JAKARTA - Supiyah masygul begitu keluar dari warung soto ayam di lapangan IRTI Monumen Nasional, Jakarta Pusat, kemarin. Berkali-kali dia menggerutu. Musababnya, ia harus membayar makan siangnya Rp 40 ribu.
Harga itu dinilai Supiyah terlalu mahal. Semangkuk soto yang baru dimakannya dihargai Rp 30 ribu, sementara segelas teh manis Rp 10 ribu. "Harganya mahal, tapi makanannya tidak enak," kata perempuan 55 tahun asal Mojokerto, Jawa Timur, ini.
Supiyah bertandang ke Monas karena sedang menyambangi kerabatnya yang tinggal di Depok. Mumpung dekat dengan Ibu Kota, dia menyempatkan diri berkunjung ke Monumen Nasional. Karena tidak membawa bekal, perempuan itu kemudian jajan di warung kaki lima yang meruyak di sekitar Monumen. Makan siangnya berakhir dengan kedongkolan.
Untuk memastikan cerita Supiyah, Tempo mendatangi lapangan IRTI dan memesan satu porsi pecel lele dari seorang pedagang. Selesai makan, pedagang meminta bayaran Rp 35 ribu. Padahal, di Lenggang Jakarta-lokasinya juga berada di lapangan IRTI-harga pecel serupa Rp 25 ribu. "Bahan bakunya serba mahal," kata pedagang pecel itu.
Seorang pengelola Lenggang Jakarta yang tidak bersedia disebut namanya itu mengatakan, pedagang di luar Lenggang Jakarta bisa disebut sebagai pedagang liar. Dia bisa memaklumi jika pedagang-pedagang itu mematok harga seenaknya. "Mereka harus membayar pungutan kepada sejumlah pihak," katanya. Salah satunya kepada anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang bertugas di lapangan Monas.
Menurut pengelola itu, setiap hari pedagang liar harus membayar Rp 20 ribu jika ingin berjualan di lapangan Monas. Sedangkan untuk menyimpan gerobak, mereka dikenakan pungutan Rp 300 ribu per pekan. "Karena itu, mereka tidak ditertibkan, padahal itu tempat terlarang untuk berdagang," katanya.
Bagi Sri Hartuti, pedagang di Lenggang Jakarta, keberadaan pedagang liar di parkiran IRTI Monas telah mengurangi pendapatan pedagang resmi. "Pembeli tidak sampai ke sini karena sudah berhenti di tempat mangkal pedagang liar," katanya.
Diki Pracoyo, Manajer Komunitas Lenggang Jakarta, mengatakan ada sejumlah pedagang liar yang sebenarnya terdaftar dan memiliki lapak di Lenggang Jakarta. Mereka bergeser dari area Lenggang Jakarta kalau sudah malam agar bisa lebih mendekati pembeli. "Saya tidak bisa melarang," katanya. "Itu wewenang Satpol PP."
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, Kukuh Hadi Santoso, membantah anggapan bahwa ada anggotanya yang membekingi pedagang liar di Monas. Namun, jika ada anggotanya yang diam-diam mengambil pungutan, Hadi mengaku tidak mengetahuinya. "Kalau memang benar dan terbukti, akan kami hukum sesuai pelanggarannya," ucap dia.
Adapun Kepala Unit Pelaksana Teknis Monas, Rini Haryani, mengatakan sudah berupaya menertibkan pedagang-pedagang liar tersebut. Namun sejauh ini tetap saja ada pedagang yang bandel. "Mereka menyusup dan pura-pura menjadi pengunjung," katanya.ERWAN HERMAWAN
Berharap Lengang Jakarta
Salah satu upaya pemerintah Jakarta menertibkan pedagang di sekitar Monas adalah membuat Lenggang Jakarta, kawasan berjualan di kawasan tugu ini. Dibangun melalui dana tanggung jawab sosial Grup Reksi, Lenggang Jakarta bisa menjadi tujuan kuliner baru di Ibu Kota.
Ada 339 pedagang eks-IRTI yang kini berjualan di pusat kuliner yang diresmikan pada Mei lalu itu. Transaksi penjualan tak memakai uang kas. Pembayaran harus menggunakan e-money. Menurut Manajer Komunitas Lenggang Jakarta, Diki Pracoyo, harga makanan di Lenggang pun relatif murah. Makanan paling mahal hanya Rp 37 ribu. "Semuanya terjangkau," ucapnya.
Kondisi tempat makan tak perlu diragukan lagi. "Semuanya bersih," katanya. Begitu juga dengan makanannya yang dijamin aman, tak memakai bahan pengawet. Cara penyajian makanan dan rasanya juga tak kalah enak. Sebab, pedagang dibekali oleh chef yang teruji kualitasnya, seperti chef Ragil.
Sri Hartuti mengakui betah berjualan di Lenggang. Selain semuanya difasilitasi, ia tak perlu bayar mahal lagi biaya listrik. "Dulu saya bayar listrik bisa sampai Rp 60 juta per bulan," ucap pedagang yang sudah berjualan di Monas selama 20 tahun ini.
Tak semua pedagang seperti Sri. Pedagang yang tak lolos seleksi Lenggang Jakarta tetap berdagang di luar Monas dan kerap kucing-kucingan dengan polisi. Jumlah mereka pun lebih banyak daripada pedagang di Lenggang Jakarta. ERWAN HERMAWAN