Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raudal Tanjung Banua
Penikmat perjalanan, tinggal di Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Liwa, ibu kota Kabupaten Lampung Barat, kerap digambarkan sebagai kota kecil di sudut nun Provinsi Lampung. Terkurung gunung, berpagar Bukit Barisan, dan terkepung hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Gempa bumi besar pada 1994 membuat Liwa seolah-olah terisolasi, dan beberapa waktu kemudian ditemukan sebuah gudang dengan tumpukan logistik yang sudah membusuk. Hal itu seakan-akan memperkuat anggapan betapa jauh dan "misteriusnya" Liwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu terpatri dalam ingatan saya cukup lama. Karena itu, sebelum menuju Liwa, saya menghubungi seorang kawan, Arman A.Z., yang mengetahui seluk-beluk daerah bekas Kerajaan Sekala Brak tersebut. Ternyata tidak seperti yang diduga. Perjalanan ke Liwa sangat menyenangkan. Ah, berita sering kali bikin persepsi beda dalam kepala.
Setelah sehari perjalanan dari Yogyakarta, pada 23 Oktober 2019, saya dan keluarga melintasi Selat Sunda. Selepas penyeberangan Merak-Bakauheni, kami meluncur di jalan tol Bakauheni-Terbanggi Besar menjelang dinihari. Jarak tempuhnya 140 kilometer. Keluar dari jalan tol, saya mengambil arah ke Kotabumi, masuk jalan lintas tengah Sumatera. Saat azan subuh berkumandang, kami sampai di pinggiran kota kecil Bukit Kemuning, Lampung Utara.
Kota Kecamatan Bukit Kemuning cukup ramai karena terletak di tepi jalan lintas tengah Sumatera serta memiliki simpang jalan ke Liwa. Persimpangan ke Liwa berada di sebelah kiri atau ke arah barat. Sedangkan jika lurus, kita akan bersua dengan perbatasan Lampung-Sumatera Selatan, yang terkenal dengan Perbatasan Garuda Hitam di Way Tuba.
Tak jauh dari perbatasan Kabupaten Lampung Utara dengan Kabupaten Lampung Barat, tepatnya di Sukarata, kami melihat patung Ir Sukarno berdiri kokoh di pertigaan jalan. Sukarno meninggalkan jejak di Lampung Barat. Pada 1952, ia meresmikan kawasan transmigrasi Way Tenong dan Way Tebu. Keduanya disatukan dengan nama Sumber Jaya, yang menyiratkan kejayaan bagi semua.
Sumber Jaya menjadi basis akulturasi etnis Jawa, Sunda, dan penduduk lokal yang antara lain bermarga Sebatin. Untuk menjamin harmoni, Pemkab Lampung Barat tiap tahun mengadakan festival budaya di Sumber Jaya. Termasuk membangun patung Ir Sukarno demi mengingatkan kehadiran sosok penyatu itu di tengah munculnya kasus-kasus tanah dan agraria. Selain itu, sebenarnya sudah lebih dulu ada Tugu Sukarno di atas sebuah bukit kecil, tapi kurang terawat.
Jalan menuju Liwa terus membentang, naik-turun memotong punggung Bukit Barisan. Daerah ini terletak di antara Gunung Seminung, Gunung Sekincau, dan Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung (2.232 mdpl). Di tengah medan penuh tikungan itu, suasana terasa menyegarkan mata dan menenteramkan pikiran. Sebutlah kehijauan kebun kopi robusta di Sekincau hingga keasrian pekon (kampung) dengan rumah-rumah panggung yang artistik. Itu bonus istimewa yang tak akan terlupakan.
Ya, hampir semua rumah di sepanjang jalan Sekincau, Fajar Bulan, hingga Liwa merupakan rumah panggung kayu bertiang tinggi. Sejenis rumah adat yang disebut nuwo. Tinggi tiangnya bisa mencapai 1,5 meter. Bagian kolongnya dapat difungsikan untuk menyimpan barang atau sebagai gudang. Tapi tak jarang sekaligus sebagai tempat tinggal sehingga menjadi rumah dua lantai. Di halaman yang luas, orang-orang menjemur kopi, pala, cengkih, dan pinang, komoditas penting Lampung Barat.
Suasana ini mengingatkan saya pada rumah-rumah sejenis di Minahasa dan Polewali Mandar. Bedanya, rumah panggung di Sulawesi memiliki serambi yang disebut geladak dan tangganya berada di luar. Rumah panggung di Lampung Barat saya perhatikan tidak memiliki serambi dan tangganya berada di dalam rumah.
Selain itu, ukuran rumah panggung di Lampung Barat tergolong "raksasa", dengan luas sekitar 200 sampai 300 meter persegi. Usianya pun puluhan, bahkan ratusan tahun. Namun banyak pula rumah panggung yang baru dibangun. Tentu sebuah pilihan tak mudah di antara sulit dan tingginya harga kayu. Boleh jadi karena terletak di daerah rawan gempa. Ini merupakan kearifan lokal yang sudah diwarisi turun-temurun.
Di Desa Fajar Bulan, kami berhenti untuk melihat-lihat rumah panggung lebih dekat. Umumnya rumah-rumah itu sepi karena ditinggal pemiliknya ke kebun atau ladang. Kami ditemani Pak Sukani, 65 tahun, yang mengaku mewarisi rumah kayu dari orang tuanya. Jadi, hitung sendiri berapa usia rumah yang masih terawat dengan jendela penuh kaca itu.
MENJELANG masuk Kota Liwa, kami melewati sebuah tanjakan dengan jalan lebih lapang. Seluruh tebing bukit dihiasi oleh duplikat aneka kain tapis warna-warni. Lumayan menjadi jeda bagi mata yang dominan menampak warna hijau kebun kopi. Sebuah upaya kreatif memanfaatkan tebing jalan yang biasanya kosong dan gersang.
Pada pukul 11.00 WIB kami memasuki Kota Liwa, ibu kota Lampung Barat. Liwa disebut sebagai Kota Kabut karena sering diselimuti halimun gunung. Tapi siang itu kabut menyisih oleh terik matahari. Suasana kota sedang sepi. Saya pikir pasti orang-orang beraktivitas di dalam ruangan atau pasar. Tapi, ketika saya ke pasar, suasana juga tak terlalu ramai. Mungkin memang begitulah hari-hari di Liwa.
Pasar Liwa merupakan bagian dari Kecamatan Balik Bukit dengan luas 175,6 km persegi dan berpenduduk 37.080 jiwa. Tapi luas pusat Kota Liwa tak lebih dari 3,5 hektare. Jalanan di Kota Liwa cenderung pendek-pendek karena efek perbukitan.
Di Liwa terdapat simpang jalan ke Danau Ranau, danau indah di perbatasan Lampung-Sumatera Selatan. Di bundaran jalan ada monumen yang agak abstrak. Sekilas seperti tanaman kaktus, dan di sisi lain serupa rangka bangunan rumah panggung yang tadi saya saksikan. Sempat pula saya berpikir itu diambil dari salah satu motif kain tapis.
"Oh, itu Tugu Ara, Mas, meniru bentuk pohon hagha, atau beringin yang banyak tumbuh di Liwa. Dimodifikasi menyerupai belalai gajah yang jumlahnya sama dengan jumlah marga di Lambar," kata seorang warga.
Cuaca sejuk dan keindahan alam Liwa memikat banyak orang. Tak mengherankan jika pada masa kolonial kota ini dijadikan tempat peristirahatan. Sejumlah bangunan lama masih berfungsi sebagai kantor dan hotel. Tapi kami tak menginap karena kami di sana hanya sampai tengah hari. Masih ada banyak waktu untuk lanjut ke Krui, saudara tua Kota Liwa di pesisir.
PERJALANAN Liwa-Krui relatif lebih berat. Bukan saja medan jalan kian berkelok tajam, jalur sepanjang 35 km ini juga sepi tanpa perkampungan. Jalanan membelah pepat hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Karena itu, sebelum memasuki kawasan TNBBS, kami berhenti sejenak di depan gerbang Kubu Perahu. Kami makan siang dengan nasi bungkus yang dibeli di pasar Liwa. Tentu tak lupa mencuci tangan di sungainya yang jernih. Limpahan air gunung membuat warga Kubu Perahu membuka kolam renang dan taman bermain. Menurut seorang ibu yang punya warung di situ, setiap liburan, kawasan tersebut ramai dikunjungi warga.
Pantai Batu Tihang.
Selesai makan, kami segera kembali membelah hutan. Kaca kendaraan kami buka lebar-lebar sehingga angin sejuk pegunungan masuk. Tak berapa lama, kami bertemu dengan obyek wisata Alam Kubu Perahu, yang antara lain memiliki area perkemahan, gardu pandang, dan rumah pohon. Ada pula Resort Balik Bukit milik Kementerian Kehutanan. Kami beristirahat lagi sebentar, menikmati keheningan alam.
Taman Nasional Bukit Barisan dulu berstatus sebagai suaka margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 48 Tahun 1935. Di sini hidup gajah Sumatera, harimau Sumatera, dan badak Sumatera. Pada 1982, statusnya berubah menjadi taman nasional dengan luas 356.800 ha.
Pada 1990, Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan seluas 21.600 ha digabung dengan TNBBS. Lalu, pada 2004, TNBBS ditetapkan UNESCO sebagai Cluster Natural World Heritage Site (Tapak Warisan Alam Dunia).
Sebagai taman nasional, TNBBS memiliki beragam jenis pohon. Yang menarik perhatian adalah pohon damar (Agathis dammara). Damar mudah dikenali karena batangnya dilubangi menyerupai deretan lubang papan congklak. Itu cara untuk mengambil getahnya, sekaligus membuatnya tampak unik dan artistik.
Getah damar terbilang mahal, apalagi jenis damar raja dan damar mata kucing. Sampai sekarang orang-orang Sumatera masih berburu getah damar di hutan, sebagaimana dikisahkan Mochtar Lubis dalam novel Harimau! Harimau! (1975).
Di tengah keasyikan mengamati pohon damar, tak terasa kami sampai di gerbang perbatasan Kabupaten Pesisir Barat. Kabupaten ini dimekarkan dari Kabupaten Lampung Barat pada 2013. Suasana "pesisir" sudah terasa dari patung dua ekor ikan todak di atas gerbang tapal batas. Di bawah sepasang todak itu, ada gambar lengkung lidah ombak.
Sesuai dengan namanya, Kabupaten Pesisir Barat terletak di pesisir barat Sumatera, menghadap Samudra Indonesia. Karena itu, perikanan merupakan sumber pendapatan utama di samping mengandalkan ombak besar untuk mengincar peselancar dalam dan luar negeri. Kabupaten baru ini potensial untuk itu, dengan pantai membentang dari Bengkunat di perbatasan Tenggamus sampai Pogung Tampak di perbatasan Kaur, Bengkulu.
PADA tengah hari kami tiba di Krui, ibu kota Kabupaten Pesisir Barat. Jauh sebelum ditetapkan menjadi ibu kota daerah otonomi baru, pada masa lalu Krui merupakan kota kewedanaan sekaligus pelabuhan penting di barat daya Sumatera. Dari sini dikapalkan rempah-rempah dan hasil hutan, seperti lada, kapur barus, dan tentu saja damar.
Selain memiliki Krui, Pesisir Barat memiliki daerah penting lainnya, seperti Bengkunat, Ngaras, Ngambur, Lemong, dan Pulau Pisang. William Marseden (1779) mencatat bahwa Distrik Krui diperintah oleh lima orang penguasa yang disebut Pangau-Limo atau Pendawa Lima.
Sebagai ibu kota kabupaten yang baru seumur jagung, Krui lebih berupa kota kecamatan dengan titik aktivitas di sekitar pasar. Deretan pertokoan memenuhi kedua sisi jalan dan mencapai keramaian di sebuah tikungan. Di antara itu semua, toko berjejaring besar berdiri secara mencolok di sejumlah titik. Sementara itu, bangunan perkantoran tampak dalam tahap penyelesaian, termasuk kantor Bupati Pesisir Barat. Di sudut pasar ada sebuah tugu kecil yang menandai peringatan kemerdekaan RI. Itu cukup mendatangkan rasa haru.
Di tengah cuaca terik, kami berbelok ke pantai, melalui simpang yang lagi-lagi ditandai tugu ikan todak. Jalan tersebut berujung di tepi Pelabuhan Kuala Stabas, peninggalan Hindia Belanda. Beton pemecah ombak yang dibuat lebih dari seratus tahun lalu masih bersisa di tengah laut. Pelabuhan masih digunakan meski sebatas tempat berlabuh kapal ikan. Sesekali merapat kapal barang ukuran kecil.
Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007) mencatat bahwa kapal perusahaan KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), perusahaan pelayaran Hindia Belanda yang didirikan pada 1888 dan beroperasi pada 1891, rutin menyinggahi Krui, juga Batavia, Teluk Betung, Bengkulu, dan Padang.
Ada sejumlah ruas jalan yang bersilangan di sekitar pelabuhan, rusak dan berdebu, tapi itu cukup menjadi bukti bahwa Pelabuhan Kuala Stabas dulu termasuk luas. Bukti lain, deretan gedung dan gudang tua masih berdiri, berarsitektur Indische, di antaranya bekas Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea-Cukai.
Sebuah dinding setinggi hampir 6 meter, lengkap dengan bekas jendela dan pintu, membentang sepanjang lebih 25 meter di sisi jalan. Menurut warga, itu bekas gudang komoditas era akhir kolonial dan gudang logistik pada zaman Jepang. Di bagian atas pintunya terdapat relief sepasang mata menyerupai burung hantu. Entah apa maknanya.
Di sebuah warung saya memesan kopi, sementara anak-anak saya biarkan bermain di pantai. Angin semilir membuat mata mengantuk dan desir daun kelapa perlahan menidurkan saya di bangku. Lamat-lamat, antara tidur dan jaga, saya tangkap selarik puisi; O, Krui, apakah kau kota yang jaga atau tidur?
Segera saya terbangun dan larut memikirkan surutnya pelabuhan penting pada masa lalu. Berapa lama engkau tertidur dan ditinggalkan? Dalam era otonomi, Krui memang mencoba bangkit dengan status ibu kota kabupaten, tapi masih penuh beban.
Di tengah perasaan nelangsa, saya dan keluarga akhirnya meninggalkan Kota Krui menuju Pogung Tampak. Jalanan berubah lurus di Penggawa. Di kiri-kanannya terhampar padi menguning dan sebagian sedang dipanen. Buliran padi dijemur di halaman rumah-rumah panggung, dikekah oleh perempuan-perempuan bercaping lebar.
Sejenak kami lupa pada pantai dan ombak. Apalagi menjelang Pogung Tampak, kami harus kembali masuk hutan. Hutan itulah yang dulu berstatus cagar alam laut, tapi kemudian digabung dengan TNBBS.
Keluar dari hutan, kami sampai di Pogung Tampak, dan segera tampak lautan luas terbentang. Maklum, kaki Bukit Barisan berhadapan langsung dengan Samudra Indonesia. Ombaknya mencipta gemuruh. Kontras sekali dengan keheningan hutan di atas sana.
Beberapa kali kendaraan kami disalip sepeda motor trail yang dipacu turis-turis bule. Mereka melaju sambil mengepit papan selancar untuk berburu ombak yang lebih besar. Mereka berhenti di Kota Karang dan turun ke pantai di sisi utara obyek wisata Batu Tihang. Batu Tihang merupakan sepotong bukit kecil yang tegak runcing di tepi laut. Sekilas menyerupai keunikan Batu Dodol di Banyuwangi.
Tak jauh dari Batu Tihang ada pergelaran organ tunggal. Para pejabat dari ibu kota kabupaten hadir dengan deretan mobil dinas di tepi jalan. Ternyata sedang ada peringatan Hari Santri. Di atas mobil yang terpaksa berjalan lambat, saya melihat wajah para pejabat kabupaten semringah, wajah dari sebuah kabupaten baru yang sedang berbenah. Keheningan hutan dan gemuruh lautan tiba-tiba membuncah di dalam dada saya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo