maaf email atau password anda salah


Ketika Harga Jagung Mematuk Peternak

Pasokan jagung yang tak menentu kerap mendorong kenaikan harga pakan ternak. Harga daging ayam dan telur tak akan pernah stabil.

arsip tempo : 171424322552.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 171424322552.

Khudori

Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan penulis buku Bulog dan Politik Perberasan

Para pelaku industri perunggasan, terutama peternak ayam mandiri, baik ayam pedaging/broiler maupun layer/petelur, memulai 2024 dengan muram. Mereka mengalami guncangan usaha luar biasa. Ongkos beternak terus naik, didorong oleh kenaikan harga pakan, obat-obatan, harga ayam usia sehari (DOC), dan ongkos tenaga kerja. Sedangkan harga jual dalam bentuk daging ayam hidup (livebird) dan telur amat tidak menentu. 

Bagi peternak ayam broiler, situasi ini sudah terjadi setidaknya sejak Agustus 2018 dan belum ada solusi mujarab. Adapun situasi peternak layer sedikit berbeda. Akan tetapi keduanya kerap mengalami persoalan yang sama: terpukul dari dua sisi sekaligus, ongkos produksi naik sementara harga jual jatuh di bawah biaya pokok produksi.

Hari-hari ini, harga telur di peternak hanya Rp 21-22 ribu per kilogram, jauh di bawah ongkos produksi (Rp 25 ribu per kilogram). Ongkos produksi peternak naik tinggi, terutama disulut oleh harga jagung untuk pakan. Di pasar, harga jagung bahkan sudah menembus Rp 9.000 per kilogram, jauh di atas harga acuan yang diatur Badan Pangan Nasional (Bapanas): Rp 5.000 per kilogram. Tak ada solusi buat petani. Membeli pakan dari pabrik atau membuat sendiri sama saja: harganya mahal.

Dalam industri perunggasan, pengeluaran terbesar ada pada komponen pakan. Pakan mengambil porsi 70 persen dari seluruh ongkos produksi. Padahal, apabila harga pakan terjangkau, peluang untuk membangun industri perunggasan yang kompetitif terbuka lebar. Dari seluruh komponen pakan, jagung merupakan unsur utama. Dari komposisi pakan unggas, 50-55 persennya dari jagung. Karena itu, tinggi-rendahnya harga jagung amat menentukan harga akhir daging ayam dan telur ayam. Ketersediaan jagung yang pasti dengan harga terjangkau merupakan pilar bagi terciptanya industri perunggasan yang kompetitif. 

Masalahnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, jagung untuk pakan sering kali tidak tersedia sesuai dengan kebutuhan. Jikapun pasokan tersedia, harganya tergolong tinggi. Sejak tahun lalu, pemerintah lewat Bapanas menginisiasi ketersediaan cadangan jagung pemerintah dengan menugaskan Bulog mengimpor 500 ribu ton. Jagung ini akan dilego kepada peternak yang mencampur sendiri (self-mixing) pakan ternaknya. Peternak layer biasa membuat pakan dengan mencampur konsentrat, jagung, dan bekatul. Sayangnya, penyaluran kepada peternak kerap terhambat. Hal inilah yang membuat peternak kian kelimpungan.

Peternak tidak bisa mengandalkan jagung produksi dalam negeri akibat musim paceklik. Panen ada, tapi sulit diakses. Lokasinya jauh, tersebar di banyak tempat, dan dalam jumlah kecil. Untuk sampai ke industri pakan dan peternak, harganya mahal. Mengikuti hukum supply-demand, karena pasokan terbatas, harga jagung terpantik tinggi. Situasi ini diperkirakan berlangsung hingga akhir Februari 2024. Adapun panen dengan jumlah agak besar baru akan berlangsung di Jawa Tengah pada Maret dan di Jawa Timur pada April 2024. Jadi pasokan baru mulai akan normal pada Maret mendatang. 

Bagi peternak, situasi seperti ini amat dilematis. Diperkirakan 15-20 persen peternak layer melakukan afkir dini. Ayam yang masih produktif dipotong agar kerugian bisa disetop. Kandang tak diisi penuh. Bagi mereka, menutup usaha bukan pilihan mudah. Kerugian memang bisa disetop, tapi pekerja harus di-PHK. Gantungan hidup tak ada lagi. Lalu utang modal di bank dan utang pakan di pabrik harus dibayar pakai apa? Bukankah mereka telah melego aset-aset tersisa? Sebaliknya, jika usaha diteruskan, kerugian kian besar. Pertanyaan yang tak mudah dijawab: realistiskah meneruskan usaha yang rugi? Jika banyak yang afkir dini dan tutup usaha, pasokan saat Ramadan nanti terancam.

Sengkarut seperti ini bukan hal baru, dimulai ketika pemerintah menyetop impor jagung pada 2016. Waktu itu, alasan pemerintah adalah produksi jagung domestik cukup, bahkan surplus besar. Masalahnya, surplus jagung sulit diverifikasi dengan kondisi faktual di lapangan. Jika benar produksi surplus, kebutuhan peternak dan perusahaan pakan seharusnya mudah dipenuhi dengan harga terjangkau. Namun hal yang terjadi justru sebaliknya. Karena impor ditutup dan pasokan jagung domestik seret, peternak dan perusahaan pakan mengganti jagung dengan gandum pakan. 

Seharusnya substitusi ini juga membuat harga jagung turun. Namun peralihan jagung menjadi gandum untuk pakan ternak bukanlah solusi yang baik. Bagi peternak, performa ternak tidak sebaik jika pakan tersusun dari komponen jagung. Output ternak, telur atau daging ayam, tak sebagus semula. Secara makro, substitusi itu tak bermakna apa-apa karena devisa tetap terpompa keluar.

Sejak dilarang, volume impor jagung memang turun drastis, dari 3,5 juta ton pada 2015 menjadi tinggal 1,3 juta ton pada 2016. Pada saat yang sama, impor gandum untuk pakan justru melonjak drastis, dari 0,02 juta ton pada 2015 menjadi 2,5 juta pada 2016. Impor gandum untuk pakan bahkan melonjak menjadi 3 juta ton per tahun. Kondisi ini bertahan sampai sekarang. Jadi penurunan impor jagung akhirnya menjadi amat artifisial.

Ke depan, instabilitas harga telur, daging ayam, dan jagung bakal selalu berulang. Karena itu, pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah. Pertama, memperkuat cadangan jagung pemerintah (CJP). Volume CJP setidaknya harus memenuhi kebutuhan selama dua bulan. Kedua, membangun silo-silo di sentra produksi jagung. Infrastruktur ini dipakai untuk menyimpan jagung kala panen. Stok dikeluarkan saat paceklik. Ketiga, penghiliran. Bentuknya bisa berupa investasi pabrik tepung telur, pembangunan rumah potong ternak plus cold storage penyimpan karkas ayam, serta pengembangan industri olahan pangan berbasis telur dan daging ayam.

Jika semua strategi ini dapat dieksekusi, ada harapan fluktuasi harga telur, daging ayam, dan jagung tak terjadi lagi. Petani-peternak untung, konsumen pun tersenyum.

PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan