Kemendag Bahas Larangan dan Aturan Impor Cegah Obat Berbahaya
Samakan persepsi untuk perlindungan konsumen. #Infotempo
Kementerian Perdagangan secara proaktif mencari terobosan solusi untuk mencegah meluasnya gagal ginjal akut yang belakangan ini menelan korban anak-anak. Bahan baku obat yang membahayakan ginjal anak-anak dan orang dewasa akan segera dimasukkan ke dalam larangan terbatas (lartas) dan diatur importasinya.
“Untuk mencegah terulangnya kejadian gagal ginjal di masa depan dan untuk melindungi masyarakat, pemerintah saat ini tengah membahas usulan lartas atas importasi bahan baku obat berupa Propilen Glikol (PG) dan Polietilen Glikol (PEG) yang melibatkan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan; Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan; Kemenko Bidang Perekonomian, BPOM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Lembaga National Single Window(LNSW),” kata Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedidi, Jumat, 4 November 2022.
Menurutnya, hingga saat ini importasi bahan kimia Propilena Glikol (HS Code 29053200) dan Polietilena Glikol (HS Code 34042000) yang digunakan sebagai bahan baku obat tidak termasuk dalam kategori lartas. Karena itu, komoditas tersebut tidak termasuk dalam importasi yang diatur oleh Kementerian Perdagangan.
Bahan baku obat tersebut ditengarai mengandung cemaran Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE) yang menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak-anak. "Hingga saat ini, importasi Ropilena Glikol dan Polietilena Glikol memang belum diatur importasinya oleh Kementerian Perdagangan karena komoditas tersebut tidak termasuk dalam lartas. Begitu pula dengan aturan importasi untuk bahan kimia Sorbitol (HS Code 29054400), Gliserin/Gliserol (HS Code29054500), Etilen Glikol (EG) (HS Code 29053100), Etilen Glikol (EG) (HS Code 29053100), Dietilen Glikol (DEG) (HS Code 29094100) juga tidak termasuk komoditas yang diatur importasinya oleh Kementerian Perdagangan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Angrijono menegaskan, Kemendag senantiasa berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) agar konsumen dapat terlindungi dari obat dan produk farmasi lainnya yang tidak sesuai ketentuan.
“Untuk mencegah semakin banyaknya kasus gagal ginjal akut yang tengah terjadi saat ini, Kemendag berkomitmen terus mendorong upaya perlindungan konsumen atas produk obat dan farmasi yang tidak sesuai ketentuan. Hingga saat ini Kementerian Perdagangan terus melakukan pengawasan di lapangan,” kata Veri.
Kementerian Perdagangan telah menggelar rapat koordinasi dengan para para pemangku kepentingan di bidang farmasi seperti produsen obat, asosiasi perusahaan farmasi dan apotek, distibutor di bidang obat-obatan serta asosiasi penjualan online (idEA) yang berlangsung pada Senin, 31 Oktober 2022 di Kantor Kementerian Perdagangan. Rapat koordinasi dengan para pemangku kepentingan terkait juga digelar untuk menyamakan persepsi dalam rangka perlindungan konsumen.
“Pada rapat koordinasi dengan pelaku usaha dan idEA, Kementerian Perdagangan telah meminta IdEA untuk menurunkan konten terhadap 81 tautan pada loka pasar dan perdagangan elektronik yang memperdagangkan obat sirup yang dilarang dan serta produk dry shampoo yang tidak memiliki izin edar. Produk dry shampoo di Amerika Serikat kini juga tengah diberitakan mengandung senyawa Benzena dan berpotensi menyebabkan kanker,” ujar Veri.
Dalam rapat koordinasi tersebut, Kementerian Perdagangan juga meminta para pelaku usaha baikprodusen maupun asosiasi perusahaan farmasi untuk mengikuti ketentuan dari pemerintah terkaitproduksi dan penjualan obat sesuai standar yang telah ditetapkan. “Demikian halnya dengan asosiasi penjualan secara daring (online) agar ikut berperan aktif dalam mengawasi dan melakukan tindakan penurunan konten penjualan obat yang dinyatakan dilarang oleh pemerintah,” kata dia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 ayat (3) menyatakan pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2miliar.
Seluruh pemangku kepentingan, khususnya produsen obat wajib mengantisipasi terjadinya kelangkaan serta mahalnya sediaan obat atau farmasi dengan tetap memproduksi dan menjual obat yang sesuai dengan standar obat yang telah ditentukan.
“Produsen obat dan farmasi wajib menyediakan serta mengaktifkan hotline layanan konsumen. Kami berharap peranaktif produsen dalam memitigasi, mengidentifikasi, dan mengecek produk secara berkala serta melakukan penarikan produk dari peredaran apabila produk terindikasi adanya cemaran atau kontaminasi yang dapat membahayakan kesehatan,” ujar Veri.
Masyarakat pun diminta tidak membeli dan menggunakan produk-produk yang tengah diindikasikan dapat merugikan kesehatan. "Kami meminta masyarakat untuk melaporkan jika masih menemukan obat-obat yang diindikasikan tercemar oleh BPOM dan untuk tidak mengonsumsi produk-produk obat tersebut,” kata Veri.