Perempuan Kepala Keluarga Terjepit Karena Covid
95 persen perempuan kepala keluarga ini bekerja di sektor informal seperti pedagang, buruh, petani, atau buruh tani.
Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak rumah tangga berakhir baik sebagai akibat perceraian atau kematian laki-laki kepala keluarga. Kondisi ersebut memaksa perempuan mengambilalihke pemimpinan rumah tangga.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik pada 2020, secara keseluruhan ada 11,44 juta keluarga dikepalai perempuan. Itu berarti 15,7 persen dari total rumah tangga di Indonesia. Dibandingkan 2016, angkanya naik 31 persen. Sebagian besar keluarga tersebut secara sosial dan ekonomi merupakan kelompok menengah ke bawah.
Menurut Co-Direktur Yayasan Pemberdayaan Perempuan KepalaKeluarga (PEKKA), Fitria Villa Sahara, 95 persen perempuan kepala keluarga ini bekerja di sektor informal seperti pedagang, buruh, petani, atau buruh tani. Hampir separuh dari mereka tingkat pendapatannya kurang dari Rp5 00 ribu tiap bulannya. Sedangkan 32,6 persen pendapatannya hanya sampai Rp 1 juta per bulan. Hanya 18,3 persen yang pendapatannya lebih dari Rp 1 juta. “Sebelum pandemi mereka sudah prasejahtera. Pandemi membuat mereka makin jauh dari sejahtera,” katanya.
Pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) merintangi aktivitas ekonomi mereka. Di sisi lain, kebutuhan pengeluaran pendidikan untuk anak-anaknya meningkat dengan kebijakan sekolah dari rumah.
Nur Haryati, 46 tahun, salah satu perempuan kepala keluarga yang berjuang di tengah pandemi. Sejak bercerai pada 2014, warga Bantul, Yogyakarta, ini menanggung sendiri kebutuhan dua anaknya. Selama pandemi, dia bekerja sebagai buruh harian usaha makanan rumahan. “Gajinya Rp 40ribu sehari,” ujarnya. Penghasilan ini pun tak menentu karena dia kerja berdasar kebutuhan majikan.