Asma adalah salah satu penyakit yang berisiko tinggi. Jika tidak ditangani dengan baik, penyakit ini bisa mengancam nyawa seseorang. Namun, menurut studi formatif pencegahan dan pengendalian asma, pena-nganan asma di Indonesia masih banyak kekurangan. “Misalnya di puskesmas (pusat kesehatan masyarakat), standar penanganan asma tak dilakukan karena sumber da-yanya yang tak ada,” kata Kepala Sub-Direktorat Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan, Theresia Sandra, di Taipei, Taiwan, akhir November lalu.
Penelitian yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Center for Health Policy and Management Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada, dan lembaga swadaya masyarakat Project Hope Indonesia menemukan bahwa banyak kekurangan dalam pena-nganan asma di Tanah Air. Obyek penelitian adalah puskesmas dan rumah sakit pemerintah di Kabupaten Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta), Kabupaten Banjar (Kalimantan Selatan), dan Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan).
Para peneliti menemukan hanya ada 60 persen obat-obatan asma yang tersedia di puskesmas dan rumah sakit. Misalnya, obat pelega saluran pernapasan, salah satu obat untuk mengontrol asma, masih terbatas. Fasilitas diagnosis juga kurang. Akibatnya, ketika ada pasien terserang asma, puskesmas cenderung me-rujuk pasien ke rumah sakit.
Masalahnya, rumah sakit yang menjadi rujukan pun kurang responsif. Bahkan ada rumah sakit yang menolak pasien karena kurangnya kapasitas rawat inap. Lalu, ketika kondisi pasien sudah membaik dan bisa dirujuk balik ke puskesmas, rujukan balik pun belum dilaksanakan optimal. Lagi-lagi lantaran puskesmas kekurangan obat.
Selain itu, para peneliti menemukan fakta bahwa pemahaman tentang asma masih rendah. Petugas kesehatan di fasilitas pela-yanan kesehatan primer dan rujukan kurang me-ngenali tanda dan gejala asma yang benar. Dokter juga tak mengetahui perkembangan terbaru soal pengobatan. Mereka masih menggunakan pedoman pengobatan yang merujuk pada materi pendidikan saat mereka kuliah. Padahal pedoman pengobatan nasional selalu diperbarui mengikuti pedoman tata laksana asma dunia.
Pengetahuan pasien soal asma banyak yang salah. Sebagian besar dari mereka mengira asma bisa sembuh sendiri. Padahal penyakit akibat alergi menahun itu sampai sekarang belum bisa disembuhkan, hanya bisa dikendalikan agar tak kambuh. Pengetahuan sebagian pasien mengenai alur rujukan ketika mendapat serangan asma juga tak tepat. “Pasien masih mengira mereka tidak dapat langsung ke rumah sakit ketika mengalami serangan asma yang membutuhkan tata laksana cepat,” ujar Sandra.
Penelitian ini merupakan bagian dari Healthy Lung, program perusahaan farmasi multinasional, AstraZeneca. Mereka bekerja sama dengan sembilan negara di Asia, termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, India, dan Vietnam. “Karena jumlah pasien asma terus meningkat, perlu diteliti bagaimana penanganannya,” kata Government Affairs Director AstraZeneca, Asia Pacific, Lucy Dance.
Asma adalah penyakit peradangan kronik saluran napas yang ditandai de-ngan adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Penyakit ini hilang-timbul, bisa tenang tanpa gejala dan tak mengganggu aktivitas, tapi juga bisa tiba-tiba muncul de-ngan gejala ringan sampai berat. Bahkan bisa mengakibatkan kematian. Asma dipicu antara lain oleh alergen dalam ruangan, seperti tungau, debu rumah, bulu binatang, kecoak, jamur, dan asap rokok.
Masalahnya, menurut Guru Besar Paru Universitas Airlangga, Mu-hammad Amin, selama ini asma belum menjadi penyakit prioritas untuk segera ditangani pemerintah. Akibatnya, komitmen pemerintah untuk melengkapi peralatan dan memberikan edukasi terbaru minim. “Misalnya tak semua puskesmas memiliki alat nebulizer, padahal itu standar untuk menangani serangan asma,” kata Amin.
Senada dengan Sandra, Amin juga mengatakan pengetahuan dokter tentang perkembangan pe-nanganan asma kurang. Ditambah lagi dengan keawaman masyarakat. Sebagian pasien ogah diberi obat inhaler dan memilih obat minum. “Katanya kurang marem kalau tidak minum obat,” ujar Wakil Direktur Pendidikan dan Riset Universitas Airlangga itu. Padahal obat tenggak lebih banyak efek sampingnya ketimbang obat semprot. NUR ALFIYAH