WASHINGTON - Para pemimpin dari kelompok tujuh negara industri atau G7 menegaskan akan melakukan "apa pun" untuk mengatasi guncangan akibat pandemi virus corona baru atau Covid-19. Dalam pertemuan via konferensi video yang baru pertama kali dilakukan, G7 akan menerapkan langkah-langkah fiskal hingga mendukung upaya pengembangan vaksin.
Sebuah foto yang diunggah jurnalis Alvin Lum melalui Twitter memperlihatkan konferensi video itu dilakukan pada Senin malam oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Perdana Menteri Jepang Abe Shinzo, dan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte.
Kesepakatan ini dilakukan di tengah kekhawatiran perekonomian global dapat terjerumus ke dalam resesi karena kontrol perbatasan yang lebih ketat dan lebih banyak bisnis yang tutup untuk membendung penyebaran Covid-19.
"Kami berkomitmen melakukan apa pun yang diperlukan untuk memastikan respons global yang kuat melalui kerja sama yang lebih erat dan meningkatkan koordinasi upaya kami," kata para pemimpin itu dalam pernyataan bersama. "Sementara tantangan saat ini mungkin memerlukan langkah-langkah darurat nasional, kami tetap berkomitmen untuk stabilitas ekonomi global.
Pertemuan virtual itu terjadi ketika negara-negara merekomendasikan, atau menjalankan kebijakan social distancing (jaga jarak aman), yang mencegah kelompok-kelompok orang berkumpul bersama.
Konferensi video dapat menjadi indikasi bagaimana acara-acara besar dan pertemuan akan dilakukan selama minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang ketika perusahaan, universitas, dan sekolah tutup serta beralih ke online.
Semua langkah itu merupakan bagian dari praktik yang dikenal sebagai penjajaran sosial, yang didorong oleh pejabat kesehatan dunia, sebagai cara yang efektif untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut.
Pemimpin ke-27 negara anggota Uni Eropa kemarin juga bertemu melalui konferensi video dengan Komisi Uni Eropa untuk membahas krisis akibat virus corona. Pertemuan kedua dalam dua pekan berturut-turut ini dilakukan untuk menghasilkan tanggapan bersama ihwal Covid-19 setelah Eropa menjadi area pandemi terbaru selain Cina.
Masalah utama yang dihadapi para pemimpin negara Uni Eropa adalah menghentikan kedatangan orang yang membawa virus, mengoordinasikan setiap penutupan perbatasan, serta menjamin peralatan medis dan bahan pangan dapat mencapai mereka yang membutuhkan.
Mereka diharapkan mendukung larangan perjalanan 30 hari terhadap orang yang ingin datang ke Eropa untuk pariwisata atau bisnis yang tidak penting. Penduduk Uni Eropa, diplomat, dan anggota keluarga Eropa akan dibebaskan. Pekerja perawatan kesehatan dan transportasi juga bisa lolos dari larangan itu.
Uni Eropa juga akan membahas "jalur hijau" yang akan didirikan di perbatasan internal 26 negara Schengen. Jalur ini memungkinkan akses cepat bagi truk pengangkut pasokan penting agar terhindar dari kemacetan lalu lintas yang mulai terbentuk di beberapa titik perbatasan.
"Tujuannya untuk mengurangi pergerakan yang tidak perlu, tapi pada saat yang sama memastikan pergerakan barang vital, sehingga kami dapat menjamin pasar tunggal dan menjamin pengiriman yang dibutuhkan," ujar Presiden Dewan Uni Eropa Charles Michel, yang memimpin pertemuan itu.
Jumlah kasus virus corona di Eropa telah meningkat menjadi lebih dari 50 ribu orang dan lebih dari 2.000 orang meninggal. Penyebaran penyakit yang tak terhindarkan ini telah mengguncang pasar dan menebarkan ketakutan publik. Pemerintah yang khawatir telah memperkenalkan langkah-langkah perbaikan dengan menutup sebagian perbatasan atau melakukan karantina.
Setelah Italia gagal dalam pertempuran melawan Covid-19, Spanyol, dan sekarang Prancis, memberlakukan lockdown. Mereka membatasi warga keluar dari rumah, kecuali untuk hal mendesak, seperti membeli makanan atau menuju rumah sakit mana saja yang masih memiliki kapasitas untuk merawat mereka.
Tujuh negara telah memberi tahu Komisi Eropa, badan eksekutif UE, bahwa mereka memperkenalkan kembali pemeriksaan identitas di dalam wilayah Schengen atau bebas paspor Eropa. Beberapa negara itu adalah Austria, Hungaria, Republik Cek, dan Polandia, yang mengambil tindakan sepihak untuk menghentikan masuknya migran pada 2015. THE JAPAN TIMES | FRI | REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI
Acara Pernikahan di Ujung Tanduk
Gedung pertemuan telah disewa, para tamu sudah diundang, dan kamar hotel mereka telah dipesan. Gaun pengantin digantung rapi di lemari. Uang muka untuk bulan madu di Afrika juga sudah dibayarkan.
Kini, Dan Salganik mitra di sebuah agen pemasaran digital di Chicago tidak begitu yakin dia tetap akan menikah di Italia pada Juni mendatang. Ini semua karena tamu tak diundang, virus corona baru. Bukan hanya Salganik yang gamang, hampir semua calon pengantin di seluruh dunia mengalaminya.
"Saya mungkin berada pada titik di mana harus mulai memikirkan kembali banyak hal," kata dia.
Pandemi corona menghantam industri perhotelan, pariwisata, dan wedding organizer, dari Milan hingga Minnesota. Krisis memukul industri wedding organizer multi-miliar dolar dan pendukungnya, seperti fotografer, kru video, toko bunga, pembuat kue, perhiasan, musikus, dan layanan limosin.
"Semuanya terhenti," ujar Tiziana Marra, perencana pernikahan di Italia tengah. "Bisnis restoran kami telah berhenti dan kami harus memecat orang."
Sementara itu, pemberlakuan lockdown di Malaysia juga berpengaruh terhadap acara pernikahan. Di Negara Bagian Selangor, misalnya, akad nikah hanya boleh dihadiri oleh maksimal 10 orang dan waktunya pun dibatasi maksimal 20 menit.
Departemen Agama Islam Selangor (JAIS) menjelaskan, aturan ini terpaksa dibuat untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Selama prosesi akad, tak boleh ada jabat tangan, termasuk antara pengantin laki-laki dan mertua serta petugas pencatat akta nikah. Menurut JAIS, prosesi akad nikah juga harus diadakan di rumah, tidak di boleh tempat umum, seperti masjid dan surau. REUTERS | THE STAR | SITA PLANASARI AQUADINI