MINSK – Sekitar 65 ribu penduduk Belarusia penentang Presiden Alexander Lukashenko berunjuk rasa di Minsk, kemarin. Aksi unjuk rasa, yang berakhir hingga larut malam, itu merupakan aksi yang pertama sejak Belarusia pecah dari Uni Soviet pada 1991. Aksi dengan slogan "Pawai untuk Kebebasan" yang berlangsung di pusat Ibu Kota itu terjadi di tengah kemarahan atas dugaan kecurangan pemilu serta kekerasan polisi dalam aksi protes tersebut. "Kami ingin Lukashenko mundur," ujar seorang pekerja berusia 31 tahun yang menyebut namanya Alexei. "Kami akan terus mendesak. Kami bosan meminta."
Para penentang Lukashenko, yang berkuasa selama 26 tahun, mengatakan bahwa hasil pemilu menyamarkan fakta bahwa ia telah kehilangan dukungan publik. Gelombang kemarahan terus meningkat sejak Komisi Pemilihan Umum mengatakan bahwa Lukashenko menang 80 persen suara, sementara Svetlana Tikhanovskaya, rivalnya, hanya meraih 10 persen suara.
Dalam kunjungan ke pabrik traktor Minsk, kemarin, Lukashenko berusaha mempertahankan kemenangannya. Di depan para pekerja, dia menolak pemilu ulang digelar. Tapi saat dia berbicara, para pekerja mencemoohnya dan meneriakkan "pergi".
Aksi demo ini membuat Rusia, negara tetangga, bereaksi. Dilansir France24, Rusia menawarkan bantuan militer kepada Lukashenko jika perlu. Kremlin mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin telah memberi tahu Lukashenko bahwa Moskow siap membantu Belarusia. Hal itu sesuai dengan pakta militer kolektif dan adanya tekanan eksternal terhadap negara itu.
Rusia mengawasi dengan cermat situasi ini karena Belarusia memiliki jaringan pipa yang membawa ekspor energi Rusia ke Barat. Moskow juga menilai jaringan yang melewati kawasan di Belarusia sebagai zona penyangga terhadap NATO. Lukashenko dan Putin telah berbicara dua kali pada akhir pekan ini.
Dalam aksi itu, setidaknya dua pengunjuk rasa dilaporkan tewas dan ribuan orang lainnya telah ditahan. Namun Kementerian Dalam Negeri Belarusia mengatakan tidak ada penangkapan dalam demonstrasi tersebut, meskipun media lokal melaporkan bahwa beberapa orang ditahan.
Sejumlah pendukung Lukashenko menyatakan bahwa tanah air dalam situasi berbahaya. "Ibu pertiwi dalam bahaya!" ujar seorang pendukung. "Kami bersatu, tak terpisahkan!" Alla Georgievna, 68 tahun, salah seorang pendukung Lukashenko, mengatakan tidak mengerti mengapa semua orang menentang sang Presiden. "Kami mendapat pensiun dan gaji tepat waktu berkat dia."
Stanislav Shushkevich, 85 tahun, penentang Lukashenko, menolak gagasan Rusia mengirim militer untuk menopang Lukashenko. Menurut dia, Belarusia mempunyai pasukan yang besar, patuh, dan loyalis bergaji tinggi.
Perdana Menteri Cek mendesak rekan-rekannya di Uni Eropa membantu Belarusia, mengingat invasi militer Moskow pada 1968 serta penggulingan komunisme secara damai pada 1989. "Belarusia tidak boleh mengalami apa yang kami alami pada 1968," cuit Andrej Babis. "Uni Eropa harus aktif mendukung Belarusia dan tidak takut melakukan model revolusi seperti pada 1989."
Para pemimpin Uni Eropa akan menggelar pertemuan secara virtual pada Rabu besok. Para menteri luar negeri Uni Eropa pekan lalu sepakat menyiapkan sanksi terhadap pejabat Belarusia yang bertanggung jawab atas "kekerasan, penindasan, dan pemalsuan hasil pemilu". Inggris mengatakan tidak menerima hasil pemilu yang curang. "Dunia menyaksikan dengan ngeri perihal kekerasan yang digunakan oleh otoritas Belarusia untuk menekan protes damai setelah pemilihan presiden yang curang ini," kata Menteri Luar Negeri Dominic Raab, kemarin. "Inggris tidak menerima hasilnya."
FRANCE24 | BBC | REUTERS | SUKMA LOPPIES
10