JAKARTA – Bosco Duga, 45 tahun, masih ingat ketika papan petunjuk tanah milik keluarganya di Dusun Kali Kao, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua, tak berdiri lagi di tempatnya pada pertengahan Oktober lalu. Ketika itu, ia mendapati papan penanda kepemilikan tanah itu tiba-tiba sudah rusak.
Bosco menduga kuat bahwa papan penanda kepemilikan tanah itu dirusak oleh pihak PT Tunas Sawaerma, anak perusahaan Korindo Group asal Korea Selatan. Tanah milik keluarga Bosco Duda di Dusun Kali Kao, Distrik Jair, itu termasuk area konsesi perusahaan perkebunan sawit tersebut. Kondisi itu membuat keluarga Bosco dan perusahaan terlibat konflik penguasaan tanah.
“Dugaan itu muncul karena perusahaan tengah berkonflik dengan masyarakat Dusun Kali Kao,” kata Bosco, yang dikutip dari Tigor Hutapea, Manajer Advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, beberapa hari lalu.
Kepada Tigor, Bosco Duga mengatakan hutan adat marga suku Mandobo—yang di dalamnya termasuk tanah milik keluarga Bosco—tidak akan pernah diserahkan kepada perusahaan. Mereka bertekad mempertahankan tanah-tanah mereka.
Tigor menjelaskan, bukan hanya keluarga Bosco yang berkonflik dengan PT Tunas Sawaerma, tapi juga sebagian besar suku Mandobo yang berada Distrik Jair. Tanah-tanah mereka tumpang-tindih dengan area konsesi milik perusahaan.
Tapal batas areal konsesi salah satu perusahaan milik Korindo Group yang berada di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Dok Yayasan Pusaka
Sepengetahuan Tigor, Tunas Sawaerma memperoleh izin perkebunan sawit seluas 19.375 hektare di Boven Digoel pada 2014. Izin itu diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebagian dari area konsesi tersebut berada di kawasan hutan. Sesuai dengan catatan Tigor, aktivitas perkebunan sawit Tunas Sawaerma ini telah menyebabkan terjadinya penggundulan hutan seluas 126 hektare di Boven Digoel.
PT Tunas Sawaerma mulai berkebun sawit Papua pada 1998. Sejak saat itu hingga saat ini, Tunas Sawaerma telah memperoleh izin perkebunan sawit seluas 35.930 hektare. Konsesi itu tersebar di beberapa kabupaten di Papua, termasuk di Boven Digoel. Tigor mencatat aktivitas perkebunan sawit Tunas Sawaerma ini telah menyebabkan terjadinya deforestasi terhadap hutan alam Papua seluas 14.633 hektare. Adapun perusahaan Korindo Group berkebun sawit di Papua sejak 1969.
Tigor menjelaskan, ada berbagai bentuk intimidasi yang dialami oleh warga Dusun Kali Kao sejak berkonflik dengan PT Tunas Sawaerma. Selain merusak papan nama penanda kepemilikan tanah, sekelompok orang yang diduga dari pihak perusahaan pernah mendatangi masyarakat dan menebar ancaman. “Mereka melakukan pola-pola tersendiri dalam menebar ancaman dan serangan,” ujar Tigor.
Menurut Tigor, biasanya korporasi mengintimidasi masyarakat adat melalui ancaman kriminalisasi. Bahkan terkadang korporasi menciptakan konflik antar-kelompok marga dengan memicu perebutan hak kompensasi atas pelepasan tanah adat kepada perusahaan. “Karena mereka dijanjikan berbagai fasilitas oleh perusahaan,” kata Tigor.
Ia menambahkan, intimidasi juga datang dari kelompok masyarakat pendukung korporasi. Biasanya kelompok ini akan menebar ancaman dengan cara-cara kekerasan.
Sesuai dengan laporan lembaga Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Korindo Group menguasai konsesi sawit di Papua dan Maluku Utara mencapai 160 ribu hektare. Sekitar 40 persen area konsesi itu telah dibuka dan ditanami sawit.
Pekan lalu, Koalisi Indonesia Memantau, yang berasal dari gabungan sejumlah lembaga pemerhati lingkungan, merilis temuan mereka mengenai kondisi terbaru penggundulan hutan di Papua dan Papua Barat. Mereka mencatat telah terjadi penggundulan hutan alam di Tanah Papua seluas 663.443 hektare atau setara dengan luas Pulau Bali. Angka deforestasi tertinggi terjadi pada 2015 seluas 89 ribu hektare atau lebih luas daripada wilayah teritori Singapura.
Mereka menemukan tren pergeseran pembabatan hutan dari pulau-pulau kaya akan hutan, seperti Kalimantan, Sumatera, Maluku, dan Sulawesi, ke Papua. Kondisi itu dianggap mengkhawatirkan karena saat ini Papua menjadi paru-paru Indonesia.
Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara, Dedy Pratama Sukmara, mengatakan penggundulan hutan terjadi akibat pembukaan tutupan di wilayah hutan alam. Penyumbang deforestasi terbesar merupakan industri ekstraktif yang mendapat izin eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di Papua.
“Kami menemukan sekitar 161 izin korporasi yang menjadi penyumbang terbesar deforestasi di Papua tersebut,” kata Dedy.
Ratusan perusahaan tersebut bergerak di berbagai sektor, seperti perkebunan dan industri sawit, perkebunan kayu, serta pertambangan. Dedy mencatat perusahaan tersebut terdiri atas 42 korporasi penerima hak pengusahaan hutan, 9 korporasi penerima izin hutan tanaman industri, 16 perusahaan penerima izin usaha pertambangan, dan 94 perusahaan yang memperoleh izin perkebunan sawit. Perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh izin sejak 1990-an hingga 2019.
Dedy mengatakan lembaganya menemukan bahwa deforestasi terparah terjadi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu pada periode 2015-2019. Luas deforestasi di Papua pada periode itu mencapai 298.687 hektare. Izin-izin konsesi perusahaan diterbitkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Siti Nurbaya Bakar. Dok Tempo/Fakhri Hermansyah
Lalu pada masa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan periode 2010-2014, luas deforestasi mencapai 196.217 hektare. Selanjutnya, luas deforestasi pada era Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban pada 2005-2009 mencapai 102.416 hektare.
Juru bicara Korindo Group, Yulian Mohammad Riza, menolak tuduhan bahwa perusahaannya disebut melakukan deforestasi di Papua karena PT Tunas Sawaerma maupun anak perusahaan Korindo Group lainnya membuka lahan setelah mendapat izin dari pemerintah. Ia juga menepis tudingan bahwa Korindo Group melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
“Kami mendapatkan izin pemanfaatan lahan dari pemerintah untuk dikelola lahannya seluas izin yang diterima untuk perkebunan,” kata Riza.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nunu Anugrah, juga menepis temuan Koalisi Indonesia Memantau tersebut. “Laporan tersebut menuding bahwa deforestasi tertinggi terjadi pada periode Menteri LHK Siti Nurbaya seluas 298.687 hektare, namun laporan tersebut menutupi fakta mengenai siapa yang memberikan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit sehingga telah terjadi deforestasi pada area seluas itu,” kata Nunu.
Nunu menganggap laporan masyarakat sipil tersebut sangat prematur karena masih menutupi fakta ihwal sebaran area deforestasi selama periode 2015-2019. Ia menegaskan bahwa dalam waktu dekat lembaganya akan menerbitkan laporan sebaran area deforestasi di Papua dan Papua Barat berdasarkan waktu penerbitan izin.
AVIT HIDAYAT