maaf email atau password anda salah


Percandian Muarajambi, Jejak Perguruan Tinggi Unggul Zaman Sriwijaya

Perguruan Sriwijaya di Muarajambi memegang peran penting sebagai pusat belajar ajaran Buddha

arsip tempo : 172651298574.

Gapura Candi Gedong II. tempo : 172651298574.

“Bagi para bhiksu Cina yang ingin pergi ke India untuk belajar ilmu agama dan kitab-kitab aslinya, sebaiknya tinggal dulu di Sriwijaya antara dua tiga bulan untuk berlatih dan menambah ilmu sebelum berangkat ke India. Di situ, mereka dapat belajar dengan seorang Mahaguru termashur Sakyakirti, namanya”

Begitulah kira-kira nasehat Yi-jing atau I-tsing kepada rekan-rekannya bhiksu dari Tiongkok, yang sejak sekitar abad 5 M antusias berziarah ke India. Tidak hanya itu, I-tsing juga menyatakan dalam buku yang ditulis pada akhir abad ke-7 M bahwa perguruan tinggi di Sriwijaya sangat besar. Lebih dari seribu bhiksu belajar dan mengajar di sana. Mereka semua khusuk belajar, meneliti, dan menjalankan ajaran Buddha. Alirannya sama dengan yang ada di Madyadesa (Bihar).

Rupanya, I-tsing ingin mengatakan bahwa perguruan tinggi di Sriwijaya itu sangat erat terkait dengan Mahavihara Nalanda yang ada di Bihar. Waktu itu, Nalanda adalah pusat belajar ajaran Buddha yang terbesar di dunia. Hubungan itu dibuktikan dengan prasasti Nalanda, tahun 860 M. Di lempeng perunggu itu dituliskan Raja Sriwijaya Balaputradewa mendirikan vihara di Nalanda. Ada pertukaran pendidikan antara Sriwijaya dan Nalanda. Bahkan, Raja India Dewapala menghibahkan tanah yang luas untuk mendukung terselenggaranya vihara itu.  

Ternyata Sriwijaya pernah memiliki perguruan tinggi unggul di dunia. Setidaknya itu berlangsung lebih dari enam abad hingga abad ke-13 M. Tentu bukan reputasi sembarangan. Namun, dimana jejak perguruan besar itu? Muarajambi! Begitulah keyakinan banyak ahli sejarah dan arkeologi. Meskipun ibukota Sriwijaya ada di Palembang, tetapi deskripsi sejumlah sumber sejarah lebih menunjuk Muarajambi sebagai lokasi perguruan ini. Pada awal abad ke-11, pusat Sriwijaya pun berpindah ke Mo-lo-yu alias Jambi.  

Semula tentu tak menyangka, situs Muarajambi adalah reruntuhan perguruan besar. Saat ditemukan tahun 1824 oleh S.C. Crooke, seorang perwira Inggris, situs ini masih rimbun ditumbuhi semak dan tanaman karet. Sejumlah bangunan dari bata memang masih tegak. Tapi tidak lebih dari satu setengah meter dari muka tanah. Selebihnya berupa bukit kecil tumpukan bata diliputi semak. Penduduk setempat menyebutnya “menapo”. Jumlahnya ada puluhan tersebar luas di sepanjang tepi utara Sungai Batanghari. 

Setelah dibersihkan, dipugar, dan ditata kini situs Muarajambi menampakkan wajah lebih berwibawa. Percandian Muarajambi adalah jalinan kompleks antara jaringan kanal, kolam, keairan, bangunan candi, struktur pagar, dan bukit buat. Seluruhnya membentuk lanskap budaya simbolis yang khas. Diapit Sungai Batanghari di selatan dan kanal buatan di utara, hamparan kompleks candi ini seakan menjadi khayangan Gunung Meru dalam kosmologi Hindu-Budha. Puncaknya dilambangkan oleh Bukit Perak. Bukit buatan berdiameter 30 m dan tinggi 40 m di ujung barat kawasan ini. 

Lebih dari seratus candi beragam ukuran menandai pusat khayangan ini. Sejumlah candi besar berhasil dipugar termasuk batas halaman yang tampak kokoh megah. Ada Candi Astano, Candi Kembarbatu, Candi Tinggi, Komplek Stupa Gumpung, Candi Gumpung, Candi Gedong, Candi Kedaton, dan Candi Koto Mahligai. Ada pula kolam Talagorajo dan jaringan kanal mengitari sejumlah candi. Sejumlah arca juga ditemukan antara lain Arca Prajnaparamita, Dwarapala, dan Gajahsimha. Pantas kiranya situs ini sebagai jejak perguruan ternama dengan ribuan pembelajar yang taat beribadah dan tekun meneliti. Tokoh legendaris Buddhis Tibet Dipamkara Srijnana Atisha pun pernah tinggal 12 tahun di sini. 

