JAKARTA - Panglima Kodam XVII Cenderawasih, Mayor Jenderal Tentara Nasional Indonesia Herman Asaribab, mengatakan akan segera membentuk tim investigasi penembakan dua mahasiswa Papua, yang terjadi di Mile 34, kawasan PT Freeport Indonesia, pada Senin lalu. Penyelidikan akan dilakukan setelah aparat TNI Satgas YR 712 dan YR 900 diduga menembak Eden Armando Debari, 20 tahun, dan Ronny Wandik, 23 tahun, yang sedang mencari ikan di sungai, Mimika, Papua.
Herman menyatakan telah menyiapkan tim investigasi yang akan segera turun dalam waktu dekat. "Untuk menyatakan apakah perbuatan anggota kami benar atau salah, nanti kami lihat hasil investigasi seperti apa. Akan ada penyelidikan lebih lanjut sampai dengan pemeriksaan secara hukum untuk memastikan benar atau salahnya anggota kami, maka proses hukum yang akan menyatakannya," kata dia di Mimika, kemarin.
Menurut dia, pengusutan kasus ini penting dilakukan untuk merunut apakah anggotanya benar atau salah. Ia menyatakan kasus penembakan ini bakal diselidiki secara tuntas oleh tim investigasi. Namun Herman tak menjelaskan secara rinci unsur tim investigasi yang ia maksudkan. Herman sempat menjenguk jenazah Eden dan Ronny ketika tiba di Rumah Sakit Umum Daerah Mimika dan menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban.
Eden dan Ronny tewas ditembak oleh sejumlah anggota TNI yang sedang berpatroli di kawasan PT Freeport Indonesia. Dari video yang beredar di media sosial, sejumlah anggota TNI Angkatan Darat beberapa kali menembakkan senjata api ke tempat kejauhan, yang diduga mengincar Eden dan Ronny. Dari percakapan aparat itu, tembakan mengenai kedua korban seraya seseorang dalam video itu mengatakan, "Mati, nih." Anggota TNI juga sempat memantau dengan teropong dan memberondongkan tembakan beberapa kali. "Dia masih lari, masuk dalam hutan. Ambil, ambil," ujar seorang lainnya.
Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw, menyatakan selama ini aparat kesulitan membedakan masyarakat sipil dengan kelompok bersenjata. Terlebih, kata dia, saat ini kondisi Mimika kurang kondusif akibat serangan sekelompok orang bersenjata TNI dan terhadap kepolisian. "Karena situasinya begitu terbuka, terkadang kami sulit membedakan mana kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kita, mana masyarakat biasa," ucapnya.
Ayah Eden, Demi Debari, menyatakan anaknya adalah mahasiswa semester tiga di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Dia menepis tuduhan bahwa anaknya anggota kelompok bersenjata. "Di situ dijelaskan ada barang bukti rokok, amunisi, gelang KKB, senapan molo, dan senjata laras panjang. Itu semua tidak benar sama sekali. Karena anak ini baru umur 19 tahun. Anak ini sedang kuliah. Dia tidak mengerti dengan hal-hal macam begini," tuturnya.
Dia meminta aparat TNI bertanggung jawab atas kematian anaknya. Ia juga meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia turun tangan menyelidiki kasus ini. Selain itu, Demi meminta aparat menangkap pelaku penembakan terhadap anak tunggalnya itu.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan kasus ini termasuk kejahatan hak asasi manusia, terlebih Papua bukan wilayah perang. "Kok, bisa tentara di wilayah non-perang sekonyong-konyong menembaki orang tanpa peringatan? Apalagi itu tembakan mematikan," ucapnya, kemarin.
Ia mengatakan anggota TNI diduga kuat melanggar prosedur dengan menembak korban tanpa peringatan. Ia juga menganggap hal ini tak terlepas dari stigmatisasi rasialisme yang diterapkan TNI, seolah-olah semua warga Papua adalah separatis. Jadi, kata dia, tak mengherankan aparat mengaku bingung membedakan antara warga sipil dan kelompok bersenjata.
YLBHI meminta kasus ini diselidiki oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, kata dia, parlemen harus mengevaluasi keberadaan pasukan militer di Papua. Sebab, ia melanjutkan, kasus penembakan semacam ini telah sering terjadi dan mengorbankan warga sipil. "Komandan militer yang memerintahkan penembakan harus ditangkap," kata dia. ANT | JUBI | AVIT HIDAYAT