Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Darah Terus Tertumpah di Nikaragua

Lebih dari 300 warga Nikaragua tewas sejak April lalu, menyusul protes terhadap Presiden Ortega.

17 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Darah Terus Tertumpah di Nikaragua

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANAGUA - Liputan pada Jumat pekan lalu mungkin menjadi salah satu pengalaman paling mendebarkan bagi Joshua Partlow, wartawan The Washington Post yang menulis tentang Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Latin. Selama 15 jam, Partlow terperangkap bersama sekitar 200 mahasiswa, pastor, dokter, dan sesama jurnalis di dalam sebuah gereja di Nikaragua. Mereka tak dapat keluar karena tentara dan paramiliter pendukung Presiden Daniel Ortega memberondong gereja dengan peluru tajam. Dua mahasiswa tewas dalam serangan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melalui akun Twitter @partlowj, ia pun melaporkan langsung kengerian yang mereka rasakan. "Para wartawan dan mahasiswa masih terperangkap. Sekarang hampir pukul dua pagi di Nikaragua dan pasukan pemerintah telah menembaki universitas ini, dan gereja di dalamnya, selama lebih dari 12 jam," demikian Partlow mencuit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia juga mengunggah foto seorang mahasiswa yang tertembak di kaki dan kesakitan karena paramiliter melarang ambulans masuk ke lokasi. Tak lupa, ia mengunggah foto peluru-peluru tajam dan selongsong peluru yang berhamburan menerjang ke dalam gereja.

"Saya tidak tahu mengapa mereka ingin menyerang kami di sini. Sepertinya mereka ingin membunuh semua mahasiswa," kata Raul Zamora, salah seorang mahasiswa, menurut laporan Partlow. "Tolong, saya memanggil hati nurani pihak berwenang. Jika mereka sudah meninggalkan (universitas), mengapa mereka menyerang di gereja?"

Beberapa jam sebelum insiden ini, mahasiswa dari Universitas Otonom Nasional Nikaragua bentrok dengan polisi. Para mahasiswa, dan sebagian besar Nikaragua, telah memberontak melawan pemerintahan Presiden Daniel Ortega selama tiga bulan terakhir.

Mereka marah melihat Ortega mengkonsolidasi kekuasaan total sejak berkuasa pada 2007, merusak lembaga-lembaga demokratis, dan mempekerjakan paramiliter untuk melawan demonstran. Lebih dari 300 orang telah tewas sejak konflik dimulai pada April lalu dan sebagian besar adalah warga sipil.

"Mereka menembaki sebuah gereja," ujar Pendeta Erick Alvarado Cole, salah seorang imam di dalam Gereja Kerahiman Ilahi, tempat para mahasiswa berlindung, kepada Partlow. "Pemerintah mengatakan menghormati hak asasi manusia. Apakah ini menghormati hak asasi manusia?"

Protes pecah pada April lalu, menyusul reformasi pensiun yang dikeluarkan atas masukan Badan Moneter Internasional (IMF). Meski kebijakan itu telah dibatalkan, protes berkembang semakin besar dan berubah menjadi tuntutan agar Ortega mundur.

Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Ortega dan istrinya, Wakil Presiden Rosario Murillo, yang membangun pemerintahan diktator, nepotisme, dan penindasan brutal. Sejumlah anak mereka juga menempati posisi penting di Nikaragua.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh pasukan keamanan dan kelompok paramiliter yang setia kepada pemerintah menggunakan "kekuatan mematikan" untuk menindak protes.

Lebih dari 300 orang-sebagian besar dari mereka warga sipil-telah tewas dalam kekerasan dan 1.500 orang lainnya terluka sejak 18 April lalu. Ini merupakan insiden paling mematikan sejak negara itu mengakhiri perang saudara pada 1990.

Pada Ahad lalu waktu setempat, kata kelompok hak asasi manusia, sedikitnya 10 orang tewas setelah pasukan pro-pemerintah melancarkan operasi di selatan negara itu.

Asosiasi Hak Asasi Manusia Nikaragua (ANPDH) mengatakan bahwa enam warga sipil dan empat polisi anti-huru-hara meninggal di Kota Masaya, serta di dekat komunitas Niquinohomo dan Catarina serta lingkungan Monimbo.

Di antara yang tewas adalah seorang bocah perempuan berusia 10 tahun yang tertembak di perut. "Ia tewas karena kurangnya perhatian medis," kata Kepala ANPDH Alvaro Leiva.

Pekan lalu, Ortega menolak desakan mundur dan mengatakan kepada ribuan pendukungnya bahwa para pengunjuk rasa harus "mencari suara rakyat" jika ingin menjungkalkannya.

Sejumlah pihak memprediksi waktu Ortega tak lama lagi. "Dia telah merebut kembali wilayah melalui teror," kata Edmundo Jarquín, seorang pemimpin oposisi. "Tapi untuk berpikir dia bisa kembali ke stabilitas otoriter dan pertumbuhan ekonomi seperti dulu, tidak mungkin." THE WASHINGTON POST | NEWSWEEK | AL JAZEERA | SITA PLANASARI AQUADINI


Ironi Daniel Ortega

Tiga puluh sembilan tahun silam, Daniel Ortega adalah pemimpin revolusi Sandinista sayap kiri yang menggulingkan diktator kejam Anastasio Somoza. Kini, sebagai presiden selama 11 tahun terakhir, banyak lawan politiknya yang menjadi kawan. Namun Ortega berbalik melakukan penindasan terhadap Somoza.

Setelah kalah dalam pemilihan presiden pada 1990, Ortega terpilih kembali ke jabatannya pada 2006. Melalui aliansi dengan mantan presiden korup dan menekan Mahkamah Agung, ia meniadakan batas periode kepemimpinan dalam konstitusi.

Dengan cara licik itu, pria berusia 72 tahun tersebut kembali terpilih untuk masa jabatan ketiga berturut-turut pada 2016 dengan cara melarang kandidat oposisi ikut bertarung.

Ortega dan istrinya, Rosario Murillo, yang memerintah sebagai pasangan, telah mencapai formula yang sukses. Mereka bersekutu dengan sektor swasta dan gereja Katolik serta menghindari pertikaian dengan Amerika Serikat, sementara menggunakan bantuan Venezuela untuk proyek-proyek sosial yang membuat orang-orang Nikaragua yang lebih miskin diam.

Masalah mulai muncul ketika Venezuela memangkas bantuannya dan masalah fiskal pemerintah diperburuk oleh korupsi.

Untuk mencoba menenangkan aksi protes, Ortega membuat langkah taktis. Dia menarik potongan pensiun, menyetujui pembicaraan yang ditengahi oleh gereja, dan mengundang Komisi Inter-Amerika tentang hak asasi manusia untuk menyelidiki kekerasan yang dilakukan paramiliter Sandinista. Gereja, asosiasi bisnis, dan Amerika Serikat mengusulkan rencana pemilihan umum yang jatuh tempo pada 2021 akan diajukan pada Maret mendatang.

Namun Ortega menolak formula itu. Pejabatnya mengklaim bahwa ia adalah korban dari upaya "kudeta" terhadap konstitusi. Mereka berkeras bahwa kekerasan datang dari kedua belah pihak dan mengatakan pemerintah tidak akan bernegosiasi. Ortega berkukuh akan tetap berkuasa hingga 2021 mendatang. THE ECONOMIST | SITA PLANASARI AQUADINI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus