Rendy Pahrun Wadipalapa
Ketika kekuatan politik formal berupa partai-partai berbasis agama melesu, tertinggal celah yang kini diisi oleh kekuatan non-politik baru. Wujudnya adalah organisasi paramiliter berbasis agama dengan militansi yang mengakar. Organisasi serupa telah memicu pergeseran serius dalam politik agama yang melibatkan mobilisasi massa.
Banyak yang menamai kekuatan baru itu “organisasi kemasyarakatan” atau ormas. Penamaan ini agak menyederhanakan persoalan. Sebab, alih-alih bertumbuh dari dan untuk masyarakat, sebagian ormas paramiliter itu juga dibentuk atas inisiatif para elite politik. Terlepas dari atribut kemasyarakatan yang bisa diperdebatkan, studi terbaru membuktikan bagaimana organisasi paramiliter itu telah bertransformasi menjadi pemengaruh kebijakan dan dukungan politik (Facal 2019; Seto 2019).
Menutup mata terhadap kekuatan politik ormas di tengah senjakala parpol agama adalah kesembronoan. Faktanya, pelbagai provokasi berbahaya oleh para juru bicara ormas justru mendatangkan simpati, bukan hanya dari para pendukungnya, tapi juga dari para elite politik. Lantas, dengan suramnya masa depan partai agama, apakah politik agama di masa mendatang akan bergantung pada dinamika yang kini seperti dikontrol oleh ormas paramiliter itu?
Kegagalan dalam menetralkan pengaruh ormas-ormas konservatif antara lain berakar pada penyederhanaan urusan fundamentalisme dan ekstremisme agama. Perdebatan berpusat pada etika berdakwah sebagai problem penafsiran norma beragama. Ramai-ramailah orang menawarkan resep kepada “provokator” agama agar mengubah kekerasan menjadi jalan damai, sembari mengutip aneka kisah teladan di masa lalu. Masalahnya, dengan mengurung persoalan sebatas interpretasi beragama, elemen kekuasaan yang memotori dan mensponsori ormas garis keras menjadi tidak terbaca. Muncullah “gagal paham” mengapa imbauan dan hukuman tak diindahkan, mengapa pula banyak elite bertepuk tangan merespons provokasi yang membelah. Tawaran reinterpretasi agama pun terbukti buntu. Padahal referensi pengalaman politik kita lebih dari cukup untuk merefleksikan dan memetakan kecenderungan politik para ormas.
Peta kecondongan politik ormas itu berguna demi dua tujuan. Pertama, pemetaan itu menyediakan alternatif analisis, bukan hanya atas fenomena radikalisme, tapi juga atas fenomena brokerage role atau peran makelar politik. Aspinall dan Berenschot (2019) menengarai dominasi para pemimpin agama yang mengkapitalisasi posisinya sebagai makelar politik di tingkat lokal. Mereka memanfaatkan mimbar khotbah dan karismanya untuk mengepul suara pemilih, demi mendukung kandidat tertentu, dengan justifikasi ayat kitab suci. Bukti-bukti ini seharusnya mengakhiri keluguan perdebatan sekaligus menjelaskan motivasi politik yang mendasari tindakan para tokoh agama itu.
Kedua, pemetaan politik ormas akan menolong khalayak dalam menilai suatu ormas dan memutuskan keberpihakan mereka. Keberpihakan pada suatu ormas tentu saja bukan sebuah kesalahan. Toh, kebebasan berserikat digaransi konstitusi. Yang lebih penting adalah sejauh mana keberpihakan tersebut didasari pengetahuan yang memadai atas motivasi politik ormas. Hanya dengan pengetahuan seperti itu, hak berserikat akan berharga bagi demokrasi.
Kuatnya tren permakelaran politik belakangan ini juga menandai pincangnya perimbangan antara kerasnya perilaku ormas dan “moderatnya” negara. Pada tahun-tahun pemilu, kita melihat betapa kerasnya dominasi ormas dalam merebut ruang publik. Mereka menyesaki ruang publik dengan debat, provokasi, dan konflik berbalut agama. Sementara itu, negara memperlihatkan kemalasan dalam menangani provokasi ormas itu dengan segera. Pertanyaannya, ketika malas bersikap tegas, seberapa kuat negara mengantisipasi dampak buruk provokasi itu bagi masyarakat?
Demokrasi memang mensyaratkan penghormatan atas kebebasan berpikir, berpendapat, dan berserikat—termasuk bagi kelompok yang berpaham radikal. Namun, ketika kebebasan itu telah dipakai untuk menjegal kehidupan bersama, sikap diam negara justru menjadi anti-demokrasi. Bila dibiarkan merajalela, para broker politik berkedok agama, bersama sekutunya dari elite politik, akan memangsa ruang demokrasi dan mengancam kehidupan bernegara.