Taman Budaya sebagai Badan Layanan Umum
Masing masing taman budaya berkembang dengan ciri tersendiri sesuai ekosistem pendukungnya
Tradisi Taman Budaya sebagai ruang publik, berakar kuat pada peradaban Nusantara semula jadi. Prasasti Tulang Tuo bertajuk 23 Maret 684M, mengisahkan pembangunan Taman Ksetra oleh Sri Jayanasa, sebagai tempat terbuka bagi para pejalan yang kehausan badan dan pengetahuan. Tempat untuk penyegaran diri dan berdialog saling mengingatkan bagi pemuliaan budi.
Bentuk paling monumental Taman Budaya adalah pendirian Borobudur sebagai Kamulan Bumi Sambara. Yakni tempat untuk menyemai dan memetik kebajikan, keindahan dan pengetahuan (prasasti Kayumwungan 824M). Dari generasi ke generasi, rasa rindu akan taman budaya ini, terekam pada arkatipe kolektif; hingga kita memperoleh bayangannya pada lanskap IKN ibu kota Nusantara.
Sejak Kongres Kebudayaan Magelang 1948, "Taman Kebudayaan" untuk pengajaran, selalu dibicarakan bersamaan dengan "Taman Siswa" untuk pendidikan. Namun baru pada Dirjen Kebudayaan Prof Ida Bagus Mantra, keinginan terpendam ini dihidupkan. Setelah mewakafkan tanah keluarganya, dibangunlah Taman Budaya Bali (salah kaprah diterjemahkan sebagai Bali Art Centre) dan diselenggarakan Pesta Kesenian Bali pertama kali pada tahun 1978, yang semarak dan berkelanjutan hingga saat ini.
Bali kemudian menjadi model dan rujukan pendirian Taman Budaya di berbagai propinsi, yang dikelola secara langsung oleh Dirjen Kebudayaan. Untuk kegiatan kesenian, pengaruh dari Taman Ismail Marzuki, yang lebih dahulu berdiri 1968, tak terelakan. Meskipun awal tujuan pendirian Taman Budaya, arahan Prof Mantra;"... akan berfungsi sebagai laboratorium dan etalase, sekaligus juga sebagai tempat pendidikan dan pelatihan seni."
Masing masing taman budaya berkembang dengan ciri tersendiri sesuai ekosistem pendukungnya. Pasang surut terjadi dari waktu ke waktu, namun bergerak ke arah tak beraturan sejak penyelenggaraan otonomi daerah paska reformasi. Taman Budaya dikelola oleh UPTD Unit Pengelola Teknis Daerah, bersandar pada APBD, yang berbeda perhatian dari satu daerah dengan daerah lain. Keberadaan 32 taman budaya semasa membawa 32 peta perjalanan masing masing. Mimpi taman Ksetra menjadi layu, dan seniman daerah kembali melakukan perjalanan tanpa oase, tanpa peta bersama.
Dikukuhkan UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dan Perpres No 114 tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan; seperti memutar sejarah, mengikuti kembali jejak para leluhur. Memperhatikan saripati dua peraturan dan kebijakan di atas, sesungguhnya taman budaya (taman-ksetra) adalah pesamuan agung antara desa, kala dan patra.
Jika desa sebagai ruang publik atau tanah air; kala sebagai waktu publik atau bahasa; dan patra sebagai kebajikan publik atau kesadaran bangsa. Maka, ketiga pilar ini merupakan peta jalan kemana kita bergerak. Bukankah Sumpah Pemuda bersandar pada kaidah emas ini?
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid selama dekade terakhir, telah merintis langkah terobosan yang berdampak lebar. Pertama, mengintegrasikan museum, cagar budaya dan ruang seni dalam pengelolaan terpadu. Membangun Indonesian Heritage Agency, sebagai badan yang tangkas untuk menjawab kebutuhan semasa.
Kedua, betapapun belum memadai untuk negara sebesar ini, dana abadi kebudayaan mengisi kehausan sumber penggerak dalam penciptaan. Mendorong seniman berani merencanakan dan menengadah ke depan.
Ketiga, membuat platform sebagai ruang ketiga untuk bertemunya para penggiat budaya dalam dunia digital. Kanal Indonesiana telah menjadi etalase pertunjukan sekaligus jejak pencapaian dan dokumentasi karya.
Keempat, menyusun peta-biru kebijakan budaya yang terbuka dan berkelanjutan. Memudahkan akses berbagai pihak untuk melihat kompas dan mengatur tempo penciptaan.
Yang tersisa kini, adalah posisi dan fungsi taman budaya. Terbengkalai karena kegagahan dalam kebebasan, tercerai karena otonomi. Lembaga ini sedang memintal kesulitannya sendiri dan membagi kebingungan sebagai gaya penciptaan.
Hendaknya kita perlu menenun ulang persepsi kita atas taman budaya. Tentang fungsi dan kedudukannya dalam imajinasi sejarah. Lembaga tradisi semula jadi ini, hendaknya dilihat sebagai lembaga antara yang mempertemukan hasrat publik dengan tujuan re-publik. Badan yang harus dikelola secara nasional dengan peta jalan yang jelas. Sebagai badan layanan umum yang menyemai kebajikan publik untuk kesadaran kebangsaan. Taman dimana solidaritas, kerja cipta dan bela rasa dimuliakan tanpa untung rugi. Taman sebagai penanda, atau tugu sebagai monumen, atau panji sebagai bendera. Lembaga yang tersebar namun mewartakan kehadiran, gerak hidup dan jiwa sebuah bangsa.
*Penulis: Taufik Rahzen - budayawan