Pelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir logis, analitis, dan sistematis. Sayangnya, bagi banyak siswa, pelajaran ini menyebabkan timbulnya emosi negatif, seperti takut gagal, yang malah merusak kemampuan mereka. Kondisi ini disebut sebagai kecemasan matematika.
Kecemasan matematika adalah perasaan tidak mampu, tegang, atau panik ketika berhadapan dengan operasi dan masalah matematika dalam situasi akademik dan sehari-hari. Salah satu faktor penyebab terjadinya kecemasan matematika adalah metode belajar yang tidak tepat.
Sebuah laporan dari University of Cambridge, Inggris, menggambarkan sifat dan resolusi atas apa yang disebut kecemasan matematika di kalangan siswa. Hasilnya, orang tua dan guru secara tidak sadar memainkan peran dalam perkembangan kondisi ini. Anak perempuan lebih rentan terhadap kecemasan ini.
"Kecemasan matematika setiap anak mungkin berbeda. Dengan asal dan pemicu yang unik, kami menemukan beberapa masalah umum di antara siswa sekolah dasar dan menengah yang kami wawancarai,” kata Denes Szucs, pemimpin penelitian dari Departemen Psikologi University of Cambridge.
Penelitian dilakukan terhadap 1.700 siswa di Inggris. Hasilnya, mereka merasa matematika lebih sulit daripada mata pelajaran lain. Siswa merujuk pada nilai buruk hasil tes atau perbandingan negatif dengan teman sebaya atau saudara kandung sebagai alasan untuk merasa cemas.
Orang tua dan guru berperan dalam perkembangan matematika anak-anak.
Ketika siswa ditanyai tentang peran guru dan orang tua dalam kecemasan matematika, anak-anak usia sekolah dasar sering mengatakan mereka bingung dengan metode pengajaran yang berbeda. Sedangkan bagi siswa sekolah menengah, transisi yang sulit dari sekolah dasar berkontribusi terhadap kecemasan matematika mereka.
Dalam penelitian yang dilakukan tahun lalu, para peneliti menunjukkan bahwa bukan hanya anak-anak dengan kemampuan matematika rendah yang mengalami kecemasan matematika. Ada sekitar 77 persen anak-anak dengan kecemasan matematika tinggi hingga normal malah berprestasi pada saat ujian matematika.
"Karena anak-anak ini berprestasi baik saat ujian, kecemasan matematika mereka tidak diketahui oleh guru dan orang tua mereka yang mungkin hanya melihat kinerja tapi bukan faktor emosionalnya,” kata Amy Devine, penulis pertama yang sekarang bekerja untuk Cambridge Assessment English.
Namun, Devine melanjutkan, kecemasan mereka mungkin membuat para siswa ini menjauhi pekerjaan yang berhubungan dengan sains, teknologi, teknik, dan matematika. “Padahal sebenarnya mereka akan mampu bekerja dengan baik di bidang ini,” kata dia.
Sebab, hampir bisa dipastikan dalam jangka panjang orang-orang dengan kecemasan matematika yang lebih besar memiliki kinerja yang lebih buruk daripada kemampuan matematika mereka yang sebenarnya.
Karena itu, para peneliti di Cambridge merekomendasikan agar guru lebih sadar akan kecemasan matematika dan pengaruhnya terhadap kinerja para siswa. “Guru, orang tua, dan teman sekelas dapat memainkan peran dalam membentuk kecemasan matematika anak,” kata penulis studi lainnya, Ros McLellan.
McLellan menyebutkan, orang tua dan guru harus memperhatikan bagaimana mereka tanpa disadari berkontribusi terhadap kecemasan matematika anak. "Mengatasi kecemasan dan sistem kepercayaan mereka sendiri dalam matematika mungkin merupakan langkah pertama untuk membantu anak-anak ini.”
Menurut para ahli, kecemasan matematika sering hadir pada usia muda, tapi juga dapat berkembang saat anak tumbuh. "Temuan kami harus menjadi perhatian nyata bagi para pendidik. Kita harus mengatasi masalah kecemasan matematika sekarang untuk memungkinkan orang-orang muda ini berhenti merasa cemas ketika belajar matematika dan memberi mereka kesempatan untuk berkembang," kata Szucs.
SCIENCE DAILY | TECH EXPLORIST | EARTH | FIRMAN ATMAKUSUMA