Pisah Harta dalam Rumah Tangga
Perjanjian perkawinan, termasuk pisah harta, bisa dibuat sebelum atau selama pernikahan. Klinik Hukum Perempuan membahasnya.
Halo Klinik Hukum Perempuan, saya Sofie, karyawan swasta, ibu dari dua anak. Saya ingin bertanya, apakah saya dan suami bisa membuat perjanjian pisah harta tanpa harus melakukan perceraian? Saya ingin pisah harta dengan suami karena ia selingkuh. Perlu diketahui, selama perkawinan, hampir seluruh harta benda, seperti rumah, mobil, sepeda motor, dan harta lainnya, atas nama saya karena dibeli dari uang hasil jerih payah saya bekerja. Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Dijawab oleh:
Rr Sri Agustini, Advokat LBH APIK
E-mail: asosiasilbhapik@gmail.com
Telepon: (021) 87787289
Fax: (021) 87793300
Halo Sofie, sejak Mahkamah Konstitusi memutus perkara Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian mengenai pemisahan harta antara suami dan istri dalam perkawinan boleh dilakukan. Putusan itu mengubah makna Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi sebagai berikut:
Pasal 29
Perjanjian Perkawinan
(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Sofie bisa membuat perjanjian pisah harta dengan suami. Hal penting lainnya, karena suami Sofie berselingkuh, pemisahan harta harus dibuat dalam bentuk akta perjanjian pisah harta yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Tujuannya untuk melindungi hak-hak Sofie sebagai istri apabila di kemudian hari suami melakukan poligami. Selain itu, apabila Sofie dalam situasi terdesak memerlukan dana dan berniat menjual atau menjaminkan harta, tidak lagi memerlukan persetujuan dari suami.
Ilustrasi akta pisah harta. Shutterstock
Dalam akta pisah harta sebaiknya dicantumkan poin-poin penting yang tidak merugikan Sofie dan anak-anak secara hukum apabila terjadi perceraian atau persoalan hukum lainnya karena adanya perjanjian pemisahan harta. Berikut ini poin-poin penting yang harus ada atau dicantumkan dalam akta pisah harta:
1. Harta bawaan sebelum adanya perkawinan antara Sofie dan suami.
2. Kelangsungan karier Sofie, misalnya Sofie sebagai istri tetap memiliki hak untuk bekerja.
3. Kesepakatan mengenai pembagian tugas atau peran dalam rumah tangga antara Sofie dan suami, termasuk tanggung jawab pengasuhan serta nafkah anak.
4. Konsekuensi apabila terjadi perselingkuhan dari salah satu pihak.
5. Apabila ada tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suami.
Selain poin-poin yang saya uraikan di atas, Sofie bisa menambahkan hal-hal penting berdasarkan situasi dan kebutuhan hak keperdataan dari adanya pemisahan harta dalam perkawinan.
Syarat pembuatan akta pisah harta:
1. KTP calon suami-istri atau suami-istri
2. Untuk warga negara asing (WNA), melampirkan paspor
3. Fotokopi kartu keluarga
4. Fotokopi akta nikah
5. Proses dilakukan oleh notaris resmi
6. Setelah akta notaris keluar, dilakukan pendaftaran di kantor pencatat nikah supaya memenuhi unsur publisitasnya.
Lalu bagaimana status harta bersama atau gana-gini manakala terjadi perceraian padahal telah dilakukan perjanjian pisah harta? Apabila tali perkawinan suami-istri putus, pembagian harta bersama tetap akan mengacu pada Pasal 128-129 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Ilustrasi perceraian. Shutterstock
Lebih lanjut, semua harta yang diperoleh suami-istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung. Tidak menjadi masalah siapa yang membeli, atau apakah di antara suami dan istri tersebut mengetahui pada saat pembeliannya, bahkan atas nama siapa harta tersebut didaftarkan.
Dalam beberapa kasus, agar harta yang dikumpulkan istri tetap menjadi milik istri, sebelum gugatan perceraian diajukan ke pengadilan, dilakukan penyelesaian secara kekeluargaan dengan suami melalui jalur musyawarah. Dalam musyawarah itu, suami membuat surat hibah atas sebagian hartanya yang dikumpulkan atau dibeli istri dalam perkawinan. Setelah itu rampung, barulah gugatan perceraian diajukan.
Selain itu, perlu Sofie ketahui bahwa adanya perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan akan mengubah kewajiban pajak penghasilan (PPh) keluarga. Secara umum, dalam perpajakan, keluarga dipandang sebagai satu kesatuan ekonomi. Penghasilan atau kerugian semua anggota keluarga dianggap sebagai satu kesatuan yang pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Adapun status pisah harta berarti bahwa penghasilan Sofie dan suami akan dikenai pajak secara terpisah karena telah dikehendaki secara tertulis melalui akta pisah harta. Status ini membuat Sofie akan memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang berbeda dengan NPWP suami. Demikian penjelasan saya. Semoga dapat membantu Sofie dalam pembuatan akta pisah harta dalam perkawinan.