Lisensi Langsung dan Royalti Musik
Kontroversi hak cipta lagu muncul karena pencipta lagu tak puas pada pembayaran royaltinya. Apakah lisensi langsung solusinya?
Aris Setiawan
Etnomusikolog di ISI Surakarta
Industri musik Indonesia baru-baru ini gaduh oleh serangkaian kontroversi mengenai hak cipta lagu yang memicu perdebatan panas di kalangan komposer dan pemusik. Salah satu kegaduhan terjadi ketika Ahmad Dhani, pentolan Dewa 19, mengumumkan larangan komersialisasi lagu-lagu grupnya, khususnya untuk dinyanyikan oleh mantan vokalis Dewa, Once Mekel. Dhani menyuarakan ketidakpuasannya terhadap pembayaran royalti lagu dari Once, yang menurut dia tidak pernah dilakukan setiap kali lagu-lagu Dewa 19 dibawakan.
Posan Tobing, mantan drumer Kotak, mengambil langkah serupa dengan melarang Kotak membawakan beberapa lagu ciptaannya. Ari Bias mengklaim tidak mendapat royalti yang adil dari beberapa lagunya yang dipopulerkan oleh Agnez Mo. Yang terbaru, Ndhank Surahman Hartono melarang Andre Taulany dan Stinky menyanyikan lagu ciptaannya, Mungkinkah, tapi belakangan ia mencabut somasinya. Kasus-kasus itu menggambarkan masalah yang sama bahwa para pencipta tidak puas terhadap bayaran royalti yang relatif rendah, yang hanya ratusan ribu rupiah, meskipun lagu-lagu mereka telah menjadi hit dan populer di masyarakat.
Kondisi ini semakin rumit dengan adanya lembaga pemungut royalti, seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), pengelola royalti lagu dan musik di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dipandang tidak transparan dalam pelaporan keuangan royalti yang masuk. Keberadaan lembaga ini di satu sisi seharusnya melindungi hak pencipta lagu, tapi di sisi lain dinilai tidak memberikan keadilan finansial yang memadai.
Hal ini mengisyaratkan perlunya reformasi dalam sistem pembayaran royalti dan pelindungan hak cipta lagu di Indonesia. Dalam menghadapi kompleksitas ini, ekosistem musik Indonesia dihadapkan pada tuntutan untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak dalam industri kreatif.
Sejumlah musikus, seperti Anji, mengusulkan solusi alternatif melalui praktik direct licensing (lisensi langsung). Ini menandakan upaya para pencipta lagu menghindari perantara seperti LMKN dan menghimpun royalti secara langsung. Lisensi langsung dipandang sebagai jawaban atas kendala-kendala yang muncul dari sistem blanket license (pemberian lisensi kepada banyak pihak), yang cenderung tidak memberikan keadilan finansial bagi pencipta lagu. Dalam praktik lisensi langsung, penyanyi membayar royalti secara langsung kepada pencipta lagu sesuai dengan kesepakatan bersama. Proses ini diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar, lebih cepat, dan lebih transparan bagi pencipta lagu. Yang terpenting, model pembayaran langsung ini dianggap lebih "memanusiakan" para kreator, mengingat jumlah royalti yang diterima akan jauh lebih signifikan dibanding sistem blanket license yang biasa diterapkan oleh lembaga pemungut royalti.
Beberapa negara telah lebih dulu mengadopsi model lisensi langsung sebagai langkah inovasi dalam mengatasi ketidakseimbangan royalti. Di Amerika Serikat, praktik itu diterapkan melalui sistem yang dikenal sebagai direct deals antara pencipta lagu dan penyanyi. Pencipta lagu, baik individu maupun perusahaan penerbit musik, dapat menjalin kesepakatan langsung dengan penyanyi atau produser rekaman tanpa melibatkan lembaga pemungut royalti. Dalam kesepakatan ini, pembayaran royalti disepakati dengan persentase tertentu berdasarkan pendapatan yang dihasilkan dari karya tersebut.
Praktik lisensi langsung di Amerika memberikan fleksibilitas kepada para pemangku kepentingan untuk menentukan sendiri tingkat royalti yang adil. Hal ini memungkinkan para pencipta lagu mendapat porsi lebih besar. Proses pembayaran juga menjadi lebih transparan dan efisien karena tidak melibatkan perantara, yang dapat menambah kompleksitas. Selain Amerika, beberapa negara Eropa, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman, telah mengadopsi pendekatan serupa. Di negara-negara itu, para pencipta lagu dan pemusik dapat membuat kesepakatan langsung dengan pihak yang menggunakan karyanya, sehingga mereka punya kendali lebih besar atas hak ciptanya.
Hasil penerapan model lisensi langsung ini dapat terlihat dalam peningkatan pendapatan yang diterima para pencipta lagu. Mereka dapat mengamankan pembayaran royalti dan memiliki kontrol yang lebih besar terhadap penggunaan karya mereka. Seiring dengan perkembangan teknologi, negara-negara ini terus memperbarui dan menyesuaikan model lisensi langsung mereka untuk menjawab dinamika industri musik yang terus berubah. Kesuksesan ini dapat memberikan inspirasi dan bahan pembelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan sistem pembayaran royalti yang lebih efektif dan berkeadilan.
Meskipun model lisensi langsung memberikan sejumlah keuntungan, terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan jika dibanding pemungutan royalti oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah, seperti LMKN di Indonesia. Pertama, ketidakpastian dan kerumitan mekanisme pembayaran. Dalam lisensi langsung, skema pembayaran royalti dapat bervariasi serta disesuaikan dengan kesepakatan antara pencipta lagu dan pihak yang menggunakan karya tersebut. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan kerumitan, terutama jika ada banyak pemegang hak cipta yang harus diperhitungkan. Sementara itu, lembaga pemungut royalti idealnya memiliki peran untuk menyederhanakan proses pembayaran dalam distribusi royalti kepada banyak pencipta lagu.
Kedua, kesulitan dalam pengawasan dan penegakan hak cipta. Dalam model lisensi langsung, sulit untuk mengawasi dan menegakkan hak cipta secara efektif, terutama ketika karya musik digunakan oleh berbagai pihak tanpa izin atau kesepakatan langsung. Dalam konteks inilah, lembaga pemungut royalti punya keunggulan dalam melakukan pengawasan.
Ketiga, ketidaksetaraan dalam negosiasi. Dalam lisensi langsung, kekuatan negosiasi antara pencipta lagu dan pihak yang menggunakan karya bisa tidak seimbang. Pencipta lagu individu mungkin memiliki sedikit daya tawar dalam menentukan besaran royalti, terutama jika berhadapan dengan perusahaan besar atau artis terkenal.
Keempat, kesulitan dalam pengumpulan data dan pelaporan. Pada tingkat individual, para pencipta lagu mungkin kesulitan mengumpulkan data yang akurat mengenai penggunaan karyanya. Sejatinya, lembaga pemungut royalti dapat mengelola dan menyediakan data yang diperlukan untuk memastikan pencipta lagu menerima royalti sesuai dengan penggunaan karyanya.
Kelima, kesulitan dalam penetapan tarif yang adil. Lisensi langsung dapat menghadapi kesulitan dalam penetapan tarif yang adil, terutama karena setiap kesepakatan bisa berbeda-beda.
Hal yang paling penting, keputusan para komposer untuk melarang lagu-lagu mereka dinyanyikan dengan maksud komersial tersebut dapat merugikan bukan hanya para pemusik, tapi juga penikmat musik. Sebab, lagu-lagu yang sudah melekat di hati masyarakat menjadi terbatas dalam penyajian di berbagai platform serta mengurangi keragaman dan kebebasan berekspresi dalam dunia musik.
Ribut-ribut soal royalti ini tidak hanya mencerminkan persoalan finansial, tapi juga menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuatan dalam industri musik. Sejumlah komposer merasa terpinggirkan dan kurang dihargai. Untuk mencapai solusi ideal, perlu ada dialog yang terbuka dan, yang lebih penting lagi, transparansi antara komposer, pemusik, dan lembaga pemungut royalti.
Meski demikian, fenomena ini menjadi momentum untuk merefleksikan kembali sistem pembayaran royalti dan pelindungan hak cipta di Indonesia. Reformasi dalam kebijakan dan regulasi dapat menjadi langkah krusial untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil bagi semua pelaku industri musik. Pemerintah, lembaga terkait, dan tokoh industri musik perlu bekerja sama dalam menemukan solusi untuk memperbaiki ketidakseimbangan tersebut. Pada akhirnya, perubahan positif dalam industri musik Indonesia membutuhkan kerja sama di antara semua pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan kepentingan bersama untuk kelangsungan dan kemajuan industri kreatif Tanah Air.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.