Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski di beberapa tempat perhutanan sosial terbukti menjadi solusi konflik lahan di kawasan hutan dan menurunkan angka kemiskinan, realisasinya tersendat. Dari 12,7 juta hektare yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019, per 23 Juni lalu realisasinya baru 3,1 juta hektare di 5.691 lokasi. "Tapi pencadangannya melalui Peta Indikatif Perhutanan Sosial sudah mencapai 13,8 juta hektare," kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peta indikatif itu serupa pencadangan. Artinya, pemerintah telah menyediakan luas lahan untuk dijadikan perhutanan sosial melalui lima skema: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan. Untuk mendapatkan surat keputusan perhutanan sosial, masyarakat diminta mengusulkan melalui kelompok tani lahan hutan negara yang mereka garap untuk mendapatkan pengakuan perhutanan sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Bambang, perhutanan sosial adalah akses yang diberikan pemerintah kepada masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan untuk mengelola lahan mereka maksimal 2 hektare per kepala keluarga selama 35 tahun. Izin tersebut tak boleh diwariskan dan dilarang menanam sawit karena tujuan akhir perhutanan sosial adalah menjaga ekologi kawasan hutan setelah tercapai tujuan ekonomi dan sebagai resolusi konflik tenurial.
Dengan tujuan itu, sengketa lahan di dalam kawasan hutan akibat perambahan menjadi solusi yang saling menguntungkan. Negara tetap memiliki aset kawasan hutan, masyarakat diizinkan mengelolanya untuk meningkatkan penghidupan, dan meredam konflik sosial. Seperti di Desa Lubuk Seberuk di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Konflik antar-masyarakat, masyarakat dengan pemilik konsesi hutan produksi Register 10, dan masyarakat dengan negara mereda setelah mereka mendapatkan pengakuan hutan tanaman rakyat sejak 2009. Ada 24 kelompok tani tempat berhimpun 1.200 keluarga yang membudidayakan karet dan kayu gaharu dengan penghasilan Rp 3,2 juta per keluarga per bulan. "Jika memakai standar Badan Pusat Statistik, mereka sudah bebas dari garis kemiskinan," kata Bambang.
Masyarakat Desa Lubuk Siberuk mendapat pendampingan dari Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) V Lempuing-Mesuji dan World Resources Institute Indonesia untuk menyiapkan syarat-syarat mendapatkan pengakuan hutan sosial. Menurut Bambang, dari target anggaran realisasi 4 juta hektare selama 2015-2019, verifikasi dan pendampingan lumayan pelik untuk mencapai target itu.
Dalam diskusi Strategi Implementasi Pasca-Izin Perhutanan Sosial di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di Palembang, 28 Juni lalu, Bambang meminta KPH yang berada di bawah provinsi dan kelompok kerja lebih aktif mendampingi kelompok tani sekitar hutan mengajukan izin perhutanan sosial. "Saya sudah menjalin kerja sama dengan 28 gubernur untuk membentuk kelompok kerja," ujar Bambang.
Di Palembang, Bambang mengulang permintaannya kepada Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mawardi Yahya saat bertemu di kantornya. Bambang meminta KPH dan kelompok kerja perhutanan sosial lebih aktif menjadi verifikator dan pendamping masyarakat. "Saya berharap KPH menjadi desainer pendampingan sampai membantu petani menemukan pasar produk mereka," ucapnya.
Realisasi perhutanan sosial di Sumatera Selatan baru 105.367 hektare lewat 146 surat keputusan untuk 22.651 kepala keluarga dari alokasi total 361.897 hektare. Menurut Bambang, lima balai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di lima lokasi tak cukup personel untuk memverifikasi banyaknya izin perhutanan sosial yang masuk ke KLHK. Pendamping saat ini berjumlah 1.215, dan hanya seperlima izin yang sudah terbit. Bambang meminta 309 unit KPH di 28 provinsi menjadi tulang punggung pendamping masyarakat.
Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Rinekso Soekmadi, pembicara dalam diskusi itu, punya saran lain yang lebih jitu: memberdayakan mahasiswa fakultas kehutanan. Menurut dia, kini ada 68 perguruan tinggi yang memiliki jurusan kehutanan yang berpotensi menjadi pendamping dalam program ini. "Apalagi kami sedang memperbarui kurikulum pengajaran agar sesuai dengan perkembangan zaman," tuturnya.
Generasi milenial, kata Rinekso, tak lagi cocok dengan gaya kurikulum pedagogik berupa pengajaran di kelas. IPB, kata dia, sedang merancang kurikulum yang akan memperbanyak jumlah waktu praktik di lapangan. Mereka bisa diberdayakan menjadi pendamping perhutanan sosial. "Kami bisa mengisikan 1-2 SKS (satuan kredit semester) tentang khusus materi perhutanan sosial," kata dia.
BAGJA HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo