Memulihkan kembali Industri Sutra Sulawesi Selatan
Sutra pernah menjadi produk unggulan di Provinsi Sulawesi Selatan sebelum produksinya menurun. Kajian rantai nilai komoditas sutra diharapkan dapat mendorong kebijakan berbasis bukti yang dapat mengembalikan kejayaan sutra di provinsi tersebut. Demikian bahasan “Seminar Hasil Kajian Rantai Nilai Komoditas Sutra: Mengembalikan Kejayaan Sutra Sulawesi Selatan” yang diselenggarakan secara daring pada Selasa, Februari 2021.
Acara ini diadakan oleh Yayasan BaKTI bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan (Bapelitbangda) Sulawesi Selatan dan Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo dengan dukungan dari Knowledge Sector Initiative (KSI). Seminar diadakan untuk memaparkan hasil kajian rantai nilai sutra di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel) yakni Enrekang, Soppeng dan Wajo. Selain tim peneliti yang memaparkan hasil kajiannya, acara ini juga menghadirkan sejumlah penanggap.
Direktur Yayasan BaKTI Muhammad Yusran Laitupa mengatakan kajian rantai nilai dimulai Agustus 2020 merupakan bagian dari pilot program penyusunan kebijakan berbasis bukti yang dilaksanakan Bapelitbangda Sulsel dan Yayasan BaKTI dengan dukungan KSI. “Sutra menjadi komoditas strategis karena rantai nilai sutra itu panjang, melibatkan banyak faktor dan berpotensi memulihkan perekonomian daerah pasca pandemi Covid-19,” ujarnya.
Kajian kolaboratif yang dilakukan Bapelitbangda Sulsel dan Yayasan BaKTI bersama pelaku pengetahuan lainnya dalam rangka menunjukkan cara penyusunan kebijakan berbasis pengetahuan ini diapresiasi Konsul Jenderal Australia di Makassar Bronwyn Robbins. Menurut Yusran Laitupa, penerapan pendekatan triple helix (melibatkan tiga aktor yakni pemerintah, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat ). Dalam kajian ini akan memperkaya perspektif yang akan sangat berguna bagi upaya mendorong kebijakan berbasis bukti. Dengan demikian, pemulihan industri sutra diharapkan bisa berperan dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Ketua Tim peneliti Andi Sadapotto, menjelaskan kajian yang berlangsung selama lima bulan ini menggunakan kerangka multi-disiplin. Aspek rantai nilai, kebijakan, penghidupan, ekonomi dan lingkungan, gender dan inklusi sosial dimasukkan di dalam kerangka tersebut. Menurut dia, pengembangan sutra mulai ada di Sulawesi Selatan pada 1950-an dan berkembang pesat di kawasan perdesaan.
Pada 1970-an, Sulawesi Selatan bisa menghasilkan 140 ton benang sutra per tahun. Namun, mulai 1980-an produksi sutra terus menurun. Saat ini, produksi benang sutra Sulawesi Selatan hanya 2,5 ton per tahun.
Tim peneliti menemukan penyebab menurunnya produksi sutra tersebut ada di sektor hulu, produksi dan manufaktur, serta hilir. Di sektor hulu, kendala yang ditemui antara lain menurunnya jumlah petani murbei dan pemelihara ulat sutra seiring dengan konversi lahan serta ketergantungan pada impor telur ulat sutra. Di sisi lain, kebijakan untuk memacu produksi tidak memiliki arah yang jelas dan penelitian terkait sektor hulu sutra berjalan sendiri-sendiri.
Di sektor produksi dan manufaktur, masalah yang muncul, antara lain adalah rendahnya kualitas kokon, terbatasnya alat pemintal, kurangnya pasokan benang lokal, hingga pelaku usaha pemintalan yang gulung tikar. Penenun mandiri sulit bertahan karena upah yang rendah. Untuk per lembar sarung sutra yang dikerjakan selama tiga hari, mereka menerima upah Rp 30.000. Tenaga kerja di sektor ini didominasi perempuan dengan tingkat pendidikan rendah.
Adapun di sektor hilir, kajian ini menemukan bahwa potensi pasar sutra lokal sebenarnya menjanjikan karena siklus hidup masyarakat Bugis Makassar sangat erat dengan sutra. Mulai dari ritual bayi lahir hingga acara adat maupun sosial, masyarakat harus memakai kain sutra. Namun, konsumen tidak bisa membedakan sutra asli dan campuran sehingga lebih memilih kain campuran dengan harga yang terjangkau.
Anggota tim peneliti Lusia Palulungan, menuturkan untuk mengembalikan kejayaan sutra Sulawesi Selatan berbagai upaya perlu dilakukan di sektor hulu, manufaktur dan produksi serta hilir sesuai dengan temuan masalah yang ada. Seluruh upaya tersebut harus didukung dengan kebijakan lintas sektor.
Sumedi Andono Mulyo dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), salah satu penanggap, mengapresiasi hasil kajian ini. Menurut dia, kajian ini membuktikan bahwa secara umum, akumulasi nilai tambah produk kurang dinikmati oleh pelaku usaha di tingkat pertama seperti petani, perajin maupun nelayan. Oleh karena itu, untuk membangun perekonomian daerah yang inklusif, nilai tambah harus bisa dinikmati mulai dari tingkat petani/nelayan/perajin hingga pedagang. “Dari kajian ini kami jadi tahu di sisi mana nilai tambah itu dan apa yang harus dilakukan, misalnya terkait upaya pengentasan kemiskinan,” kata dia.
Seminar ini menjadi sarana bagi Tim Kajian untuk mendapatkan masukan dan feedback pada hasil-hasil yang telah dipresentasikan, guna menyelesaikan laporan kajian. Perwakilan berbagai Dinas tingkat provinsi dan kabupaten, peneliti dan pengamat sutra Sulawesi Selatan, dan perwakilan beberapa kementerian turut hadir dan memberikan tanggapan pada sesi diskusi. Poin-poin yang disampaikan merupakan masukan berharga yang memperkuat laporan dan rekomendasi kebijakan dari kajian ini. Selanjutnya Bappelitbangda Sulsel, bekerja sama dengan Yayasan BaKTI, akan menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi dari kajian ini, ke dalam suatu kebijakan pemerintah provinsi guna memajukan komoditas sutra Sulawesi Selatan.
KSI mendukung pilot program yang menunjukkan suatu siklus penyusunan kebijakan berbasis bukti, di mana suatu agenda kebijakan prioritas daerah didukung melalui suatu kajian terapan yang menjadi dasar suatu kebijakan. Pelaksanaan kajian rantai nilai sutra di Sulawesi Selatan merupakan bagian dari pilot program tersebut. Dukungan ini diberikan KSI dalam rangka mengembangkan kebijakan pembangunan dengan menggunakan hasil penelitian, data dan analisis yang lebih baik di tingkat lokal. Model dan pendekatan yang dilaksanakan akan didokumentasikan supaya dapat direplikasi oleh Pemda Sulawesi Selatan dan wilayah lainnya di Indonesia.(*)
Inforial