Perguruan Sriwijaya di Muarajambi memang memegang peran penting sebagai pusat belajar ajaran Buddha di jamannya.  Namun, tidak eksklusif, di kawasan cagar budaya Muarajambi juga ditemukan sisa-sisa kegiatan umat Hindu, berupa arca dan reruntuhan bangunan pemujaan. Selain itu, temuan artefak lepas seperti gong perunggu dan mata uang bertulisan huruf Cina, kertas emas dengan mantra Buddhis, keramik asing, ratusan manik-manik, dan batu mulia dari berbagai asal. Semua membuktikan masyarakat di Muarajambi bersifat multikutural. Berbagai budaya bertemu dan berinteraksi di sini.

Ragam temuan, arsitektur, dan lanskap budaya percandian Muarajambi memang khas dan memiliki nilai budaya tinggi. Layak kiranya pemerintah Indonesia menominasikannya sebagai warisan budaya dunia. Muarajambi setidak menunjukkan nilai penting sebagai bukti pertukaran budaya dunia pada masanya. Pertukaran itu telah menjadikan Muarajambi pusat pendidikan yang berpengaruh dalam sejarah dunia. Interkasi budaya itu juga melahirkan bentuk arsitektur dan lanskap yang khas. Muarajambi adalah jejak peradaban besar yang dapat menginspirasi dunia. Dengan nilai-nilai itu percandian Muarajambi berpotensi memenuhi sejumlah kriteria warisan budaya dunia.

Keberadaan percandian Muarajambi tentu tidak hanya untuk dikenang dan dielu-elukan kejayaannya di masa lampau. Kehadirannya di dunia modern ini harus membawa manfaat bagi masa kini dan masa mendatang. Kawasan Muarajambi dan lingkungannya yang masih asri harus dilestarikan dengan sebaik-baiknya agar dapat menjadi contoh kehidupan manusia yang harmonis dengan alam. 

Penduduk setempat dapat mengelola secara bijak pohon buah yang subur agar mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Tanpa harus menimbulkan kerusakan tinggalan yang ada. Jaringan keairan juga dapat dikembangkan menjadi sumber penghasilan bagi penduduk setempat. Seperti di masa lampau, Kawasan Muarajambi dapat menjadi wadah pengembangan budaya secara multikultural. Geliat kiprah budaya masyarakat setempat yang kini sudah mulai bersemi di kawasan ini perlu dipupuk dan dikembangkan menjadi tradisi yang mampu meningkatkan kualitas hidup dan peradaban mereka. 

Tentu saja pariwisata yang bersifat edukatif dan melestarikan dapat dikembangkan dengan pengaturan yang bijak, agar tidak mengakibatkan kemerosotan nilai-nilai budaya Muarajambi. Untuk itu, pengelolaan Kawasan Muarajambi harus dilakukan secara sinergis, dengan melibatkan  masyarakat setempat. Masyarakat tidak hanya sebagai penonton, seperti terjadi di banyak tempat lainnya. Sebaliknya, masyarakat harus memegang peran aktif. Hanya dengan cara demikian, peran warisan budaya untuk mendorong tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) akan dapat dilaksanakan.

Di tingkat internasional, percandian Muarajambi dapat menjadi saluran diplomasi yang strategis. Banyak negara yang tertarik dengan keberadaan percandian Muarajambi. Terbukti pameran kecil yang ditampilkan pada ajang Sidang ke-46 World Heritage Committee UNESCO di New Delhi baru-baru ini mampu menyedot perhatian begitu banyak peserta sidang. 

Keberadaan perguruan unggul Sriwijaya di Muarajambi itu adalah contoh hasil diplomasi yang sukses. Terbayangkan, para diplomat Sriwijaya mampu mengundang para tokoh Buddhisme dunia mau berkiprah di perguruan dengan ribuan siswa ini. Keunggulan diplomasi rupanya berjalan sejajar dengan keunggulan pendidikan di Indonesia kala itu. 

Bagaimana dengan kita saat ini? Barangkali, kita belajar mesti banyak belajar dari keunggulan Muarajambi!

*Penulis: Daud Aris Tanudirjo - Pemerhati Budaya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024

  • 13 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan