maaf email atau password anda salah


Perang Hamas-Israel, Zionis, dan Zionisme

Zionis menjadi terminologi yang selalu muncul sejak Perang Hamas-Israel. Mengapa zionisme menyulut konflik dengan Palestina?

arsip tempo : 171460372255.

Sebuah tank Israel di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, dekat perbatasan Israel-Gaza, di Israel, 30 Desember 2023. REUTERS/Amir Cohen. tempo : 171460372255.

Seiring dengan terus berkecamuknya Perang Hamas-Israel, muncul banyak pertanyaan seputar zionis dan zionisme. Secara sederhana, zionisme adalah gerakan nasionalisme yang berupaya mewujudkan tanah air untuk bangsa Yahudi di wilayah Israel seperti yang digambarkan dalam Alkitab. Zionisme menjelma sebagai organisasi yang secara aktif membentuk negara Israel pada 1948.

Politik zionisme menjadi landasan suatu negara yang kini kita kenal sebagai Israel. Zionisme adalah gerakan yang mencakup spektrum keyakinan politik yang luas, dengan satu tujuan yang sama. Namun, lebih dari gerakan politik lain, zionisme berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

Jadi bagaimana sejarah zionisme dan seperti apa perkembangannya?

Asal Mula Zionis

Terdapat keterangan dalam Alkitab yang mendasari zionisme. Zionisme agama kerap merujuk pada janji Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan keturunannya—yang diyakini sebagai bangsa Israel—berupa tanah Kanaan atau tanah Israel.

Dengan berbagai dalih, pada akhir abad XIX, orang-orang Yahudi mulai pindah ke Palestina, yang saat itu berada di bawah Kesultanan Ottoman atau Utsmaniyah. Migrasi massal pertama, yang dikenal sebagai Aliyah Pertama, terjadi antara 1882 dan 1903.

Namun kemunculan zionisme modern lebih didasarkan pada pertimbangan sekuler dan dibangun dari filosofi politik. Meski terdapat banyak pemikir zionis yang lebih awal, Theodore Herzl dianggap sebagai bapak zionisme modern. Sebab, dialah yang pertama kali secara jelas menetapkan tujuan politik zionisme.

Herzl dibesarkan dalam keluarga Yahudi sekuler di Hungaria. Di Vienna, dia menjalani karier singkat sebagai pengacara sebelum menjadi wartawan, penulis naskah sandiwara, serta sastrawan. Awalnya, dia yakin bahwa orang-orang Yahudi Eropa perlu berasimilasi dengan budaya Eropa. Dia memegang pandangan itu sepanjang masa mudanya.

Pandangan Herzl berubah setelah ia menyaksikan kerusuhan antisemitisme di Paris pada 1895. Dia yakin antisemitisme tidak dapat dihapuskan. Maka orang-orang Yahudi di Eropa perlu meninggalkan benua itu dan membentuk tanah air sendiri.

Pada 1896, dia merilis Der Judenstaat: Versuch einer modernen Lösung der Judenfrage atau Negara Yahudi: Proposal untuk Solusi Modern bagi Masalah Yahudi. Dalam buku ini dia menyatakan bangsa Yahudi memiliki identitas nasional yang perlu diakui. Bangsa Yahudi tak akan bisa lepas dari ancaman antisemitisme, kecuali mereka hidup di komunitas yang mereka menjadi mayoritas.

Bangunan-bangunan yang hancur di Gaza terlihat dari Israel Selatan, 30 Desember 2023. REUTERS/Amir Cohen

Negara Yahudi di Timur Tengah

Dalam buku hariannya, Herzl mempertimbangkan berbagai tempat yang bisa menjadi negara Yahudi. Lokasinya sudah pasti di luar Eropa, bisa jadi Amerika Selatan. Namun, mulai 1904, Herzl berfokus pada Tanah Perjanjian atau Eretz Yisrael di Timur Tengah, “dari anak sungai Mesir hingga Eufrat (Irak)”.

Pada awal 1900-an, kawasan tersebut berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ottoman. Herzl berulang kali menemui pejabat tinggi Ottoman untuk melobi kepentingan zionis tersebut. 

Visi itu dianggap sebagai bentuk kolonialisme dan eurosentris karena wilayah tersebut telah dihuni penduduk asli Palestina. Namun, mengacu pada keyakinan bahwa bangsa Yahudi awalnya berasal dari tanah tersebut, Anti-Defamation League—organisasi non-pemerintah yang memerangi antisemitisme yang dibentuk di New York pada 1913—mengklaim pendirian negara Israel di sana bukanlah bentuk kolonialisme.

Dapat dikatakan bahwa zionisme politik menunjukkan dua aspirasi, yaitu antikolonial dan kolonial. Di satu sisi, mereka mendambakan kedaulatan bagi bangsa Yahudi di tanah yang mereka anggap sebagai milik nenek moyang mereka. Di sisi lain, karena para perintis zionisme berupaya meyakinkan negara-negara kolonial Eropa untuk membentuk negara Yahudi, mereka mengadopsi berbagai rasionalisasi kolonial dan kerap memandang penghuni tanah yang dituju—baik bangsa Arab maupun Yahudi asli—sebagai inferior.

Herzl jarang menulis soal bangsa Arab dan komunitas lain di “Tanah Perjanjian” tersebut. Kalaupun ada, dia membahas bagaimana kehidupan para penghuni asli itu akan membaik dengan mengikuti budaya Eropa dan Yahudi.

Aksi unjuk rasa bela Palestina yang diadakan oleh Koalisi Boston untuk Palestina di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, 17 Desember 2023. REUTERS/Reba Saldanha

Kekuatan Politik yang Terus Tumbuh

Seiring dengan bergulirnya migrasi bangsa Yahudi, zionisme menjadi lebih berpengaruh secara politik di level internasional. Namun Perang Dunia I membawa perubahan geopolitik di Timur Tengah. Pengaruh Kesultanan Ottoman memudar serta Inggris menjadi penguasa di Yordania dan Palestina mulai 1919. 

Pada 1917, demi melemahkan kendali Ottoman di kawasan tersebut, Inggris secara implisit mendukung eksistensi tanah air Yahudi dalam Deklarasi Balfour: “Pemerintahan Yang Mulia Raja Inggris mendukung pendirian rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina.”

Belakangan, pada 1939, Inggris membatalkan deklarasi tersebut dengan menyatakan bahwa dukungan bagi tanah air Yahudi bukan lagi kebijakan pemerintah Inggris. Sebab, tidak semua tindakan zionis berjalan damai. Organisasi paramiliter, seperti Irgun dan Lehi, pimpinan Ze'ev Jabotinsky—juga dikenal sebagai Geng Stern—mengebom dan menyerang tentara kolonial Inggris. Kelompok-kelompok ini juga yang pada 1948 melakukan pembantaian Deir Yassin, yang membunuh lebih dari seratus warga Palestina di dekat Yerusalem.

Namun keraguan seputar dukungan dunia bagi zionisme terhapus akibat holocaust dan kejahatan perang Nazi Jerman di Perang Dunia II. Orang-orang Yahudi dari berbagai sudut Eropa berbondong-bondong mengungsi ke Palestina—saat itu di bawah kendali Inggris. Populasi Yahudi di Palestina yang pada awal 1900-an hanya 50 ribuan meroket menjadi 650 ribu pada 1948.

Narasi mereka pun berubah, dari awalnya “rumah nasional” menjadi “Persemakmuran Yahudi” dengan otoritas kedaulatan penuh atas wilayahnya. Tujuan utama zionisme tercapai pada 14 Mei 1948 dengan deklarasi pendirian negara Israel oleh David Ben Gurion, perdana menteri pertama mereka.

Perang langsung berkecamuk dalam hitungan jam seusai deklarasi kemerdekaan tersebut. Lebih dari 700 ribu warga Palestina mengungsi ke Tepi Barat (saat itu di bawah Yordania), Gaza (bagian dari Mesir), dan negara-negara Arab lainnya. Bangsa Palestina mengenang tragedi ini sebagai Nakba, yang berarti malapetaka. Pada momen itu pula bangsa Palestina kehilangan peluang untuk berdiri sebagai negara sendiri. 

Zionisme di Masa Kini

Setelah sekian dekade, zionisme banyak berubah seiring dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan politik dari sisi internal mereka. Bagaimana bentuk negara Israel serta cara melindungi diri dari ancaman di kawasan itu? Pertanyaan penting lain adalah bagaimana zionisme menanggapi perjuangan kemerdekaan Palestina?

Pencaplokan Tepi Barat oleh Yordania dan Gaza oleh Mesir setelah perang kemerdekaan menjawab pertanyaan tersebut untuk jangka pendek. Israel menawarkan kewarganegaraan bagi sebagian orang Palestina, yang sekarang menjadi 20 persen dari populasi Israel. Mereka menjadi kelompok minoritas terbesar dan kerap kesulitan secara representasi politik serta sosial-ekonomi.

Kemenangan Israel atas Yordania, Suriah, dan Mesir dalam Perang Enam Hari pada 1967 kembali mengubah realitas politik. Israel menguasai Tepi Barat dan Gaza, berikut jutaan orang Palestina yang tinggal di sana. Namun mereka tidak ditawari kartu tanda penduduk. Akibatnya, jutaan orang itu tidak berkewarganegaraan. 

Hal ini memantik pertanyaan yang tak tuntas terjawab hingga sekarang: apakah penerapan zionisme secara efektif berarti non-kewarganegaraan bagi orang-orang Palestina?

Ada beberapa pemikiran yang menjawabnya. Bagi golongan buruh yang modern dan liberal zionisme—faksi yang meliputi Partai Yesh Atid dan mantan PM Ben Gurion—jawabannya adalah tidak. Bagi mereka, kemerdekaan Israel tidak perlu dipertentangkan dengan kemerdekaan Palestina. Mereka menempatkan resolusi konflik sebagai agenda penting. Sejak dulu, mereka mendorong solusi dua negara—pembentukan negara Palestina yang sepenuhnya terlepas dari Israel. Otoritas Palestina akan menjadi badan transisi sebagai cikal bakal pemerintahan dengan kedaulatan penuh atas wilayah mereka.

Namun sebagian golongan liberal menampik ide tersebut. Bagi mereka, pilihannya hanya satu, memberikan kewarganegaraan dan hak setara bagi orang Palestina. Mereka menentang gagasan yang menyebutkan rumah bagi orang Yahudi seharusnya negara Yahudi.

Pemikiran ini berlandaskan kegagalan pembentukan pemerintahan Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Ada juga pertimbangan kesenjangan besar antara kebebasan penuh warga Israel dan non-kewarganegaraan warga Palestina.

Meski kekuatan politik golongan buruh serta liberal zionisme di Knesset atau parlemen Israel telah memudar, solusi dua negara dan kesetaraan tersebut tetap tertanam di masyarakat sipil Israel. Contohnya, B'Tselem, penerus zionis sayap kiri Yossi Sarid, terus aktif mendokumentasikan praktik kekerasan dan apartheid di Tepi Barat. Singkat kata, zionisme tidak mengharamkan seseorang untuk bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah Israel.

Namun, bagi mayoritas kaum nasionalis, konservatif, dan revisionis zionis, kedaulatan Palestina—meski hanya sejengkal di tepi barat Sungai Yordan—merupakan ancaman langsung bagi negara Yahudi. Maka mereka menentang kemerdekaan Palestina. Jenis zionisme inilah yang sedang mendominasi politik Israel.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. ABIR SULTAN POOL/Pool via REUTERS

Di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, pendekatan ini tak lagi sebatas retorika serta diresmikan lewat Undang-Undang Negara Bangsa Israel Tahun 2018 yang mengabadikan kedaulatan tunggal Yahudi di negara Israel dan permukiman Yahudi sebagai “aset nasional”. 

Jenis zionisme ini menjadi landasan bagi setiap kebijakan Israel atas Palestina, baik secara politik maupun kekerasan, selama beberapa dekade terakhir. Karena itu, mereka membenarkan blokade Gaza, pengusiran warga Palestina di Tepi Barat, larangan berbicara politik, penahanan tanpa pengadilan, dan kekerasan yang tidak proporsional sebagai solusi konflik Israel-Palestina.

Pasca-serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, suara para menteri ultranasionalis menjadi lebih keras dan berpengaruh. Dengan dukungan perdana menteri, mereka menghapus solusi politik dengan Palestina.

Terlepas dari sikap kolonialnya terhadap penduduk asli Palestina, Theodore Herzl sejatinya berupaya menempatkan nilai liberal dan demokrasi. Dalam novelnya, Altneuland—berarti Tanah Lama dan Baru—dia membayangkan orang-orang non-Yahudi akan memiliki hak yang setara dengan orang Yahudi soal demokrasi.

Pandangan bapak zionisme modern itu berbanding terbalik dengan kondisi sekarang. Kini pimpinan zionis menganggap nilai-nilai liberalisme, demokrasi, serta warga Palestina sebagai ganjalan bagi keamanan negara Israel.

---

Artikel ini ditulis oleh Andrew Thomas, dosen studi Timur Tengah di Deakin University, Australia. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di The Conversation dan diterjemahkan oleh Reza Maulana dari Tempo.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024

  • 28 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan