Odie Banoreza punya pemikiran dan sifat yang mungkin juga dimiliki mayoritas masyarakat Indonesia: terlalu sayang pada barang. Pria berusia 33 tahun yang berprofesi sebagai arsitek ini punya kecenderungan menyimpan aneka benda di rumahnya, meski tak lagi terpakai atau rusak.
Contoh paling sederhana adalah sepatu futsal. "Gue sampai menyimpan empat sepatu futsal. Padahal yang masih sering dipakai hanya satu,” ujar Odie kepada Tempo, Rabu lalu. "Ada sepatu yang sudah rusak, tapi tetap disimpan karena gue merasa sayang kalau dibuang.”
Ada banyak barang di kediaman Odie yang dibiarkan menumpuk walau tak terpakai, dari arloji, pemantik api yang ia koleksi, hingga meja kerja dan lemari. Rumah Oddie di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu pun jadi terasa sesak.
Sejak berkenalan dengan konsep hidup minimalis yang ia dapatkan dari menonton film dokumenter The Minimalist: Less is Now, di Netflix, Odie pun seakan-akan mendapat pencerahan. Dia jadi tersadar bahwa sebetulnya rasa sayangnya terhadap barang itu tak beralasan. Ia pun belajar "merelakan” barang-barang usang yang selama ini ia simpan.
Film ini mengisahkan perjalanan hidup Joshua Millburn dan Ryan Nicodemus, dari tak punya apa-apa, lalu bekerja, dan berhasil meraih impian mereka. Namun kemudian pandangan mereka tentang hidup berubah dan mulai menjalani konsep minimalis. Kisah itu membuka mata Odie. Ia pun lalu mulai membenahi rumahnya. "Gue sih enggak minimalis-minimalis banget. Tapi sekarang gue mulai belajar untuk tidak merasa terikat terhadap suatu barang.”
Setelah beberes rumah, Odie menginventarisasi barang-barang yang sudah tak lagi ia perlukan. Agar tak terbuang percuma, sejak akhir 2019, aneka barang yang masih bisa dipakai dan dalam kondisi bagus ia jual lewat salah satu wahana jual-beli daring. Dia juga melego beberapa barang koleksinya yang dianggap tak lagi relevan. "Gue jualin semua koleksi Zippo (pemantik api) karena sudah lama berhenti merokok. Sebagian besar koleksi jam tangan juga gue jual karena merasa cukup punya satu saja. Ada juga kursi bayi yang tak dipakai lagi karena anak gue sekarang sudah besar.”
Sebagian barang lain yang lebih sulit terjual, seperti lemari pakaian berusia tua, meja kerja yang hanya jadi tempat menaruh dokumen-dokumen lama, ia pindahkan ke bengkel kerjanya. "Ternyata malah jadi lebih bermanfaat karena bisa terpakai di workshop.” Kediaman Odie pun kini jadi lebih lega. Salah satu kamar di rumahnya yang dulunya dijadikan semacam gudang kini beralih fungsi jadi tempat bermain bagi anaknya. Dari hasil menjual sebagian koleksinya, Odie pun memperoleh pendapatan tambahan sebesar Rp 1,5 juta dalam waktu kurang dari sebulan.
Barang bekas yang dijual atau dibarter dalam sesi #salingsilang komunitas Lyfe With Less. Dok. Lyfe With Less
Dalam prinsip gaya hidup minimalis, salah satu "ajaran” penting adalah belajar ikhlas melepas barang yang dimiliki. Cara yang sering dipraktikkan adalah "satu masuk, satu keluar”. Menurut pelaku gaya hidup miminalis dan pendiri komunitas Lyfe With Less, Cynthia S. Lestari, dengan cara ini, kita belajar untuk tak menimbun barang-barang yang punya fungsi serupa.
Praktik paling sederhana dari “satu masuk, satu keluar”, misalnya, saat kita membeli baju. “Sebelum atau setelah membeli baju, kita membuang dulu baju milik kita yang dianggap sudah tak terpakai.” Tapi membuang pun tak asal mengenyahkan ke tempat sampah. Apalagi kalau barangnya masih layak pakai. Ada cara yang lebih bermanfaat, misalnya mendonasikannya ke lembaga amal, memberikan ke orang lain, atau, ya, dijual lagi.
Praktik "satu masuk, satu keluar” itu tak hanya bisa diterapkan untuk barang-barang yang kita pakai sehari-hari. Buku, mainan anak, perabot, dan kosmetik pun bisa dijual lagi ke orang lain lewat wahana jual-beli daring. Peminat barang-barang yang beken dengan istilah preloved itu pun banyak. "Biasanya, orang membeli barang preloved itu, selain untuk menghemat, karena sekadar ingin mencoba dulu. Daripada beli baru yang harganya mahal,” kata Cynthia.
Bersama komunitas Lyfe With Less, Cynthia beberapa kali mengadakan acara jual-beli atau tukar-menukar barang-barang layak pakai. Pertama kali sesi ini digelar saat pertemuan anggota komunitas pada Februari tahun lalu. Acara ini sempat terhenti karena pandemi Covid-19. Akhirnya, pada 14 Februari lalu, Cynthia menggelar sesi jual-beli dan tukar-menukar barang bekas lewat grup Telegram komunitas.
Di acara bertajuk #salingsilang itu, Cynthia bercerita, para anggota bisa saling menukar barang secara gratis (barter), menjual, ataupun memberikan secara cuma-cuma kepada yang berminat. Kebanyakan barang preloved yang ditawarkan adalah produk busana, tas, mainan anak, dan buku. “Acara semacam ini jadi solusi bagi mereka yang kebingungan mau menyalurkan ke mana barang-barang di rumah mereka yang tak lagi terpakai.”*
PRAGA UTAMA