Saya tiba di depan hotel itu pada subuh. Saya bergegas menuju medan Imam, plaza di pusat Kota Isfahan, Iran, yang berdiri sejak abad ke-17. Matahari pada pekan kedua Januari lalu masih enggan membagi seluruh sinarnya. Tapi biasanya sudah cukup untuk membangunkan kawanan gagak yang ramai menyambut saya dan beberapa peneliti Indonesia di langit pagi itu.
Letih sisa perjalanan naik pesawat dari Teheran, ibu kota Iran, tidak saya hiraukan. Dengan ransel menggantung di pundak, berlari kencang menuju monumen yang selama ini hanya saya kagumi lewat buku itu. Saya tidak ingin melewatkan menit saat kubah biru toskanya berubah keemasan oleh sinar matahari pagi. Saya tidak sabar pula untuk bertemu Masjid Shah, yang menempel di sisi selatan plaza itu.
Tentu saja penjaga pintu plaza masih tertidur. Saya hanya disambut dengan iwan raksasanya yang sangat ayu bersama pintu gerbang kayu yang tenggelam di lautan keramik biru di sekujur dindingnya. Iwan adalah ruang dengan langit-langit melengkung yang satu sisinya menghadap area terbuka. Bibir saya seketika merekahkan senyum lebar. Kecantikannya langsung menghangatkan hati saya.
Hotel mungil kami di Isfahan hanya sekitar satu menit berjalan dari medan Imam. Pembimbing kami memilih tempat itu karena obyek riset kami banyak terletak di sekitarnya. Jadi, dengan mudah saya dapat kembali berkunjung ke sana pada siang harinya.
Saya memilih fokus riset tentang masjid sebagai salah satu tipologi bangunan lokal Iran. Sebagai arsitek dari negara muslim terbesar di dunia, tentu masjid bukanlah bangunan asing. Namun, melakukannya di Iran, salah satu dari empat republik Islam dunia, menjadi sangat menantang.
Esok paginya saya ingin menengok Masjid Shah untuk ketiga kalinya. Kedatangan kemarin belum membuahkan data yang saya harapkan. Yang mengesalkan, saya harus mengalah kepada perayaan Ashura di hari itu. Masjid itu ditutup untuk umum. Wartawan dan kamera televisi tersebar di segala penjuru, siap merekam perayaan di sana. Bus-bus terparkir berbaris di sisi selatan masjid. "Mereka membawa ratusan orang dari luar kota," kata Golnar Abbasi, sahabat saya yang orang Iran.
"Umumnya banyak orang kota ini tidak mau hadir di perayaan Ashura. Karena itu, pemerintah membawa orang-orang dari kota kecil dengan bus," kata Golnar. "Namun hal itu tidak hanya terbatas di acara ini. Kebanyakan acara keagamaan pemerintah menjadi seperti ini."
Tapi, hari itu saya harus puas dengan memandangi gagahnya iwan Masjid Shah dari jauh. Saya hanya bisa membayangkan kembali pelataran masjid yang penuh dengan keramik dan marmer biru di lantai, dinding, dan langit-langit lengkungnya. Taman cantik dengan pohon meranggas berada di dua sisi masjid. Kubah utamanya memiliki patri pola bunga yang indah dan akan menggemakan suara saya ke seluruh penjuru masjid. Jika diizinkan, saya ingin tidur semalam di masjid itu. Ia adalah rumah umat yang sangat mewah.
Namun bayangan itu tetap tak dapat menghapus pertanyaan besar dalam pikiran saya. Mengapa masyarakat Iran membangun masjid secantik dan semegah ini? Haruskah? Apakah ada keterkaitannya dengan kepentingan penguasa zaman dulu, seperti yang saya saksikan di perayaan Ashura itu?
Saya mencoba mengawalinya dari makna masjid. "Masjid" berasal dari kata "sajada", yang berarti "untuk bersujud". Kata ini bisa juga berarti ruang seseorang untuk bersujud atau beribadah. Sajada juga digunakan sebagai nama alas yang digunakan untuk salat, yang membatasi area "masjid" di mana pun seseorang ingin beribadah. Di dalam Al-Quran ternyata tidak ada ayat yang secara khusus menuliskan karakteristik arsitektur masjid.
Kebutuhan pendirian masjid muncul di era Nabi Muhammad untuk mempersatukan umat. Beliau mengawalinya dengan pembangunan Masjid Quba, yang disusul Masjid Nabawi atau Masjid Nabi. Masjid terakhir ini menjadi embrio dari semua bangunan masjid di dunia.
Bentuk Masjid Nabawi sangat sederhana. Dinding lumpur mengelilingi sebuah ruang terbuka seukuran 50 x 50 meter dengan pilar dari batang kelapa yang menopang atap di sisi kiblat dan sisi utara. Ia memiliki pintu di sisi utara, barat, dan timur. Nabi dan keluarga juga tinggal di dalam masjid ini. Ruang-ruang tinggal mereka menempel di sisi timur masjid.
Karen Armstrong dalam Islam: A Short History menyampaikan bahwa bentuk bangunan yang sederhana ini menyimbolkan inti kesederhanaan ajaran Islam. Tidak seperti gereja yang dikhususkan untuk beribadah, masjid tidak melarang hadirnya aktivitas kemasyarakatan di dalamnya. Masjid Nabi saat itu menjadi rumah pemimpin dan pusat pemerintahan umat Islam. Ruang terbukanya menjadi area untuk beribadah, perundingan militer, hingga tempat tinggal sementara para pengungsi.
Lalu, mengapa desain masjid Iran menjadi sangat berbeda dengan Masjid Nabi? Arsitektur merupakan sebuah produk budaya. Seperti bentuk kebudayaan apa pun, saat dikenalkan di tempat yang asing, ia akan melebur bersama nilai, tradisi, dan estetika lokal untuk membuatnya menjadi lebih ramah dan bisa diterima oleh lingkungannya.
Begitu pula dengan masjid. Sejak embrionya tertanam di tanah Persia pada era masuknya Islam di abad ke-7, ia mulai berkembang dengan menyerap gaya arsitektur lokal. Tarik Khane, masjid tertua peninggalan Dinasti Abbasid, menyimpan jejak transisi tersebut. Seperti Masjid Nabi, Tarik Khane memiliki konstruksi atap yang ditopang barisan kolom, atau hypostyle, dan tanah lapang di tengah bangunannya. Yang membedakan adalah mulai hadirnya kubah, atau gonbad dalam bahasa Persia, dan iwan, yang merupakan ciri khas arsitektur pra-Islam Persia.
Hal ini tidak lepas dari pengaruh penguasa. Seiring meluasnya ajaran Islam di Iran, peranan politik masjid menjadi semakin penting. Agama menjadi satu dari tiga simbol kekuasaan kerajaan Islam Persia, selain perdagangan dan Shah. Semua menjadi jelas ketika saya menyaksikannya di medan Imam. Plaza cantik yang dikelilingi deretan toko setinggi dua lantai ini menggandeng tiga simbol itu di tiga sisinya.
Semuanya diawali pada abad ke-16, saat Shah Abbas ingin menjadikan Isfahan ibu kota baru Persia, yang kala itu terpecah-pecah. Ia mengusulkan restrukturisasi besar-besaran Kota Isfahan. Salah satunya dengan membangun medan Imam. Saat itu medan menjadi tempat bertemunya Shah dengan rakyatnya. Karena guna dan letaknya yang strategis, ia juga menjadi panggung yang tepat untuk menunjukkan bulatnya kekuasaan sang Shah. Medan Imam akhirnya menjadi rantai yang mengikat ketiga simbol tersebut, dari bazar sebagai simbol perdagangan di utara, Istana Ali Qapu sebagai simbol Shah di barat, dan Masjid Shah sebagai simbol agama di selatan.
Untuk itu, masjid juga diupayakan menjadi bagian dari kerajaan. Ia diikat oleh unsur yang selama ini hanya dikenakan dalam proyek komisi kerajaan, seperti kubah. Pada era pra-Islam, kemegahan kubah hadir untuk menyimbolkan kejayaan sang raja. Ia menjadi kepala dari bangunan makam keluarga raja atau kuil Zoroasterian. Tradisi ini kemudian berlanjut di era Islam. Kubah disatukan dengan badan masjid, meski sejarawan belum menemukan waktu pasti kapan pertama kali ini terjadi. Di dalamnya turut terlukis dekorasi yang menunjukkan keindahan dunia langit, pengingat betapa kecilnya rakyat di hadapan Allah dan kosmos ciptaan-Nya.
Di Masjid Shah, kubah duduk dengan sangat megah. Konon, kilau birunya dapat dilihat dari jauh oleh pedagang yang sedang melewati Jalan Sutra. Kemegahan ini juga menjadi simbol kekuasaan Shah lewat karya cipta berskala akbar. Setelah selesai dibangun, Masjid Shah akhirnya menjadi masjid terbesar di Isfahan hingga sekarang. Skala ini juga menjadi magnet yang menarik jemaah salat Jumat dari masjid yang lama ke Masjid Shah.
Iwan juga menjadi unsur pengikat masjid. Di era pra-Islam, iwan mewadahi kegiatan pertemuan di istana raja, rumah bangsawan, atau bangunan keagamaan. Ia kemudian bermutasi menjadi gerbang monumental yang memberi karakter kuat pada masjid Persia. Di dalam halaman masjid, iwan berdiri di empat penjuru, menghadap pusat halaman yang diberi kolam wudhu. Ini komposisi sempurna yang melambangkan axis mundi, titik yang menghubungkan antara dunia fana dan nirwana.
