JAKARTA - Sejumlah tokoh dan akademikus mengkritik telegram Kepala Kepolisian RI Idham Azis yang berisi instruksi agar jajarannya melaksanakan patroli cyber. Mereka menilai langkah ini mengancam kebebasan berekspresi dan beraspirasi masyarakat.
Cendekiawan muslim, Azyumardi Azra, mengatakan isi telegram itu hanya menambah impitan psikososial masyarakat yang tidak puas dan kritis terhadap kinerja Presiden Joko Widodo beserta jajarannya dalam penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Ia menambahkan, telegram itu jelas mengancam kebebasan beraspirasi dan berekspresi masyarakat. "Telegram itu membuat demokrasi Indonesia semakin cacat," kata dia saat dihubungi, kemarin.
Menurut Azyumardi, pasal penghinaan terhadap presiden tidak tepat digunakan dan hanya membuat kualitas demokrasi Indonesia kian merosot. Ia menilai telegram itu akan menambah ketat pengawasan terhadap aktivitas publik.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini memandang, tanpa adanya telegram itu, aktivitas publik sudah diawasi dengan ketat oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri. Apalagi, kata dia, ada di antara pendukung Jokowi di dunia maya yang selalu siap melaporkan pihak yang dianggap menghina Presiden.
Kepala Polri Idham Azis menerbitkan telegram bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 pada 4 April lalu. Telegram itu berisi instruksi agar jajarannya melaksanakan patroli cyber untuk memantau hoaks mengenai Covid-19 dan kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah. Telegram itu juga menginstruksikan jajaran kepolisian untuk memantau penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah.
Juru bicara Markas Besar Polri, Raden Prabowo Argo Yuwono, mengatakan telegram tersebut diterbitkan supaya masyarakat tidak terpengaruh oleh berita tidak benar pada masa wabah ini. Ihwal isi telegram yang memerintahkan polisi melakukan patroli cyber untuk memantau penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah di masa wabah ini, menurut Argo, hal itu disebabkan masuknya laporan perihal unggahan di media sosial yang melanggar undang-undang. "Apakah akan dibiarkan?" ujarnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pada era demokrasi, pasal-pasal kolonial seperti pasal penghinaan terhadap presiden sudah tidak relevan. Ia menjelaskan, Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghinaan terhadap pejabat publik berpotensi mengkriminalkan orang lantaran pendekatannya bernuansa politis.
Fickar menuturkan, telegram seperti ini berlebihan dan tidak masuk akal di tengah masa penanganan wabah Covid-19. Ia mengimbuhkan, langkah ini juga berbahaya lantaran bisa saja orang yang berpendapat ihwal penanganan Covid-19 dikriminalkan. "Pasal 207 KUHP sudah diturunkan statusnya dari delik biasa menjadi delik aduan. Konsekuensinya, pejabat publik yang merasa dihina harus melaporkan sendiri perkaranya," ucapnya, kemarin.
Pakar hukum dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mengatakan instruksi mengawasi penghinaan presiden itu tidak perlu ada. Ia sepakat dengan niat Polri mengatasi penyebaran hoaks berkenaan dengan Covid-19. Namun ia meminta hal itu tidak dialihkan ke hal-hal lain, seperti terhadap penghinaan presiden. "Konsentrasi saja ke urusan hoaks. Jangan alihkan ke soal-soal lain," tuturnya, kemarin.
Kendati demikian, Agustinus meminta instruksi itu harus diaplikasikan sebagai langkah antisipatif mencegah efek buruk hoaks. Jadi, kata dia, sejumlah langkah dalam melawan hoaks tentang Covid-19 di media sosial harus dipikirkan. "Sekarang itu segala upaya memperkeruh suasana harus bisa dicegah. Soal tindakan hukumnya, betul-betul langkah yang paling akhir," kata dia.DIKO OKTARA
Tokoh dan Akademikus Soroti Telegram Kapolri