Masa remaja adalah masa yang penting dalam pertumbuhan menuju kedewasaan. Banyak remaja memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik, tapi tak sedikit pula yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Perubahan emosi dan pengaruh sosial, seperti tindak kekerasan yang mereka alami atau kemiskinan, membuat remaja berusia 10–19 tahun rentan terhadap masalah kesehatan jiwa.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan menunjukkan prevalensi gangguan mental yang ditunjukkan dengan gejala depresi pada usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Adapun prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, mencapai sekitar 400 ribu orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Sekitar 15–20 persennya adalah remaja.
Ketua Umum Perhimpunan Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Eka Viora, mengatakan masa-masa krusial kondisi kesehatan jiwa terjadi pada usia remaja. Jika tak terdeteksi, dan tak mendapatkan pengobatan yang layak, sang anak akan mengalami masalah mental dan fisik hingga dewasa. "Kesempatan untuk mengisi kehidupan yang lebih baik pada usia dewasa pun menjadi terbatas," kata dia dalam sebuah rilis yang diterima Tempo pada Senin lalu untuk memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tiap 10 Oktober.
Eka menunjukkan data: sekitar 10–20 persen remaja di dunia mengalami gangguan jiwa, namun tak terdiagnosis dan tak tertangani dengan baik. Kasus-kasus depresi itu tak jarang menyebabkan anak bunuh diri. Bunuh diri bahkan merupakan penyebab ketiga terbesar kematian pada usia 15–19 tahun.
Masa-masa krusial itu terjadi pada tahun-tahun awal menuju dewasa, seperti menjelang atau masa awal menjadi mahasiswa. Bagi sebagian remaja, saat-saat itu merupakan masa yang menyenangkan, meski pada saat bersamaan rentan mengalami stres. Jika perasaan ini tak dikelola dengan baik, masalah gangguan jiwa pun mengintai mereka.
Faktor yang dapat berkontribusi terhadap kesehatan jiwa masa remaja adalah keinginan untuk memperoleh otonomi yang lebih besar, tekanan untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya, eksplorasi identitas seksual, dan peningkatan akses ke teknologi. Faktor lainnya adalah kualitas kehidupan dalam keluarga dan tindak kekerasan seperti pola pengasuhan yang kasar, penganiayaan, kekerasan seksual, dan perisakan. Masalah sosio-ekonomi juga dapat mempengaruhi risiko kesehatan jiwa pada remaja. Selain itu, pengaruh media dan norma-norma gender dapat memperburuk disparitas antara realitas hidup remaja dan aspirasi mereka untuk masa depan.
Dokter spesialis kesehatan jiwa dari Klinik Psikosomatik Omni Hospital Alam Sutera, Tangerang, Andri, mengatakan masalah kesehatan jiwa pada remaja ada kemungkinan diawali dari dalam keluarga. Remaja, kata Andri, memiliki cara pandang yang berbeda dengan generasi orang tuanya. Mereka menginginkan sesuatu yang serba cepat dan instan sehingga menjadi kurang sabar, sementara orang tua tak sanggup memfasilitasi keinginan itu. "Perbedaan cara pandang itu sering menimbulkan masalah," kata dia, kemarin.
Generasi lebih tua, kata Andri, terkadang melihat perbedaan itu sebagai adanya masalah dalam anak. Padahal, belum tentu sang anak memiliki kondisi kesehatan mental yang terganggu. Ia pun menganjurkan orang tua untuk lebih banyak berbicara dengan anak-anak remajanya sebagai cara mendeteksi dini gangguan kesehatan jiwa.
Andri mengungkapkan suasana hati yang tidak stabil pada anak bisa menjadi alarm kewaspadaan orang tua. Lalu jika anak sudah sampai pada tahap melukai diri, enggan bersekolah, dan enggan berbicara dengan orang lain, orang tua harus sepenuhnya membantu sang anak.
Eka mengatakan upaya preventif terhadap kesehatan jiwa merupakan kunci untuk membantu remaja berkembang. Upaya itu bisa berupa pemberian pelatihan kemampuan sebagai caregiver pada keluarga. Kemudian melakukan intervensi berbasis sekolah seperti pelatihan staf pengajar dalam deteksi dan dasar manajemen risiko bunuh diri, pengenalan perubahan psikologi anak, dan pengajaran tentang kesehatan jiwa hingga keterampilan hidup. DIKO OKTARA
Remaja berisiko mengalami masalah kesehatan jiwa jika berada dalam kondisi seperti:
- Stigma, diskriminasi atau pengecualian, atau kurangnya akses ke kualitas dukungan dan layanan.
- Remaja yang tinggal di tempat bantuan kemanusiaan seperti pengungsian akibat bencana.
- Remaja dengan penyakit kronis, spektrum autism disorder, disabilitas intelektual atau kondisi neurologis lainnya; kehamilan remaja, pernikahan dini/kawin paksa; remaja dari etnis minoritas atau kelompok yang terdiskriminasi.
- Kualitas kehidupan dalam keluarga.
Upaya yang bisa dilakukan:
- Lebih sering mengajak berbicara (bisa tatap muka, disampaikan dalam satu grup percakapan, atau bimbingan psikologi secara online).
- Bisa juga diajak menemui tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan menangani masalah kesehatan jiwa.
- Ajak agar mereka lebih mau membuka diri.
- Pelatihan caregiver kepada anggota keluarga agar memiliki pengetahuan tentang penanganan masalah kesehatan jiwa yang baik.
SUMBER: DIOLAH DARI BERBAGAI SUMBER | DIKO OKTARA