NEW YORK -- Jumlah kasus virus corona global melonjak melewati angka 25 juta pada Ahad kemarin. Menurut hitungan Reuters, penularan corona di dunia sudah tembus 25 juta kasus. Jumlah ini hampir sama dengan hitungan Worldometer dengan 25.194.398 orang terinfeksi, 847.241 orang meninggal, dan 17.544.658 pasien sembuh.
Angka terus bertambah dan ada kemungkinan masih belum bisa dikendalikan. India menjadi negara dengan angka penyebaran tertinggi, menggantikan Amerika Serikat dan Amerika Latin. India tercatat memiliki 78.761 kasus infeksi virus corona, kemarin. Rekor sebelumnya dipegang Amerika dengan angka penularan sebanyak 77.299 kasus pada 17 Juli lalu.
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organisation (WHO) menyatakan jumlah resmi kasus virus corona global saat ini setidaknya lima kali dari jumlah penyakit influenza parah yang tercatat setiap tahun. Angka kematian karena virus corona di seluruh dunia mencapai 840 ribu kasus, melampaui kematian tahunan yang terkait dengan influenza yang berada di kisaran 290-650 ribu.
Meski jumlah kasus melonjak, Perdana Menteri India Narendra Modi mendorong kembalinya kegiatan ekonomi untuk mengurangi imbas pandemi. Kementerian Dalam Negeri Federal telah memutuskan untuk mengizinkan jaringan kereta bawah tanah dibuka kembali dengan beberapa pembatasan di New Delhi, ibu kota India, yang berpenduduk sekitar 20 juta orang. Jaringan kereta dibuka pada 7 September. Jalur kereta merupakan jalur kehidupan bagi jutaan orang di Ibu Kota New Delhi. Adapun bioskop, kolam renang, taman hiburan, dan tempat-tempat serupa lainnya masih akan tetap tutup.
Amerika Latin merupakan kawasan dengan infeksi terbanyak di dunia, meskipun di beberapa negara di kawasan ini jumlah yang terinfeksi mulai menunjukkan sedikit penurunan. Di Amerika Serikat, angka kematian, rawat inap, dan tingkat positif hasil tes semuanya menurun, tapi ada hotspot yang muncul di Midwest.
Para peneliti di Nevada mengidentifikasi adanya kasus infeksi virus corona ulang di Amerika. Yang dialami seorang pria Nevada berusia 25 tahun tampaknya merupakan kasus infeksi ulang Covid-19. Pasien tersebut didiagnosis positif Covid-19 ringan pada April lalu. Ia kemudian dinyatakan pulih setelah dites negatif dua kali. Akan tetapi, pada Juni, pasien tersebut kembali dinyatakan positif Covid-19.
Para peneliti Nevada memeriksa materi genetik dari kedua spesimen virus corona pria tersebut. Analisis mereka menunjukkan dia mendapat dua infeksi virus yang berbeda. "Setelah seseorang sembuh dari Covid-19, kami masih tidak tahu berapa banyak kekebalan yang dibangun, berapa lama itu bisa bertahan, atau seberapa baik antibodi dalam perlindungan terhadap infeksi ulang," ujar Mark Pandori, Direktur Laboratorium Kesehatan Masyarakat Negara Bagian Nevada. "Penting untuk dicatat bahwa ini temuan tunggal. Ini tidak memberikan informasi apa pun kepada kami berkenaan dengan generalisasi fenomena ini."
Laporan tersebut serupa dengan yang dilaporkan awal pekan ini dari Hong Kong dan Eropa. Para peneliti Hong Kong mengatakan mereka menemukan kasus infeksi ulang virus corona pertama yang didokumentasikan pada seorang pria berusia 33 tahun. Para peneliti Hong Kong mengatakan, pria itu mengalami gejala infeksi virus corona pada tahap pertama, tapi tidak menunjukkan gejala yang jelas untuk kedua kalinya.
Kecepatan global dari infeksi baru sedikit stabil. Tingkat kasus harian baru telah melambat menjadi sekitar 1,2 persen selama Agustus sejauh ini. Sejumlah ahli kesehatan menekankan bahwa data resmi hampir pasti tidak dilaporkan, baik infeksi maupun kematian, terutama di negara-negara dengan kapasitas pengujian terbatas.
Prancis, Spanyol, dan Jerman telah mencatat jumlah kasus harian tertinggi sejak musim semi dalam beberapa hari terakhir. Hans Kluge, Direktur Jenderal WHO untuk kawasan Eropa, menyamakan Covid-19 dengan "tornado dengan ekor panjang". Dia memperingatkan bahwa meningkatnya kasus di kalangan anak muda dapat menyebarkan penyakit tersebut kepada orang tua yang lebih rentan dalam beberapa minggu mendatang.
REUTERS | CHANNEL NEWS ASIA | VOA | CTVNEWS | BBC | SUKMA LOPPIES
Demo Anti-Covid di Eropa
POLISI Berlin membubarkan aksi unjuk rasa yang memprotes pembatasan aktivitas akibat virus corona. Sebanyak 300 orang ditangkap di ibu kota Jerman itu setelah para demonstran gagal menjaga jarak dan mengenakan masker. Para pengunjuk rasa menyampaikan beragam keluhan dan spanduk yang menyatakan penolakan mereka terhadap vaksinasi, masker wajah, dan pemerintah Jerman.
Sekitar 38 ribu pengunjuk rasa berkumpul ketika infeksi meningkat di Eropa dan publik merasa frustrasi terhadap tindakan untuk menahan penyebaran virus yang terus meluas. Aksi demo juga terjadi di Paris, London, dan tempat lain pada Sabtu pekan lalu. "Kami tidak punya pilihan lain," ujar polisi Berlin lewat Twitter yang menegaskan akan bertindak keras agar mereka mematuhi kondisi keamanan pawai.
Pada demonstrasi di dekat Gerbang Brandenburg, beberapa ribu orang masih berkumpul hingga sore hari, beberapa melemparkan batu dan botol. Polisi menangkap sekitar 300 pengunjuk rasa. Menteri Utama Dalam Negeri Berlin, Andreas Geisel, menggambarkan kelompok itu sebagai "ekstremis". Dalam aksi tersebut, tujuh polisi terluka.
Kanselir Jerman Angela Merkel sehari sebelumnya meminta warganya tetap waspada terhadap virus. “Ini masalah serius, seserius sebelumnya, dan Anda harus terus menanggapinya dengan serius,” katanya.
Namun para pengunjuk rasa yang berkumpul di depan Gerbang Brandenburg mengusung sejumlah baliho bertulisan "Hentikan kebohongan corona". Mereka menilai aturan pembatasan akibat virus corona melanggar hak-hak dasar dan kebebasan yang diabadikan dalam konstitusi Jerman, dan ingin hal itu dicabut.
Di tempat lain di Eropa, sekitar 200 aktivis anti-masker berunjuk rasa di Paris untuk memprotes tindakan sanitasi dengan slogan seperti "Tidak untuk kediktatoran kesehatan" dan "Biarkan anak-anak kita bernapas". Di London, beberapa ratus pengunjuk rasa berkumpul di Trafalgar Square menyebut virus corona sebagai tipuan dan menuntut diakhirinya pembatasan. Banyak yang membawa spanduk bertulisan "Berita palsu" atau "Masker adalah moncong" dan menolak program vaksinasi wajib.
REUTERS | BBC | SUKMA LOPPIES