanya disajikan untuk acara-acara khusus, seperti perkawinan, Natal, dan tahun baru.
Hari menjelang sore, perjalanan saya diteruskan sambil menuju pintu keluar. Saya masih sempat melewati sungai yang membelah museum ini dengan kincir air tuanya. Dulu kincir air seperti ini digunakan untuk menggerakkan mesin penggiling tepung. Di pintu keluar, ada toko suvenir dan kafe. Awalnya, saya ingin makan di kafe, lalu melanjutkan melihat beberapa lokasi lagi di museum ini. Sayangnya, kafe ini tutup. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan museum dan menuju Street Food, sebuah tenda yang menjual makanan dari berbagai negara.
Meski sudah berkeliling selama empat jam, saya masih merasa belum puas menjelajahi museum ini. Ah, perjalanan ke masa lalu memang selalu menyenangkan.