Andi Fadlan Irwan
Dokter Umum di Puskesmas Angeraja, Enrekang
Suatu waktu, saya tengah mendapat giliran tugas jaga di kamar bersalin, ketika seorang perempuan dibawa masuk ke kamar bersalin di sebuah rumah sakit. Pasien ini hamil aterm atau kehamilan yang sudah cukup bulan. Ia masuk kamar bersalin sambil berteriak-teriak menahan sakit.
Saya mendekati pasien ini untuk memulai anamnesis. Tapi, dia menyergap saya dengan sebuah permintaan, "Dok, saya sudah tidak tahan lagi, rasanya sakit sekali. Saya mau dioperasi sesar sekarang!"
Saya sangat terkejut. Saya sering menghadapi pasien yang "rewel". Tapi disergap dengan permintaan seperti itu benar-benar mengejutkan.
Nyeri saat melahirkan memang luar biasa sakitnya, mungkin ini jenis nyeri alamiah yang paling hebat yang pernah diberikan Tuhan kepada manusia. Tak dapat dimungkiri, nyeri melahirkan adalah nyeri yang luar biasa. Rasa nyeri itu adalah jenis rasa nyeri yang tidak sensitif atau mempan terhadap obat-obatan analgetik (pereda nyeri). Dan, sialnya bagi perempuan, sampai saat ini rasa sakit bukanlah indikasi medis untuk bisa melakukan operasi caesar. Operasi caesar-operasi untuk mengeluarkan bayi lewat dinding perut yang dibedah-semestinya dilakukan pada situasi-situasi tertentu. Situasi yang mengancam nyawa ibu dan anak maupun dikhawatirkan menimbulkan cacat pada ibu ataupun anak.
Berbeda dengan jenis nyeri yang lain, nyeri saat persalinan merupakan sesuatu yang fisiologis. Nyeri akibat penyakit atau trauma adalah alarm bagi tubuh bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan tubuh kita. Sedangkan nyeri saat melahirkan justru menunjukkan bahwa persalinan berlangsung normal.
Beberapa orang akan bertanya, apa gunanya rasa sakit ini saat persalinan? Apa gunanya, hingga kini tak ada jawaban pasti, saya juga tak pernah membaca literatur bahwa ada jawaban "resmi" dari pertanyaan ini, tapi bagi kita yang percaya pada Tuhan, kita seharusnya juga percaya bahwa segala hal yang "terberikan" oleh Tuhan tak ada yang tuna-fungsi.
Saat seseorang mengeluhkan rasa sakit, itu juga hal normal bagi manusia. Bahkan Tuhan pun mengerti bahwa kita adalah makhluk paling suka mengeluh, maka Ia meminta kita berdoa setiap hari. Namun saat seorang wanita hamil datang, lalu menodong dengan permintaan ingin segera dioperasi, ini menunjukkan bahwa beberapa hal-hal "kodrati", yang dulu kita anggap hal yang "terberi" bagi kita sebagai manusia, mulai digugat.
Kita sering kali berpikir, jika memang ada cara yang lebih mudah untuk melahirkan, mengapa harus menjalani persalinan normal yang menyakitkan? Bukankah teknologi kedokteran telah menyediakan jalan yang jauh lebih nyaman? Dalam beberapa hal, itu memang pertanyaan yang logis.
Saat kita hidup dalam dunia yang dimanjakan oleh teknologi, kita semakin sering untuk "cari gampang". Apa yang tak bisa dipenuhi oleh teknologi hari ini? Demi kenyamanan, jarak dan ruang kita persingkat, segala jenis hiburan kita ciptakan, segala jenis obat kita temukan.
Sepertinya tak ada yang salah dengan itu, tapi menggunakan teknologi berlebihan bahkan untuk hal-hal yang "normal" dan "fisiologis" itu tak selalu baik. Bukankah rasa sakit pada dasarnya adalah bagian inheren dari hidup kita sebagai manusia?
Hidup manusia itu sendiri pada dasarnya adalah penderitaan, seperti dikatakan Soren Kierkegaard, filsuf dan ahli teologi asal Denmark. Ketika Tuhan menciptakan kita dengan kehendak bebas dan kemerdekaan berpikir di satu sisi namun dengan kemampuan manusia kita yang terbatas di sisi lain, saat itulah tercipta kesenjangan antara keinginan kita dengan kenyataan kehidupan kita. Maka di saat itu pulalah kita merasakan penderitaan.
Kelahiran kita adalah awal dari segala penderitaan, kata Jean Paul Sartre, filsuf dan penulis asal Prancis. Berupaya melepaskan penderitaan dengan cara-cara yang berlebihan merupakan upaya menarik kehidupan kita dari "nature"-nya. Itu perbuatan yang sia-sia, kata Sartre.
Betapa banyak orang yang berupaya melepaskan diri dan menghindar dari penderitaan, namun akhirnya justru merusak dirinya sendiri. Demi melepaskan diri dari penderitaan, orang-orang membangun tempat-tempat hiburan, menggelar pesta, menciptakan hiburan-hiburan mahal. Namun apakah itu semua berhasil mengobati penderitaan kita? Buktinya tidak. Satu-satunya cara melepaskan diri dari rasa sakit adalah justru dengan menerima rasa sakit itu sendiri.
Jalan maƮtri dalam ajaran Buddha mengajarkan bahwa menerima diri kita dengan segala kesakitan yang melekat padanya adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Meditasi, sebuah jalan penyembuhan yang sering kita dengar, pada dasarnya adalah sebuah upaya berkompromi dengan diri sendiri, dengan segala kesedihan, kemarahan, dan juga kesakitan yang kita rasakan.
Kemauan berkompromi dengan rasa sakit, hingga rasa sakit itu sendiri bukan lagi hal yang menakutkan. Rabiah Al-Adawiyah, seorang mistikus muslim, berkata, bertemu dengan Tuhan mensyaratkan penerimaan kita akan penderitaan. Dalam Al-Quran pun telah disebutkan, "apakah manusia itu mengira mereka akan dibiarkan mengatakan bahwa kami telah beriman, sedangkan mereka tidak diuji?"
Penderitaan adalah bagian inheren dari kehidupan kita, dan hanya orang-orang yang mampu menerima penderitaan itu sebagai "nature" kemanusiaannyalah yang mampu menjalani hidup dengan penuh kesyukuran. Ibrahim menerima keputusan untuk menyembelih putranya, Ayub menerima penyakit dan kebangkrutannya, Yakub menerima kehilangannya atas putranya.
Namun, di tengah-tengah modernitas yang semakin mendangkalkan pikiran, memalsukan tubuh, dan mengasingkan jiwa kita, melarikan diri dari rasa sakit mungkin pilihan yang paling mudah. Saya membayangkan suatu saat di masa depan, seorang wanita tak perlu hamil untuk memiliki anak, kita cukup memesan anak di perusahaan bayi tabung, dan para ibu tak perlu lagi merasakan nyerinya kontraksi rahim, dan para dokter tak perlu lagi waswas untuk suatu saat tiba-tiba ditodong dengan permintaan operasi. Dengan itu, hidup kita mungkin menjadi jauh lebih nyaman.
Tapi apakah teknologi bisa menemukan pereda nyeri bagi rasa sakit hati, rasa cemburu, bagi keterasingan, juga kesepian manusia? Bukankah kita masih membutuhkan rasa sakit, agar kita tetap menjadi manusia yang "merasa", suatu hal yang membedakan kita dengan robot? Ah, manusia macam apa yang kita harapkan dari manusia yang tak merasakan sakit?
Operasi sesar adalah operasi untuk mengeluarkan bayi lewat dinding perut yang di bedah.