maaf email atau password anda salah


Pertalian Ponsel Anda dan Serangan Buaya

Telepon pintar Anda, yang membutuhkan timah, mungkin ikut andil dalam lonjakan serangan buaya di Indonesia. Bagaimana bisa?

arsip tempo : 172750233924.

Ilustrasi warga memotret buaya liar. ANTARA/Mohamad Hamzah. tempo : 172750233924.

Apa hubungan antara telepon seluler cerdas Anda dan serangan buaya? Cukup mudah.

Ponsel pintar membutuhkan timah, yang sering kali ditambang secara ilegal di Indonesia. Ketika ditinggalkan, tambang timah ilegal akan terisi air. Buaya masuk dari saluran air terdekat dan mencari makanan karena penangkapan ikan dan tekanan manusia lainnya membuat mangsa berkurang. Serangan buaya pun meningkat.

Itu adalah versi singkatnya. Penjelasan berikut ini lebih panjang.

Setelah pemusnahan besar-besaran di Indonesia pada abad ke-20, buaya air asin atau Crocodylus porosus kini kembali ke pulau-pulau seperti Bali dan Jawa. Serangan buaya telah menjadi masalah serius. Lebih dari 1.000 serangan terjadi dalam sepuluh tahun terakhir hingga 2023, yang menyebabkan 486 orang meninggal.

Namun serangan ini tidak terdistribusi secara merata. Titik-titik serangan buaya, termasuk di Kepulauan Bangka Belitung, terdapat di lepas pantai tenggara Sumatera. Pulau-pulau ini memiliki kandungan timah yang sangat besar.

Tambang timah ilegal di Bangka Belitung. Dok. TEMPO/ Hendra Suhara

Pulau-pulau Timah

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri atas dua pulau besar serta ratusan pulau kecil. Sekitar 1,5 juta orang tinggal di sana. Timah menjadi andalan perekonomian.

Timah sangat penting untuk produksi ponsel pintar karena digunakan untuk menyolder berbagai komponen menjadi satu. Indonesia adalah produsen timah nomor dua setelah Cina, dengan produksi sekitar sepertiga dari pasokan dunia. Di Indonesia, hampir semua timah—90 persen—berasal dari Kepulauan Bangka Belitung.

Selama pemerintahan otoriter Soeharto, penambangan timah di daerah tersebut dikendalikan oleh pemerintah pusat. Setelah Indonesia mengalami demokratisasi pada 1998, pemerintah daerah Bangka Belitung mendapatkan kendali atas timah. Pada 2001, pemerintah mengizinkan warganya menambang timah. Akibatnya, jumlah tambang timah ilegal membengkak dan meningkat empat kali lipat hanya dalam waktu tiga tahun setelah kebijakan tersebut berlaku.

Dua dekade kemudian, penambangan timah ilegal menghancurkan sebagian besar keanekaragaman hayati di provinsi ini, terutama populasi ikan. Penambangan merupakan pekerjaan yang berbahaya bagi manusia—sekitar 150 penambang meninggal setiap tahun karena kecelakaan, termasuk akibat serangan buaya. Para penambang juga merambah habitat buaya seperti mangrove.

Penambangan timah membuat lanskap terlihat seperti bulan. Hewan-hewan asli melarikan diri atau mati. Lumpur mencemari saluran air. Jumlah ikan berkurang dan buaya makin lapar. Mereka mulai mencari mangsa yang berbeda: anjing, sapi, manusia.

Ilustrasi buaya. Dok.TEMPO/Aris Andrianto

Manusia dan Buaya Sama-sama Putus Asa

Penambangan timah ilegal mendekatkan buaya dengan manusia dengan menciptakan habitat baru, meskipun dengan kualitas yang buruk. Setelah para penambang menggali bijih timah dengan tangan, kawah-kawah yang ditinggalkan terisi air, menciptakan kolam yang dikenal sebagai “kulong”.

Kulong-kulong ini sering kali ditemukan cukup dekat dengan saluran air sehingga ikan dan hewan-hewan mangsa lainnya dapat hidup di dalamnya setelah banjir. Kolam-kolam tambang ini lebih jauh ke pedalaman daripada saluran air alami di pulau-pulau tersebut, sehingga memungkinkan ikan asin menjangkau lebih jauh ke pedalaman. Buaya yang lapar akan mencari ikan, tapi mungkin akan mengincar anjing atau manusia.

Tidak hanya pertambangan, penebangan hutan dan penanaman kelapa sawit juga sering kali disertai pembuatan kanal-kanal drainase. Kanal-kanal ini memudahkan buaya mendekati area tempat para pekerja mungkin berenang atau memancing.

Semua ini berarti peningkatan tajam angka serangan buaya hampir tidak dapat dihindari. Merusak habitat saat menambang di dalam atau di dekat saluran air berarti buaya makin mudah berada di dekat manusia.

Selama 10 tahun hingga 2023, hampir 100 serangan buaya dilaporkan terjadi di pulau-pulau ini dan mengakibatkan 41 orang meninggal. Dari serangan-serangan tersebut, hampir sepertiganya, yakni 32 persen, terjadi di tambang timah yang masih aktif atau yang sudah tidak aktif. Lalu seperenamnya atau 16,5 persen terjadi di tambang yang sedang ditambang.

Sebaliknya, pada dekade yang sama di Queensland, Australia, hanya terjadi lima serangan fatal dan 14 serangan tidak fatal.

Seperti yang dikatakan oleh Langka Sani, pendiri kelompok konservasi satwa liar setempat, Alobi Foundation: Di masa lalu, kita mungkin tidak pernah mendengar tentang serangan buaya dalam satu tahun. Sedangkan sekarang, dalam dua minggu terakhir, ada lusinan laporan tentang kasus serangan buaya.

Organisasinya telah menampung puluhan buaya yang diserang oleh manusia sebagai pembalasan atas serangan buaya. Beberapa di antaranya telah dimukimkan kembali.

Mengurangi angka serangan buaya berarti mengakhiri penambangan timah ilegal. Apakah itu mungkin? Ya, tapi kecil kemungkinannya. Perusahaan tambang timah milik negara, PT Timah, menyediakan kondisi kerja yang lebih aman bagi para penambang. Namun mereka tidak dapat bersaing dengan penghasilan tambahan dari penambangan ilegal.

Itu berarti di masa mendatang permintaan timah dunia untuk ponsel pintar akan sangat mahal.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Diterjemahkan Avit Hidayat dari Tempo.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 September 2024

  • 27 September 2024

  • 26 September 2024

  • 25 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan