Kementerian Agraria Usulkan Pembentukan PPNS Pertanahan
JAKARTA --- Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan membutuhkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pertanahan untuk menyidik kejahatan di bidang pertanahan dan membasmi mafia tanah. Usulan tersebut telah disampaikan dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Saat ini, menurut Tenaga Ahli Menteri Agraria/Kepala BPN Bidang Hukum dan Litigasi, Iing Sodikin Arifin, Kementerian ATR/BPN telah menjalin kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk terus memberantas kejahatan pertanahan. Keberadaan mafia tanah dinilai sudah sangat meresahkan masyarakat, terutama para pemilik tanah yang sebenarnya.
Berdasarkan data Kementerian Agraria, jumlah kasus kejahatan pertanahan yang ditangani pada periode 2018 - 2020 sebanyak 188 kasus, melebihi target 183 kasus. Kasus-kasus tersebut ditangani di BPN dengan status K1 (selesai) sebanyak 48 kasus, K2 (surat penyelesaian kasus ke kantor wilayah BPN provinsi) 62 kasus, K3 (bukan kewenangan BPN) 21 kasus, dan dalam proses 13 kasus.
Sedangkan jumlah penanganan kasus berdasarkan kriteria penyelesaian oleh polisi atau aparat penegak hukum terdiri dari, penyelidikan 38 kasus, penyidikan 44 kasus, ditetapkan tersangka 44 kasus, diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan 15 kasus, P19 (pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi) 11 kasus, dan P21 (hasil penyidikan sudah lengkap) 54 kasus.
Persoalannya, dia mengimbuhkan, dalam menjalankan tugas memberantas mafia tanah, Kementerian Agraria tidak bisa bekerja sendiri. Sebabnya, Kementerian Agraria tidak mempunyai peran penegakan hukum. Hal ini berbeda dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Lingkungan Hidup yang bisa menyidik dan menahan pelaku kejahatan.
“Kementerian ATR/BPN hanya menyajikan data. Dalam penegakan hukum kasus pertanahan kami tidak serta merta dapat melakukan penindakan seperti KLHK. Jadi, tetap harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan yang memutus adalah hakim,” ujarnya, pada awal April 2021.
Karena itu, kata dia, konsep PPNS Pertanahan dimasukkan dalam RUU Pertanahan agar Kementerian Agraria mempunyai peran lebih sebagai penyidik kejahatan di bidang pertanahan.
Ditambahkan Iing, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 perihal Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya juga terlalu rendah ancaman hukumannya, yakni hanya penjara 3 bulan dan denda Rp 5.000,- (Pasal 6 Ayat (1)). Ke depan, ia menuturkan, Kementerian Agraria ingin ada sanksi yang lebih berat bagi pelaku kejahatan pertanahan, termasuk permufakatan jahat (samenspanning) yang menimbulkan konflik di bidang pertanahan, sebagaimana Pasal 88 jo. Pasal 110 KUHP yang hanya untuk kasus korupsi.
Meski belum memiliki PPNS Pertanahan, Kementerian Agraria tetap melakukan pemberantasan mafia tanah bersama perangkat hukum lain. Iing mencontohkan kerja sama dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Hukum dalam kasus dugaan suap korupsi pengalihan tanah negara atau milik PTPN II Tanjung Morawa di Pasar IV Desa Helvetia, Deli Serdang, Sumatera Utara, yang menjerat pengusaha Tamin Sukardi.
“Dia (Tamin) tersangka, kemudian mengajukan praperadilan dan ditolak, setelah itu langsung penuntutan. Saya sebagai ahli Kejaksaan Agung dan KPK juga mengikuti sidang. Waktu itu dia menyogok hakim supaya hukumannya ringan. Itu keberhasilan kerja sama dengan Pidana Khusus mengenai aset-aset negara,” kata Iing.
Selanjutnya adalah kasus mafia tanah Lehar cs di Sumatera Barat. Lehar ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya dalam kasus mafia tanah karena mengklaim kepemilikan tanah seluas 765 hektare bekas Eigendom Nomor 1794 yang mencakup enam kelurahan di Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang.
Lehar, kata dia, menggunakan putusan pengadilan Landraad Nomor 90 tahun 1931 dengan objek gugatan seluas hanya 3,5 -5 hektare berdasarkan hasil pengukuran kadaster. Namun kenyataannya, eksekusi lahan dilakukan terhadap 765 hektare (ultra petita eksekusi) tanah masyarakat yang telah terbit sertifikat sebanyak 4.000 sertifikat.
“Di atas lahan tersebut telah ada lebih dari 5.000 kepala keluarga. Status tanah tersebut menjadi status quo dan tidak masuk ke sistem ekonomi negara, termasuk dalam hal menjaminkan dan mengalihkan hakya,” katanya.
Setelah Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat dijabat oleh ke Irjen Pol Toni Harmanto, Iing menimpali, Polda Sumatera Barat mengadakan gelar perkara bersama antara Kantor Pertanahan Kota Padang, Kanwil BPN Provinsi Sumatera Barat dan Kementerian ATR/BPN untuk mengurai persoalannya. Saya ikut mengawal kasus ini. Hasilnya, 5 orang BPN yang semula sebagai tersangka menjadi SP3 (Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan) karena peristiwa tersebut tidak cukup bukti, adapun yang menjadi mafianya, Eko Posko Malla Askar, langsung ditangkap dan divonis bersalah dengan hukuman penjara 2 tahun oleh hakim Pengadilan Negeri Padang dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Padang” kata Iing.
Inforial