Dalam riwayat Isfahan, Masjid Shah ternyata tidak menjadi satu-satunya pusat demonstrasi kekuasaan. Masjid Jame' Isfahan, yang menjadi lokasi salat Jumat sebelumnya, juga bernasib serupa. Bedanya, di sini aksi itu tidak dimonopoli oleh Shah. Penguasa lokal, baik individu maupun kolektif, berlomba untuk meninggalkan jejak politisnya melalui renovasi masjid. Mereka selalu memberikan sesuatu yang berbeda, yang, jika perlu, lebih baik dibanding renovasi sebelumnya. Setiap penguasa tentu tidak ingin kalah, bahkan ada yang menjadikannya sebagai lokasi pertarungan. Seperti Taj al-Mulk yang memandatkan konstruksi kubah di sisi utara demi menandingi rivalnya, Nizam al-Mulk, yang membangun kubah lain di sisi selatan.
Walhasil, masjid ini menjadi sangat kaya. Desain empat iwannya berbeda antara satu dan yang lain. Lebar pilar bervariasi dari dua jengkal telapak tangan hingga dua rentang tangan pria dewasa. Langitnya, dari pendek hingga sangat tinggi, tampil polos hingga penuh dekorasi. Setiap lurus dan lengkung garis ruangnya seakan bercerita tentang selera penguasa dan gaya arsitektur Persia di masa tertentu. Ia menyimpan rapi jejak-jejak sejarah arsitektur Persia.
Setelah kembali ke Teheran, saya segera mencari perbandingan. Saya menyambangi Tehran Old Jame' Mosque, masjid kecil di bazar Tehran yang dibangun oleh masyarakat setempat pada abad ke-17. Seperti umumnya masjid di Iran, masjid ini menyerap unsur-unsur yang dikenalkan penguasa. Yang membedakannya, ia jauh dari kemegahan atau kesempurnaan. Masjid ini melebur dengan lingkungan setempat.
Skalanya membaur, tidak lebih besar atau lebih tinggi daripada bangunan di sekitarnya. Bahkan, dari koridor bazar, ia hanya dibedakan oleh iwan setinggi tiga meter. Jika saya sibuk belanja, mungkin saya tidak akan tahu bahwa di baliknya terdapat sebuah masjid. Tidak ada empat pintu iwan, hanya ada tiga pintu dengan reka bentuk tak seirama. Tidak ada dekorasi berlebihan seperti masjid-masjid penguasa lain. Ia sangat rendah hati dan sederhana.
Berbeda sekali dengan kunjungan saya ke Masjid Sepahsalar, yang terletak di sebelah gedung parlemen Teheran. Saya sangat ingin mengunjunginya sejak awal perjalanan. Masjid dari abad ke-19 ini mulai menunjukkan pengaruh arsitektur Eropa dalam denahnya yang memiliki bentuk salib atau desain taman gaya Eropa di tengah lapangannya.
Sayangnya, grup riset kami dilarang masuk karena kami bukan warga asli Iran. Meski sudah berdebat panjang-lebar, bahwa kami hanya ingin melihat dan tidak akan mengambil foto, penjaga masjid tetap kukuh bahwa masjid ini milik negara yang harus dilindungi dari pencuri kearifan arsitektur Iran. Masjid yang menjadi rumah umat tiba-tiba menjadi tertutup dan eksklusif.
Hal ini juga terjadi di Universitas Teheran. Lapangannya menjadi lokasi salat Jumat sejak Revolusi Islam 1979. Untuk masuk, semua orang harus melewati pemeriksaan tentara, pintu metal detektor, dan pemeriksaan kartu identitas universitas. Orang luar tidak boleh masuk, kecuali rela mengurus administrasi berbelit dengan pihak universitas. Arena salat menjadi penuh ketegangan. Kenapa seseorang harus digeledah untuk menyembah-Nya?
Saya akhirnya bertanya kembali ke Golnar. Jika masjid dikontrol pemerintah sejauh ini, bagaimana reaksi anak mudanya? "Saya tidak pergi ke masjid itu sama sekali, seperti teman-teman saya yang lain. Saya tahu ada beberapa yang berangkat, tetapi mayoritas tidak. Saya ingat bahwa kepergian saya ke masjid dalam 10 tahun terakhir adalah untuk pemakaman, menjemput nenek yang selesai sembahyang, menggunakan kamar mandinya, atau berkunjung karena mereka adalah monumen nasional," kata dia. YUSNI AZIZ
Ransel