Ursula Yulita
Penikmat wisata sejarah
Hagia Sophia, bangunan bersejarah yang pernah berfungsi sebagai gereja, museum, dan sekarang menjadi masjid, merupakan saksi sejarah ekspedisi Viking ke Istanbul. Di salah satu dinding bangunan yang berdiri di bekas ibu kota Byzantium itu, terdapat grafiti nama dalam huruf Viking, Halfdan.
Siapakah Halfdan, tidak ada yang tahu. Mungkin ia seorang pedagang atau bodyguard istana. Sebab, dalam salah satu catatan kuno, dikatakan bahwa orang Viking dipekerjakan sebagai bodyguard Kerajaan Byzantium, yang memiliki kekuasaan besar pada abad ke-10. Kalau memang benar begitu, apakah berarti orang Viking bukan hanya perampok dan penakluk bangsa lain seperti kita kenal selama ini?
Selain di Hagia Sophia, Viking meninggalkan jejak di Danelaw di Inggris dan Normandie di Prancis. Mereka lalu tinggal dan menetap di sana. Nenek moyang orang Skandinavia (Norwegia, Swedia, dan Denmark) ini memang melanglang ke berbagai tempat, dari Greenland dan Amerika Utara di barat, ke Novgorod (sekarang di Rusia), Konstantinopel, juga dari utara Lingkaran Arktik selatan ke Laut Mediterania. Rute perdagangan Viking, terutama di sepanjang aliran sungai Rusia, telah menghubungkan Eropa Utara dengan jaringan perdagangan Arab dan Kekaisaran Byzantium.
Karena ingin mengetahui lebih jauh tentang mereka, saya tertarik mengunjungi beberapa museum Viking yang banyak terdapat di Denmark. Museum pertama yang saya kunjungi beberapa waktu lalu berada di Lindholm Hoje atau Bukit Lindholm. Di bukit setinggi 42 meter dari permukaan laut di Kota Aalborg ini, berdiri museum ruang terbuka yang menggambarkan kehidupan masa lalu bangsa Viking.
Cuaca cukup cerah saat saya berangkat menuju Kota Aalborg dan sampai di kaki Bukit Lindholm. Setelah berjalan sebentar dari tempat parkir, saya melewati pintu kayu yang tidak terkunci menuju bukit. Tampak pohon-pohon beech Eropa—pohon nasional Denmark—menjulang dengan daun-daun rimbun. Setelah berjalan mendaki bukit sejauh sekitar 100 meter, saya sampai di atas bukit dan disambut angin semilir. Sementara itu, Kota Aalborg tampak di kejauhan.
Bukit ini tertutup hamparan bebatuan besar dan kecil, yang membentuk formasi tertentu. Itulah makam-makam yang digunakan selama 600 tahun, yaitu sejak masa akhir Iron Age pada 400 M sampai masa Viking Age, 1000 M. Terdapat hampir 700 makam di sini, yang ditandai dengan bebatuan. Ada yang berbentuk oval, lingkaran, segitiga, atau menyerupai kapal.
Pada makam berbentuk kapal, terdapat batu lebih besar di ujung lingkaran sebagai buritan. Perbedaan ini ternyata didasari jenis kelamin. Makam laki-laki berbentuk seperti kapal atau segitiga karena mereka pergi berlayar. Makam perempuan berbentuk oval atau lingkaran. Sebelum akhir masa Viking Age, seluruh area ini tertutup pasir akibat perpindahan pasir yang tertiup angin. Namun hal itu justru menyelamatkan makam-makam tersebut sampai ditemukan pada 1950-an.
Saya lalu masuk ke museum yang berada di depan makam ini setelah membeli tiket masuk seharga 75 kroner (sekitar Rp 150 ribu) per orang. Suasana di dalam museum terasa hangat. Desain interiornya banyak menggunakan unsur kayu dan warna-warna tanah. Belum lagi efek pencahayaan yang terdapat di berbagai sudut. Museum Lindholm menyimpan benda-benda arkeologis, seperti perhiasan, gerabah, peralatan dari kayu, dan tulang belulang, serta beberapa kerangka, baik yang ditemukan di dalam makam maupun di daerah sekitarnya.
Hal menarik di museum ini adalah lukisan-lukisan karya Erik Sørensen yang sangat detail dalam menggambarkan kehidupan bangsa Viking pada masa lalu, termasuk cara mereka membakar jenazah. Jenazah diletakkan di atas tumpukan kayu yang dibuat di atas liang lahat, dengan batu-batu di sekelilingnya. Setelah jenazah terbakar, sisa-sisa tulangnya akan dimasukkan ke dalam lubang, lalu ditutup tanah.
