Bukan Wartawan Perang Biasa
Burhan Sholihin
WARTAWAN TEMPO
Namanya tak seterkenal Peter Arnett, wartawan perang National Geographic yang pada 2003 meraih penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik, Pulitzer. Perawakannya juga biasa saja. Tak punya otot ala Rambo di lengan. Tak memakai rompi anti-peluru. Namun dia adalah salah satu wartawan terpenting bagi kantor berita AP saat gejolak revolusi meletus di Suriah dan Mesir sejak 2011.
Fergus Bell, 29 tahun, namanya. Wartawan yang pernah bekerja di ITN dan CNN ini bukanlah "wartawan perang" biasa. Dia ada di balik meja. Tugasnya adalah mengumpulkan foto dan video dari "ladang-ladang panas" revolusi, seperti di Tahrir Square, Mesir. Selama kebangkitan revolusi di Timur Tengah yang berlangsung sejak 2011 itu, Bell bertugas memimpin timnya untuk mendapatkan foto dan video terbaik dari medan perang melalui berbagai situs media sosial. Dia juga orang penting yang mengumpulkan foto-foto liputan badai Sandy di Amerika dan dari korban langsung tsunami di Jepang.
Burhan Sholihin
WARTAWAN TEMPO
Namanya tak seterkenal Peter Arnett, wartawan perang National Geographic yang pada 2003 meraih penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik, Pulitzer. Perawakannya juga biasa saja. Tak punya otot ala Rambo di lengan. Tak memakai rompi anti-peluru. Namun dia adalah salah satu wartawan terpenting bagi kantor berita AP saat gejolak revolusi meletus di Suriah dan Mesir sejak 2011.
Fergus Bell, 29 tahun, namanya. Wartaw
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini