maaf email atau password anda salah


Tantangan Anak Muda Menjadi Dosen

Rendahnya minat anak muda menjadi dosen mengancam regenerasi dosen di perguruan tinggi. Mengapa profesi ini tak lagi menarik?

arsip tempo : 173057930734.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 173057930734.

Isu tentang kesejahteraan dosen mendapat sorotan banyak pihak di media sosial beberapa waktu lalu. Tagar #JanganJadiDosen pun mencuat dan jadi perbincangan di media sosial. Isi percakapannya mengupas situasi kesejahteraan dosen yang memprihatinkan. Di platform X (Twitter), banyak dosen yang memperlihatkan slip gaji dengan nominal Rp 2-3 juta.

Persoalan kesejahteraan dosen memang cukup kompleks. Di satu sisi, pendapatan dosen belum optimal. Di sisi yang lain, dosen juga dituntut memiliki latar belakang pendidikan S2-S3 agar bisa mengajar. Sedangkan biaya pendidikan pascasarjana tersebut tidak murah.

Isu kesejahteraan dosen sempat dibahas dalam pertemuan Majelis Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (MSA PTN-BH) di Universitas Negeri Malang pada 29 Februari hingga 2 Maret 2024. Dalam pertemuan utusan senat akademik dari 21 universitas yang juga penulis hadiri tersebut, salah satu isu yang dibahas adalah strategi regenerasi dosen untuk menggantikan dosen-dosen senior yang sudah antre pensiun. Dalam pertemuan itu, timbul satu pertanyaan, bagaimana nasib suatu perguruan tinggi bila regenerasi dosen terhambat?

Dasar hukum munculnya Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. PTN-BH memiliki otonomi luas dalam hal akademik. Salah satunya, perguruan tinggi dapat membuka dan menutup program studi di perguruan tingginya. Berbeda dengan PTN-Badan Layanan Umum/PTN Satuan Kerja yang tidak punya otonomi luas.

Pada awal terbentuknya PTN-BH, rekrutmen dosen aparatur sipil negara (ASN) ditiadakan sehingga beberapa perguruan tinggi PTN-BH membuka lowongan dosen non-ASN. Namun, saat ini, pemerintah secara bertahap sudah mulai membuka keran lowongan dosen ASN di PTN-BH.

Untuk menjawab pertanyaan tentang krisis regenerasi dosen di universitas negeri, sebetulnya kita bisa melirik anak-anak muda yang berpotensi menjadi dosen. Mereka adalah para mahasiswa yang sedang menempuh studi pascasarjana melalui beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Beasiswa PMDSU diluncurkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan sejak 2013. Mereka yang memperoleh beasiswa ini dianggap sebagai bibit unggul dengan performa akademik sangat baik di level S1, sehingga bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan langsung tanpa jeda berlanjut ke S3. Ketika lulus program doktoral, mereka berusia sekitar 27 tahun.

Potensi akademik yang dimiliki pemegang beasiswa PMDSU seharusnya memudahkan mereka untuk berkarier sebagai dosen sekaligus ilmuwan. Kalau inteligensia menjadi satu-satunya syarat menjadi dosen, semua peserta PMDSU sebaiknya direkrut menjadi dosen. Inilah potret academic excellence yang menjadi tulang punggung regenerasi dosen dan ilmuwan di Indonesia.

Selain itu, pemerintah melalui skema beasiswa LPDP telah menyekolahkan anak-anak muda untuk studi lanjut S2 atau S3 baik di dalam maupun di luar negeri. Seleksi untuk mendapatkan beasiswa LPDP dilakukan dengan sangat ketat sehingga mereka yang terpilih mendapatkan beasiswa tentulah bukan anak muda sembarangan.

Sebagian lulusan S2 maupun S3 dari program LPDP belum mempunyai ikatan kerja apa pun. Hal ini menjadi peluang bagi pemerintah untuk merekrut mereka sebagai dosen di perguruan tinggi negeri.

Terhambat Masalah Kesejahteraan

Meski begitu, mungkin banyak anak muda yang sekarang masih gamang untuk menjadi dosen. Dengan gaji awal Rp 3-4 juta per bulan, anak-anak muda lulusan S2 mungkin banyak yang menganggap tawaran menjadi dosen kurang menggairahkan.

Kondisi itu jelas sangat jomplang jika dibandingkan dengan lulusan S1 yang menjadi pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang bisa mendapatkan gaji lebih dari Rp 20 juta sebulan (gaji pokok plus berbagai tunjangan). Harus diakui bahwa welfare excellence akhirnya menjadi pertimbangan anak-anak muda lulusan perguruan tinggi dalam memilih pekerjaan yang dapat menunjang kesejahteraan hidupnya.

Dosen adalah ilmuwan dan pendidik. Menjadi dosen adalah panggilan jiwa. Harus ada passion yang kuat di dalam diri seorang dosen untuk mencari ide-ide baru untuk penelitian sesuai dengan fitrahnya sebagai ilmuwan. Selain itu, dosen harus menguasai teknik mengajar yang baik dan mampu berinteraksi membimbing mahasiswa.

Profesi dosen mengharapkan lulusan-lulusan terbaik perguruan tinggi untuk mau berkarier di sini. Adanya dana sertifikasi dosen senilai satu kali gaji pokok dan tunjangan kehormatan profesor setara dengan dua kali gaji pokok diharapkan bisa menjadi pemicu lulusan S2 dan S3 mau menjadi dosen.

Namun kita juga jangan melupakan fakta bahwa, di usia senjanya, kesejahteraan dosen masih memprihatinkan. Bahkan bagi mereka yang melanjutkan kariernya hingga menjadi guru besar. Di Indonesia, jabatan guru besar umumnya diraih seorang dosen di usia 50-an tahun. Memang ada dosen berusia awal 40-an tahun atau bahkan belum menginjak usia 40 tahun yang sudah menjadi guru besar, tapi jumlahnya tidak banyak.

Jika dirata-rata, seorang dosen muda memerlukan waktu setidaknya 25 tahun untuk menjadi guru besar (profesor) dan berhak mengantongi gaji bulanan Rp 25 juta. Pada saat pensiun nanti, gaji tersebut akan merosot hingga tinggal senilai gaji pokok (sekitar Rp 5 juta sebulan). Nilai tersebut tentu sangat tidak pantas untuk menghargai jasa seorang guru besar yang dianggap telah berkontribusi selama kariernya, mencetak ribuan sarjana di Tanah Air.

Dosen yang bekerja menggeluti sektor pendidikan sejatinya ikut bertanggung jawab mencetak sumber daya manusia Indonesia. Karena itu, mereka pantas mendapatkan imbalan yang lebih baik. Suara-suara anak muda yang ogah menjadi dosen karena menganggap profesi ini tidak menjanjikan kesejahteraan, seyogianya menjadi perhatian dan bahan pemikiran pemerintah. Perlu langkah kebijakan konkret untuk memperbaiki kesejahteraan dosen.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 November 2024

  • 1 November 2024

  • 31 Oktober 2024

  • 30 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan