maaf email atau password anda salah


Anak Tiri Konservasi Bahari

Luas tutupan lamun anjlok 40 persen sejak 1960-an. Perlu program restorasi nasional seperti terumbu karang dan mangrove.

arsip tempo : 171533689644.

Ikan kecil berenang di atas lamun. UNSPLASH. tempo : 171533689644.

Padang lamun merupakan suatu ekosistem perairan dangkal yang menjadi tempat hidup berbagai jenis tumbuhan laut berbunga serta beragam jenis ikan, kerang, penyu, kuda laut, dan dugong.

Ekosistem ini terbukti secara saintifik mampu memberikan banyak manfaat yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia dan berbagai makhluk laut, seperti menjernihkan perairan, mencegah sedimentasi, melindungi pantai dari gelombang ekstrem, dan menjadi sarana rekreasi.

Sayangnya, meskipun menyediakan banyak manfaat, ekosistem lamun masih kalah populer dibanding ekosistem pesisir lainnya, seperti hutan mangrove dan terumbu karang. Ekosistem lamun juga masih menjadi “anak tiri” dalam penelitian dan strategi pelindungan ekosistem di tingkat global.

Di Indonesia, masih belum ada program tingkat nasional yang khusus melindungi ekosistem lamun. Kenyataan ini sangat menyedihkan, mengingat Indonesia adalah rumah terbesar ekosistem lamun dunia. Padahal, sejak 1960-an, luas tutupan lamun di Indonesia diperkirakan berkurang hingga 30-40 persen akibat ekspansi budi daya perikanan dan pembangunan pesisir.

Pemerintah semestinya memasukkan program restorasi lamun sebagai prioritas nasional. Melalui riset terbaru yang terbit dalam jurnal Ambio: A Journal of Environment and Society, saya bersama kolega dari dalam dan luar negeri memaparkan lima alasan pemulihan ekosistem lamun di Indonesia layak menjadi solusi berbasis alam untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan persoalan lingkungan lainnya.

1. Memberdayakan dan Menyadarkan Warga Sekitar

Pelaksanaan program restorasi lamun di tingkat nasional dapat memicu peningkatan kesadaran masyarakat, terutama warga setempat, seputar pentingnya ekosistem lamun bagi kehidupan manusia.

Kesadaran masyarakat adalah faktor yang vital bagi keberhasilan pelindungan dan restorasi lamun. Riset terbaru saya menggarisbawahi kurangnya kesadaran masyarakat terhadap manfaat lamun sebagai salah satu ancaman terbesar konservasi ekosistem ini.

Di Kepulauan Karimunjawa, misalnya, riset kami menemukan warga setempat masih kurang mengetahui peran lamun dalam menjaga kualitas perairan serta sebagai penyerap karbon, penjaga abrasi, dan habitat bagi makhluk pesisir.

Akhirnya, lamun dianggap sebagai ekosistem yang “boleh” dirambah dan dicemari. Per 2019, ada sekitar 30-59 persen dari total ekosistem lamun yang berstatus rusak atau kurang sehat.

Implementasi program restorasi yang melibatkan masyarakat lokal kami yakini dapat mengubah keadaan ini. Warga yang telah mendapat sosialisasi dan menyadari pentingnya jasa ekosistem lamun akan termotivasi untuk bahu-membahu melindungi lamun serta berpartisipasi memulihkannya sehingga mereka berpeluang mendapatkan manfaat lingkungan ataupun ekonomi dari aktivitas ini.

Kebijakan restorasi di tingkat nasional juga dapat memantik perhatian global terhadap lamun Indonesia. Hal ini terjadi pada kebijakan pemulihan mangrove nasional yang dimulai pada 2019. Pada akhirnya, perhatian ini dapat membuahkan strategi pelindungan yang lebih kuat serta anggaran yang lebih besar.

Dua ekor eagle ray berenang di atas lamun. UNSPLASH

2. Meredam dan Mengatasi Dampak Perubahan Iklim

Para peneliti memperkirakan kawasan lamun Indonesia mencapai 875 ribu hektare, tapi hanya 294 ribu hektare yang sejauh ini sudah divalidasi.

Berdasarkan studi terbaru dari peneliti berbagai negara, padang lamun di Indonesia ditaksir menyimpan 368,5 teragram karbon atau 2 persen simpanan karbon di lingkungan pesisir dan laut global.

Hasil studi tersebut membuat padang lamun kita sangat penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sekaligus memperlambat laju perubahan iklim.

Indonesia memiliki target pengurangan emisi nasional sebesar 31,8-43,2 persen pada 2030. Target ini masih bisa ditingkatkan apabila pemerintah memasukkan aksi pelestarian dan pemulihan ekosistem lamun dalam target iklim Indonesia.

Sebaliknya, jika tidak ada aksi pelestarian dan pemulihan yang masif, penurunan luas habitat lamun sebesar 2-5 persen per tahun bisa terjadi di Indonesia.

3. Program Berskala Luas dan Melibatkan Banyak Lembaga

Seperti halnya program restorasi gambut yang diterbitkan Presiden Joko Widodo sejak 2016, program restorasi lamun seyogianya memungkinkan anggaran khusus pelindungan lamun, dilaksanakannya kebijakan pengelolaan lamun di tingkat pusat ataupun daerah, serta peningkatan sumber daya manusia dan penelitian terkait. Program restorasi juga dapat dilakukan dengan skala yang lebih luas dengan dukungan anggaran dari pemerintah.

Program restorasi ekosistem padang lamun dapat mendorong koordinasi yang lebih baik antarlembaga. Di Indonesia, sejak 36 tahun lalu, baru ada 22 proyek restorasi lamun. Pelaksanaannya tersebar di banyak lembaga, tapi terbatas di suatu area. Efektivitasnya pun tidak terpantau.

Di sisi lain, koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan karena restorasi padang lamun membutuhkan kerja sama dari berbagai bidang ilmu keahlian dan dukungan dari lembaga-lembaga pemerintah agar tercipta suatu program konservasi lingkungan yang berkelanjutan.

Indonesia dapat belajar dari Australia. Melalui koordinasi yang apik, Negeri Kanguru ini sukses memulihkan lamun tak hanya dengan menanam kembali, tapi juga memfokuskan interaksi antarspesies penghuni kawasan lamun dan hubungannya dengan ekosistem lain seperti mangrove.

Koordinasi antarlembaga, selain untuk menyukseskan pemulihan lamun, bisa diselaraskan untuk memenuhi program lain seperti pencegahan bencana. Lamun dapat menjadi sistem pendukung yang membantu infrastruktur fisik seperti tanggul untuk mencegah abrasi ataupun erosi.

4. Program Ekonomis tapi Berdampak

Pemulihan lamun yang mencakup perencanaan, penanaman, pemantauan, dan sebagainya diperkirakan memakan biaya sekitar US$ 700 ribu (Rp 10,4 miliar) per hektare. Angka ini jauh lebih murah dibanding ongkos restorasi karang sekitar US$ 3 juta (Rp 44,9 miliar) per hektare.

Biaya tersebut juga masih bisa dikurangi jika restorasi dilaksanakan di negara-negara berkembang yang memiliki ongkos tenaga kerja yang jauh lebih murah dibanding negara maju. Selain itu, aksi restorasi lamun yang memberdayakan masyarakat dan para relawan berpotensi menurunkan ongkos pemulihan lamun sekaligus memperkuat pemantauannya.

Di Kepulauan Sangkarang, Sulawesi Selatan, restorasi lamun seluas 600 meter persegi menelan biaya berkisar US$ 100 ribu (sekitar Rp 1,5 miliar) untuk perencanaan, penanaman, dan pemantauan selama tiga tahun. Program yang dimulai pada 2016 ini menggunakan metode transplantasi, yakni pengambilan tanaman lamun yang sehat untuk ditanam di lokasi tujuan.

Setelah tujuh tahun dilaksanakan, usaha restorasi menuai hasil positif. Padang lamun yang pulih memancing satwa perairan hidup di dalamnya dan melindungi pantai dari erosi.

Lamun. UNSPLASH

5. Mengembalikan Keberagaman Makhluk Perairan

Sebagaimana saya jelaskan di atas, lamun yang pulih akan memicu kehidupan satwa perairan dan mengembalikan fungsi lamun terhadap lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya, keanekaragaman hayati di ekosistem lamun turut menopang target Indonesia untuk menjaga biodiversitas laut.

Beberapa kegiatan restorasi di negara lain turut merekam dampak restorasi lamun bagi kehidupan sekitar. Misalnya, kesuksesan restorasi lamun sejak 2001 di pesisir timur Virginia, Amerika Serikat, memancing hewan laut bernilai ekonomis penting, seperti ikan, kerang, dan kepiting, tinggal di dalamnya. Kemampuan lamun untuk menyimpan karbon dan nitrogen juga meningkat.

Di Wakatobi, penanaman sekitar 4.000 pohon oleh masyarakat di sepanjang sungai sejak 2017 berhasil menjaga kelestarian ekosistem lamun sehingga meningkatkan keberagaman organisme perairan di pesisir setempat.

Itulah lima alasan pemulihan padang lamun layak menjadi prioritas. Pemerintah seyogianya memulai program restorasi seperti yang sudah dilakukan terhadap ekosistem gambut, mangrove, ataupun karang. Kami yakin kelestarian ekosistem lamun di Indonesia akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan biodiversitas makhluk laut.

---

Artikel ini ditulis oleh Husen Rifai dan Kevin M. Lukman, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 10 Mei 2024

  • 9 Mei 2024

  • 8 Mei 2024

  • 7 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan