NEW YORK – Selama 18 tahun terakhir, ribuan orang berkumpul di situs World Trade Center untuk menghormati hampir 3.000 jiwa yang tewas dalam serangan teroris pada 11 September 2001. Namun peringatan ke-19 pada tahun ini terasa sangat berbeda.
Akibat pandemi Covid-19 yang menewaskan hampir 200 ribu warga Amerika, peringatan di situs di Kota New York itu hanya akan dihadiri oleh anggota keluarga korban. Selain itu, untuk pertama kalinya tidak akan ada pembacaan nama korban secara langsung.
Museum Nasional 11 September memutar rekaman pembacaan nama 2.983 pria, wanita, dan anak-anak yang tewas dalam serangan di World Trade Center dan sejumlah tempat lainnya sebagai upaya mengurangi kerumunan orang dan menjaga jarak fisik.
“Sesuai dengan pedoman kota dan negara bagian, mereka yang hadir akan diminta mengenakan masker dan mempraktikkan jaga jarak fisik di alun-alun Memorial seluas delapan hektare,” demikian pernyataan September 11 Memorial & Museum, seperti dilansir The New York Post, kemarin.
“Anggota keluarga dapat berdiri di depan nama orang yang mereka cintai di situs sambil mendengar nama mereka dibacakan.”
Debra Epps, petugas kesehatan yang kehilangan saudaranya, Christopher, dalam serangan 11 September, dapat menerima keputusan ini. Virus SARS-CoV-2 yang telah menginfeksi lebih dari 6,42 juta penduduk Amerika membuatnya cukup khawatir, sehingga dia tak akan hadir.
“Ini benar-benar keputusan yang sulit, tapi saya tahu bahwa kita masih menghadapi pandemi,” kata Epps. “Saya akan mengingat kakak saya, apa pun yang terjadi.”
Namun keputusan Museum itu memicu kemarahan Yayasan Stephen Siller Tunnel to Towers. Organisasi nirlaba yang dibuat untuk menghormati petugas pemadam kebakaran New York, Stephen Siller, itu berkeras tradisi tersebut tetap berlangsung pada tahun ini.
“Kami akan membacakan semua 2.977 nama jiwa yang tewas pada hari itu,” kata Frank Siller, ketua organisasi. “Aneh jika mereka tidak melakukannya secara langsung tahun ini. Kami merasa keluarga korban 11 September harus membacakannya, dan kami bangga memberi mereka kesempatan itu dengan cara yang aman.”
Yayasan itu menyiapkan upacara pembacaan nama korban satu blok dari Ground Zero. Organisasi itu mengizinkan setiap anggota keluarga membacakan nama-nama mereka yang tewas terbunuh pada hari itu.
Wakil Presiden Mike Pence dan istrinya, Karen, dilaporkan mengunjungi peringatan yang diselenggarakan Stephen Siller Tunnel to Towers Foundation setelah melawat ke Ground Zero.
Perubahan juga terjadi dalam peringatan di Pentagon. Perayaan virtual berlangsung untuk 184 orang yang terbunuh di sana, 19 tahun lalu. Saat matahari terbit, bendera Amerika akan dikibarkan di Pentagon.
Para pemimpin militer kemudian akan melakukan upacara tanpa kehadiran keluarga korban, dan nama orang yang mereka cintai akan dibacakan dengan rekaman, bukan pembaca di tempat.
Meskipun keluarga korban tidak dapat hadir, kelompok kecil orang dapat mengunjungi tugu peringatan di sana pada sore hari.
Upacara pagi juga digelar di Peringatan Nasional Penerbangan 93 dekat Shanksville, Pennsylvania, di mana Presiden Donald Trump akan berpidato. Calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, berkunjung pada kemarin sore setelah menghadiri upacara peringatan 9/11 di New York.
Di seluruh negeri, beberapa komunitas telah membatalkan peringatan 11 September akibat pandemi. Sementara itu, acara peringatan lainnya terus berjalan, beberapa di antaranya dengan modifikasi.
Meskipun peringatan kali ini terlihat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, keluarga korban mengatakan tujuannya sama, yakni menghormati mereka yang tewas terbunuh.
“Saya tahu bahwa jantung Amerika hancur pada 11 September. Saya yakin orang-orang tidak akan lupa,” ujar Anthoula Katsimatides, yang kehilangan saudaranya, John, di World Trade Center. Katsimatides kini menjadi pengurus National September 11 Memorial & Museum.
NEW YORK POST | THE TELEGRAPH | AMNY
“Perang Melawan Teror” yang Telantarkan 37 Juta Orang
Perang teror yang diluncurkan Amerika Serikat seusai serangan pada 11 September 2001 mengakibatkan sedikitnya 37 juta orang mengungsi di seluruh dunia. Hal ini diungkapkan dalam laporan teranyar proyek Cost of War Universitas Brown, Amerika Serikat.
Para peneliti laporan ini menyatakan angka itu melampaui mereka yang telantar akibat konflik global sejak 1900, dengan pengecualian Perang Dunia II. Meski demikian, estimasi ini masih konservatif karena para peneliti memprediksi jumlah sebenarnya bisa mencapai 48 hingga 59 juta orang.
Laporan bertajuk “Menciptakan Pengungsi: Pengungsian yang Disebabkan oleh Perang Pasca-9/11 Amerika Serikat” itu menawarkan gambaran komprehensif pertama tentang berapa banyak pengungsi akibat perang Amerika di 24 negara selama hampir dua dekade.
Pengungsi Suriah di perbatasan Arsal, Libanon, 28 Juni 2018. REUTERS/Mohamed Azakir
Perang ini tidak hanya menyebabkan pengungsi di Afganistan dan Irak, tapi juga di Pakistan, Yaman, Somalia, Filipina, Libya, serta Suriah. Sebagai perbandingan, 37 juta orang hampir setara dengan populasi di California, yang merupakan negara bagian terpadat di AS.
“Seperti perang lain sepanjang sejarah, perang pasca-9/11 Amerika telah menyebabkan jutaan orang sebagian besar warga sipil melarikan diri untuk mencari keselamatan,” demikian bunyi laporan itu pada Rabu lalu. “Jutaan orang telah melarikan diri dari serangan udara, pengeboman, tembakan artileri, serangan pesawat tak berawak, baku tembak, dan pemerkosaan.”
Laporan tersebut dikeluarkan hanya beberapa hari sebelum peringatan 19 tahun serangan teror 11 September. Serangan yang menewaskan lebih dari 3.000 warga Amerika ini terus berdampak pada pendekatan Amerika terhadap urusan luar negeri.
“Penelitian ini memberi tahu kita bahwa keterlibatan Amerika di negara-negara tersebut telah menjadi bencana yang mengerikan. Meski begitu, tidak banyak orang di Amerika Serikat, termasuk saya, yang dapat memahami kengerian yang ditimbulkan oleh perang ini,” ujar David Vine, salah satu penulis laporan, kepada The New York Times.
Menurut proyek Cost of War, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah Amerika untuk perang melawan teror lebih dari US$ 6,4 triliun, dan itu menewaskan lebih dari 800 ribu orang.
INDEPENDENT | SITA PLANASARI AQUADINI