Fachruddin M. Mangunjaya, PENCINTA LINGKUNGAN
Perubahan iklim telah menjadi fakta yang mengkhawatirkan. Panel Antarpemerintah dalam Perubahan Iklim merilis laporannya pada 2 Februari ini. Laporan itu mensinyalir perubahan iklim lebih mencemaskan daripada dugaan semula. Di Indonesia, gejala perubahan iklim dirasakan akibat pergeseran musim yang ekstrem dari musim kemarau menjadi musim hujan yang kita alami pada beberapa tahun terakhir ini. Atau peristiwa sebaliknya, terjadi musim kemarau yang ekstrem setiap empat atau lima tahun sekali, yang memicu parahnya kebakaran hutan yang dialami Indonesia. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2005) juga telah mensinyalir perubahan itu dalam sebuah penelitian tentang tren perubahan musim selama 100 tahun di Jakarta.
Hal ini tentu saja seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya memelihara keseimbangan lingkungan. Fakta ini terjadi karena hubungan yang sambung-menyambung perubahan iklim global. Fakta-fakta ilmiah di berbagai jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri, misalnya, telah banyak memberikan pemahaman kepada kita tentang akibat perubahan iklim dan pemanasan global yang sedang terjadi. Kampanye gencar terus dilakukan, seperti halnya yang dilakukan oleh Al-Gore, yang telah meluncurkan sebuah film dokumenter perjuangannya berkampanye dan "menjewer kuping" pengambil kebijakan yang tidak percaya akan pemanasan global dalam tajuk film Inconvenience Truths.
Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), yang berlangsung di Montreal pada Desember 2005, membuahkan hasil yang menarik. Konferensi yang dihadiri oleh lebih dari 10 ribu delegasi dari seluruh dunia ini dimaksudkan untuk merancang langkah pengurangan emisi gas rumah kaca pasca-Protokol Kyoto. Langkah itu kemudian ditindaklanjuti dengan usul pada Protokol Kyoto di Nairobi, 6-17 November 2006, yang mengajukan skema agar negara-negara industri membayar kompensasi untuk menyerap gas-gas rumah kaca. Mereka adalah koalisi dari 15 negara pemilik hutan tropis, termasuk Indonesia.
Gagasan ini sebenarnya berasal dari Papua Nugini dan negara-negara Pasifik, dengan ratusan ribu jiwa orang yang akan terancam dan harus pindah akibat naiknya air karena pemanasan global. Karena itu, para pendukung usul ini mengatakan bahwa perlindungan terhadap hutan tropis sangatlah penting, karena akan menghambat pemanasan global dan membersihkan udara akibat adanya emisi gas yang dikeluarkan dari berbagai pabrik sembari menciptakan upaya energi bersih.
Dalam ajuan tersebut, karbon yang akan diserap dari atmosfer bisa menjadi barang dagangan dan dipatok harga. Alasannya, hutan hujan tropis yang ada mempunyai fungsi setara sebagai penyeimbang gas dan emisi yang dikeluarkan oleh negara-negara industri tersebut.
Ember bocor
Selama ini target menurunkan tingkat emisi sesuai dengan kesepakatan Kyoto dalam menanggulangi pemanasan global ibarat "mengisi ember bocor". Atau sebuah rumah dengan pintu Abunawas: di depan terkunci dengan kunci emas, sedangkan di bagian belakang dibiarkan terbuka. Pasalnya, 20 persen emisi gas yang dilepas di seluruh dunia berasal dari penebangan hutan. Maka upaya penurunan emisi juga bergantung pada jumlah hutan yang bisa kita hindarkan dari proses penggundulannya.
Potensi daya serap karbon hutan di Indonesia berbeda-beda, misalnya saja, telah diteliti bahwa satu hektare hutan mangrove menyerap 110 kilogram karbon dan sepertiganya dilepaskan berupa endapan organik di lumpur. Penebangan hutan mangrove menyebabkan pembebasan karbon, endapan ini akan tetap terisolasi selama ribuan tahun. Karena itu, perubahan mangrove menjadi tambak udang, seperti yang dilakukan sementara orang sekarang ini, akan mempercepat pelepasan karbon ke atmosfer pula. Maka, dengan mencegah penggundulan hutan, negara-negara berkembang dapat secara efektif mereduksi emisi dan menurunkan pemanasan global.
Upaya ini seharusnya mulai disepakati dan dijalankan untuk--sembari berupaya memenuhi target Protokol Kyoto--mengurangi gas-gas rumah kaca dengan mekanisme pembangunan bersih (CDM) melalui teknologi bersih, reforestrasi, dan aforestrasi yang dilakukan oleh berbagai negara. Dengan kata lain, upaya mempertahankan hutan pengikat karbon adalah usaha mencegah ironi, yakni negara-negara berkembang yang mempunyai hutan alam, seperti hutan tropis, akan terus berkurang karena terus ditebang. Apabila hal ini terjadi, pencapaian target penurunan emisi rumah kaca akan menjadi sulit dan bias, karena di satu pihak mengadakan upaya perbaikan, sedangkan di pihak yang lain merusaknya.
Maka salah satu mekanisme yang efektif mulai Februari 2007 ini adalah diperbolehkannya melakukan barter emisi karbon. Misalnya Jerman tidak mampu mengurangi emisi mereka untuk mereduksi emisi bagi gas-gas pencemar atmosfer, maka mereka boleh mendapatkan kredit dari pengurangan emisi. Caranya, dengan memberi jaminan konservasi atau "membeli" beberapa ribu hektare lahan hutan di Indonesia dan menjamin tidak akan merusak hutannya.
Dengan skema ini, sesungguhnya Indonesia bisa mendapatkan miliaran dolar tanpa harus menebang hutan, apalagi membakarnya, seperti yang kita lakukan sekarang ini. Walaupun skema ini masih dalam perjuangan, harapan besar ada pada beberapa pemerintah daerah yang tetap konsekuen mempertahankan hutan alamnya. Seperti halnya Bengkulu, yang luas daerahnya dua pertiga (46,52 persen) dari total 19,8 juta hektare luas daratan Bengkulu, dapat mulai bernegosiasi dengan negara-negara industri yang ingin berkomitmen barter.
Harga karbon
Mengapa skema ini dilakukan? Sebab, cara inilah yang dianggap bisa lebih cepat dan realistis. Diasumsikan, jika potensi penyerapan karbon yang paling tinggi dilakukan oleh hutan hujan tropis--seperti yang dimiliki Indonesia--lalu ketika hutan ditebang atau dibakar, gas karbon akan lepas ke udara dan berkontribusi pada pemanasan global yang semakin parah. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil gas rumah kaca yang dihasilkan dari penebangan hutan. Daya serap hutan primer Indonesia harus diteliti dan mempunyai kemampuan serap yang berbeda-beda. Misalnya hutan primer, diperkirakan menyerap 50-150 metrik ton karbon setiap hektare. Lalu berapa harga satu hektare hutan alam yang asli? Ini memang menjadi perdebatan. Bank Dunia menetapkan setidaknya harga lahan--bila dibuka untuk kepentingan pertanian--hanya US$ 200-500 per hektare. Dengan skema carbon trading, harganya akan lebih tinggi, yaitu US$ 1.500-10.000, jika hutannya dipelihara dan dipergunakan untuk pengikat karbon dari negara-negara industri.
Menurut perhitungan terakhir, kerusakan hutan Indonesia pada 2000-2005 adalah 1,8-2 juta hektare per tahun. Berdasarkan data itu, potensi gas rumah kaca yang dilepaskan Indonesia setiap tahun adalah 93,6-280,7 juta ton karbon. Jika pasar dapat membeli US$ 4 per metrik ton karbon dioksida--berdasarkan harga pasar yang disepakati CCX Carbon Financial Instrument dalam Chicago Climate Exchange--kerusakan hutan Indonesia yang dapat dihindarkan akan mendapat kompensasi senilai US$ 374 juta hingga US$ 1.123 miliar per tahun.
Nilai tertinggi di pasar untuk menghargai karbon hampir US$ 20 per ton. Jadi deforestasi yang dihindarkan oleh Indonesia dapat memperoleh harga US$ 1.871-5.614 miliar per tahun, dan income per kapita Indonesia naik rata-rata 0,14-2,08 persen. Tentu saja semua upaya ini bisa terwujud dan bergantung pada upaya negosiasi dengan pihak negara industri yang ingin membeli, dan bagaimana prinsip emisi karbon ke udara bisa dihitung secara absah. Jika melihat kajian ilmuwan dunia yang dirilis IPCC Februari ini, mau tidak mau sikap yang bijak adalah segera bekerja sama atau tenggelam dan mati bersama-sama.