JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bakal merevisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, mengatakan proposal perubahan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 memiliki konsep untuk menjadikan Papua dan masyarakatnya sebagai subyek pembangunan.
Dia menuturkan pembahasan revisi undang-undang tersebut akan menyesuaikan kearifan lokal serta alokasi anggaran yang tepat. "Pendekatan local wisdom dan alokasi anggaran yang akurat jadi pokok bahasan utama," kata Mardani kepada Tempo, kemarin.
Otonomi Papua berakhir pada tahun ini dan bakal berlanjut ke tahap kedua. Untuk mewujudkan hal itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua bakal direvisi. Rencana perubahan atas Undang-Undang Otonomi Khusus Papua bergulir menjelang akhir dana otonomi khusus dari pemerintah pusat kepada Papua pada tahun ini. Pemerintah berencana memperpanjang dana otonomi khusus untuk Papua.
Ihwal pemberian dana otonomi khusus di Papua dalam 20 tahun terakhir, Mardani mengatakan, pemerintah perlu mengevaluasi manfaat dana tersebut. Sebab, uang yang diberikan kepada rakyat Papua selama hampir dua dekade ini belum mampu mengangkat masyarakat Papua dari kemiskinan.
Mardani Ali Sera di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, 2018. Dok Tempo/Ilham Fikri
Menurut dia, evaluasi aturan otonomi khusus Papua selanjutnya perlu berkolaborasi secara langsung dengan tokoh-tokoh dan masyarakat Papua. Pemerintah perlu mengkaji, berdialog, meneliti berbagai lapisan masyarakat, serta mendengar masukan para pakar. Harapannya, kata dia, tingkat kepuasan masyarakat tentang pelaksanaan otonomi khusus selama ini bisa diketahui.
"Jadikan masyarakat Papua sebagai subyek, pendekatan damai, dan mengalah untuk sebuah kemenangan hidup bersama kedamaian. Jangan menggunakan paradigma helicopter view, melainkan bottom up approach, melihat apa yang betul-betul dibutuhkan masyarakat Papua," kata Mardani.
Selama evaluasi berlangsung, Mardani melanjutkan, aparat pemerintah daerah juga perlu diberdayakan dan meningkatkan penegakan hukum. Pemerintah, kata dia, harus membuat sistem pemantauan anggaran yang transparan serta ketat agar pengawasan alokasi anggaran dapat berjalan sekaligus mencegah praktik penyelewengan. "Semangat yang dibangun dari revisi UU Otsus Papua ini untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua. Tanggung jawab kita semua untuk memastikan warga Papua bahagia dan sejahtera," ujar Mardani.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan adanya penambahan anggaran otonomi khusus Papua dari sebelumnya 2 persen menjadi 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU). Menurut Sri Mulyani, jika kenaikan anggaran ini disetujui, total dana yang perlu disalurkan pemerintah kepada Papua dan Papua Barat melalui DAU menjadi Rp 234,6 triliun selama 20 tahun mendatang.
Berdasarkan draf RUU Otonomi Khusus Papua yang diterima Tempo, ada tiga pasal yang akan berubah, yakni Pasal 1 mengenai pengertian dan definisi; Pasal 34 mengenai sumber penerimaan dan sumber pendapatan provinsi dan kabupaten/kota, dana perimbangan, jangka waktu pemberlakuan, peraturan daerah khusus, pengawasan, pembinaan, dan pengelolaan penerimaan; serta Pasal 76 tentang pemekaran Provinsi Papua.
Warga Papua Nugini di batas negara Papua Nugini-Indonesia di Papua Nugini, 2017. TEMPO/Nita Dian
Ketua Komite I DPD Fachrul Razi mengatakan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dilakukan sebagai upaya pemerintah menyediakan payung hukum dan jaminan keberlanjutan percepatan pembangunan di Papua. Dia sepakat perubahan undang-undang saat ini berfokus pada tiga pasal sesuai dengan draf. "Revisi tidak hanya sebatas memperpanjang pemberlakuan dana otonomi khusus, tapi juga momentum menyelesaikan berbagai persoalan di Papua melalui kebijakan yang tepat," kata Fachrul.
Menurut dia, Komite I akan terus mendalami revisi tersebut dalam pembahasan pandangan terhadap RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tersebut untuk dapat diselesaikan pada masa sidang DPD RI mendatang. Pada masa sidang III, Komite I DPD RI telah melakukan berbagai kegiatan, di antaranya rapat dengar pendapat umum bersama narasumber dari pemerintah maupun akademikus.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, mengatakan pembahasan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua harusnya tak hanya bicara soal desentralisasi fiskal. Menurut dia, undang-undang itu juga harus bisa menjamin bahwa dana otonomi khusus bisa dikelola secara akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan. "Itu harus selesai di undang-undang. Sebab, selama ini, itu tidak diatur," kata Robert.
Untuk mengawal efektivitas penggunaan dana otonomi khusus periode selanjutnya, Robert mengusulkan agar penyaluran dana dilakukan secara bertahap sesuai dengan performa. Misalnya, pada semester kedua, besaran dana yang diserahkan bergantung pada prestasi pada semester pertama. Namun, untuk menetapkan aturan itu, pemerintah perlu melakukan konsesi dengan para elite Papua. "Harus ada target yang diberikan, misalnya di sisi pendidikan, kesehatan, ekonomi, bahkan target memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dari BPK, misalnya," ucap dia.
MAYA AYU PUSPITASARI