Lukisan-lukisan Erik Sørensen juga menggambarkan kehidupan sehari-hari petani Viking. Kita bisa melihat kehidupan di desa, lengkap dengan ternak-ternak, pakaian yang mereka kenakan sehari-hari, kondisi pasar, pandai besi, dan permukiman yang berada di dekat fjord—teluk yang terbentuk akibat lelehan gletser, yang banyak ditemukan di negara-negara Skandinavia dan Amerika Utara. Fjord memudahkan lalu lintas mereka menggunakan kapal.
***
Lukisan-lukisan Erik Sørensen yang ekspresif membuat saya ingin mengalami langsung kehidupan pada masa Viking Age yang berlangsung pada 750-1100 M. Karena itu, saya lalu melanjutkan perjalanan menuju Fyrkat, museum ruang terbuka di Kota Hobro. Di sini kita bisa mengalami kehidupan Viking di permukiman yang telah direkonstruksi.
Di museum ruang terbuka ini terdapat sembilan rumah yang dibangun di lahan pertanian. Itu merupakan rumah-rumah petani kaya pada masa pemerintahan Raja Harald Blåtand, yang dibangun berdasarkan reruntuhan yang ditemukan di Kota Vorbasse, South Jutland, yang berjarak sekitar 150 km dari museum ini.
Rumah-rumah beratap jerami tersebut awalnya dibuat dengan teknik seperti yang dilakukan pada zaman Viking. Rumah itu tidak memiliki fondasi dan tiang-tiang kayu penopangnya ditanam langsung di dalam tanah. Namun kelembapan tanah menyebabkan tiang-tiang kayu tersebut membusuk. Jadi, pada 2016-2018 dilakukan renovasi dengan membangun fondasi agar rumah-rumah di museum ini bisa bertahan lebih lama.
Saya lalu memasuki sebuah rumah panjang tanpa sekat. Di tengah-tengah rumah terdapat perapian yang sedang menyala. Sementara itu, di kiri dan kanannya diletakkan meja dan bangku-bangku kayu yang ditutup kulit binatang untuk menghangatkan badan. Ada pula alat tenun dengan benang-benangnya. Kayu-kayu bakar teronggok dan bertimbun di sudut rumah.
Di dalam rumah itu ada dua wanita. Mereka mengenakan baju khas Viking. Seorang wanita yang lebih tua sedang merajut di dekat pintu masuk. Ia mengenakan blus putih dengan rok panjang bertali. Di kiri dan kanan tali di bahunya terdapat bros motif Viking, lalu di bagian dadanya terdapat untaian batu. Sementara itu, seorang gadis sedang membuat tali kepang di ruang tengah. Ia mengenakan rok panjang berwarna kuning pucat, dengan jelujur benang berwarna hitam di bagian leher, tangan, dan bagian depannya.
Seorang penjual tiket menyarankan agar saya mencoba membuat roti ala Viking di rumah ini. Saya pun bertanya kepada gadis tersebut, dan ia menunjukkan adonan di atas meja yang telah siap dipanggang. Saya mengambil satu lembar adonan kecil.
Ia mengajak saya mendekati perapian, lalu memberikan semacam sutil besi bergagang panjang untuk meletakkan adonan roti. Saya memanggang roti itu di atas perapian selama beberapa menit. Setelah itu, roti dibalik dan dipanggang lagi beberapa menit. Selepas roti matang, saya pun mencicipinya. Rasanya sedikit gurih. Pasti nikmat disantap dengan irisan tipis daging panggang, hmmm....
Dari rumah ini saya menuju rumah kecil tempat pembuatan gerabah. Hanya terdapat satu meja dan satu kursi di dalam rumah tersebut. Sebuah rak tiga tingkat terdapat di dekatnya, tempat memajang gerabah yang sudah jadi. Tidak jauh dari rumah ini, ada rumah tukang kayu dengan perkakasnya. Pada masa itu, mereka membuat peralatan sendiri, dari gerobak, kereta kuda, furnitur, hingga peralatan makan untuk digunakan sehari-hari.
Ada salah satu rumah yang dijadikan museum kecil. Terdapat beberapa lukisan di dinding dan patung dari kayu seukuran manusia. Peralatan perang juga dipamerkan di sini, seperti pedang, anak panah, baju untuk berperang, dan tak ketinggalan helm Viking. Ternyata bentuknya sama seperti helm-helm perang pada masa itu, yang menutupi kepala dan tulang hidung. Tidak ada helm bertanduk seperti yang sering digambarkan selama ini.
Lalu dari mana gambaran helm bertanduk ini berasal? Rupanya tanduk pada helm Viking ditambahkan oleh seorang desainer kostum sebuah opera pada 1870-an untuk pertunjukan mereka. Namun justru helm bertanduk ini yang menjadi stereotip Viking hingga sekarang.
Sekitar satu kilometer dari permukiman, terdapat benteng cincin Viking (Viking ring fortress), yang merupakan satu dari lima benteng yang dibangun Raja Harald Blåtand pada 979-981 M. Benteng lain adalah Trelleborg di Slagelse, Aggersborg di Limfjorden, Borrering di Zealand, dan Nunbakken di Odense. Saya berjalan kaki ke sana menyusuri danau sambil menikmati semilir angin.
Tidak ada bangunan yang tersisa dari benteng yang berbentuk melingkar seperti cincin ini. Kawanan domba tampak sedang merumput di sekitarnya. Benteng yang disebut Fyrkatborgen ini sangat geometris. Jalan-jalan berpotongan di tengah-tengah benteng dan membagi benteng menjadi empat bagian yang sama.
Di masing-masing bagian terdapat blok yang terdiri atas empat rumah yang sama, dengan ukuran 28-32 meter, dan berada di dalam halaman berbentuk segi empat. Di rumah-rumah ini tidak ditemukan perapian. Sebab, rumah-rumah di sini diasumsikan tidak dijadikan tempat tinggal, melainkan tempat berlindung saat terjadi serangan musuh.
Setelah puas menikmati benteng unik ini, saya berjalan kembali ke permukiman. Lalu melanjutkan perjalanan ke museum terakhir, Museum Kongernes Jelling atau The Homes of the Viking Kings. Saya ingin mengetahui lebih jauh tentang Raja Harald Blåtand yang membangun Benteng Fyrkat.
***
The Homes of the Viking Kings di Kota Jelling itu merupakan museum modern yang menggunakan teknologi digital. Kita bisa menjelajahi serta mengalami dunia Viking dan sejarahnya dalam pameran interaktif. Pengunjung bisa membayangkan bagaimana rasanya duduk di sekitar perapian sambil mendengarkan kisah-kisah kehidupan ketika Viking akan berperang.
Di bagian yang disebut Stoneship, kita bisa melangkah ke dalam rangkaian batu berbentuk kapal. Dari sana akan muncul hologram diri kita yang dikelilingi para pejuang Viking. Ini museum yang keren. Tidak mengherankan jika pada November 2018 museum ini menerima penghargaan pariwisata British Guild of Travel Writer yang dipilih oleh juri yang terdiri atas 270 jurnalis profesional, blogger, penulis, dan editor. Museum ini menghidupkan sejarah Viking melalui efek khusus imajinatif menggunakan lampu, suara, hologram, dan gambar.
Kongernes Jelling juga menampilkan Raja Gorm the Old dan anaknya, Raja Harald Blåtand, yang berkuasa pada masa Viking Age. Setelah ayahnya meninggal pada 958, Raja Harald menggantikannya. Ia menguasai seluruh Denmark dan beberapa bagian Norwegia. Selain membuat benteng cincin, Raja Harald terkenal karena membuat prasasti yang dipamerkan di dekat gereja di kompleks museum ini.
Pada 960-985, Raja Harald Blåtand membuat prasasti di Jelling, dengan menorehkan kalimat di atas batu: “Raja Harald memerintahkan pembuatan prasasti ini untuk mengenang Gorm, ayahnya, dan Thyra, ibunya; Harald yang menaklukkan seluruh Denmark dan Norwegia, serta membuat orang Denmark menjadi Kristen.”
Prasasti ini diletakkan di depan gereja bersebelahan dengan prasasti yang dibuat Raja Gorm untuk istrinya, Ratu Thyra. Kata-kata yang terukir di atas batu itulah yang menyebabkan prasasti ini sangat penting bagi orang Denmark dan disebut sebagai akta kelahiran negara itu. UNESCO menetapkannya sebagai World Heritage pada 1994.
Raja Harald dibaptis menjadi Kristen pada 965 oleh seorang pastor dari Jerman bernama Poppo. Pada 1050, banyak gereja baru bermunculan. Sampai 1240, sebanyak 2.000 gereja dibangun, sebagian besar di puncak bukit. Jadi, jika kita berdiri di satu gereja, kita bisa melihat gereja lainnya untuk penanda jalan. Agama Kristen, yang menjadi agama resmi negara ini, kemudian berjalan beriringan dengan tradisi dan ritual Viking tanpa saling meniadakan.
Raja Harald memiliki nama kecil Blåtand, yang dalam bahasa Inggris berarti Bluetooth. Konon, ia kabarnya mendapatkan nama itu karena giginya yang rusak berwarna biru tua. Apakah nama ini ada hubungannya dengan teknologi komunikasi data tanpa kabel yang kita kenal sekarang? Tentu saja. Saat tiga perusahaan raksasa, yaitu Ericsson, Intel, dan Nokia, bekerja sama membuat teknologi ini pada 1996, Jim Kardach dari Intel mengusulkan nama Bluetooth.
Alasannya, seperti halnya Raja Harald Bluetooth yang berhasil menyatukan Skandinavia, teknologi Bluetooth juga berhasil menyatukan teknologi telepon seluler dan komputer. Nah, tanpa kita sadari, dunia Viking telah berada dalam genggaman kita sejak lebih dari dua puluh tahun lalu. *