Perkawinan anak pada usia dini masih menjadi masalah di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Perkawinan ini memiliki kerentanan dari sisi kesehatan, terutama kesehatan jiwa pada anak.
Dokter spesialis jiwa dari OMNI Hospitals Pulomas, Jakarta, Jimmi Aritonang, mengatakan secara psikologi, perkawinan anak bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri. Emosi anak pun tidak berkembang dengan matang. Kepribadiannya menjadi cenderung tertutup, mudah marah, putus asa, dan mengasihani diri sendiri.
Berbagai risiko itu timbul lantaran anak belum siap menikah. "Belum siap menjadi istri, pasangan seksual, atau menjadi orang tua," katanya dalam perayaan Hari Anak Universal, pekan lalu.
Berdasarkan data, angka perkawinan anak di Indonesia terhitung tinggi. Menurut data dari badan Persatuan BangsaBangsa yang memberikan bantuan kemanusiaan dan kesejahteraan pada anak (UNICEF), pada 2016, perkawinan anak di Indonesia berada di peringkat ketujuh dunia. Sedangkan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, usia pernikahan wajar adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun bagi lakilaki. Mereka yang menikah di bawah usia 18 tahun dianggap tidak wajar karena usia yang belum matang, kondisi mental belum stabil, serta organ intim dan reproduksi sedang berkembang.
Menurut Jimmi, perkawinan anak juga menyebabkan gangguan kognitif, semisal tidak berani mengambil keputusan, sulit memecahkan masalah, serta terganggunya memori. Di sisi lain, tuntutan bersosialisasi dalam masyarakat atau menghadapi pandangan masyarakat bisa membuat anak tertekan dan cenderung menutup diri dari aktivitas sosial. Akibatnya, produktivitas anak menurun. Peluangnya untuk melanjutkan pendidikan juga kian tertutup.
Jimmi menjelaskan, remaja perempuan yang hamil dan melahirkan cenderung rawan mengalami gangguan mental setelah melahirkan, seperti depresi, lantaran terjadi perubahan hormon. Selain itu, gangguan itu disebabkan kelelahan, tekanan mental, dan merasa kurang mendapat bantuan saat melahirkan.
Gangguan mental dan kesehatan ibu hamil, Jimmi melanjutkan, berkaitan erat dengan kondisi anak yang dilahirkan. Ia berujar anak yang dilahirkan rawan mengalami gangguan mental, seperti down syndrome, serta berisiko mendapat berbagai masalah kesehatan, emosional, dan sosial jika dibanding anakanak yang lahir dari pernikahan usia matang.
Health Claim Senior Manager Sequis, Yosef Fransiscus, mengatakan anak secara fisik belum matang untuk melakukan hubungan seksual, hamil, dan melahirkan. Ia menyatakan, dalam perkawinan usia anak, rentan terjadi dominasi oleh pasangan yang lebih tua. Pasangan yang lebih muda pun mungkin tidak berani meminta hubungan seks dengan alat pengendali kehamilan. Padahal, kata Yosef, hubungan seksual yang dilakukan pada usia dini secara terpaksa dan tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi akan memicu kemungkinan kerusakan organ intim. "Efek lainnya adalah hilangnya kemampuan orgasme dan kemampuan ovulasi atau hamil dalam jangka panjang," ujarnya.
Senada dengan Jimmi, Yosef menuturkan ada kerentanan kesehatan pada bayi yang dilahirkan, misalnya cacat lahir yang mengakibatkan tulang belakang bayi gagal berkembang. Akibatnya, terbentuk celah pada tulang belakang dan saraf tulang belakang.
Menurut laporan Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia yang dilakukan Badan Pusat Statistik dan UNICEF pada 2016, perkawinan anak memiliki dampak pada bayi yang dilahirkan. Dampaknya antara lain risiko kematian lebih tinggi dan berkemungkinan dua kali lebih besar meninggal sebelum berusia satu tahun. Bayi yang dilahirkan pengantin anak juga memiliki kemungkinan lebih tinggi lahir prematur, dengan berat badan lahir rendah dan kekurangan gizi.
Selain itu, anakanak yang dilahirkan dari ibu yang berusia kurang dari 19 tahun memiliki risiko hambatan pertumbuhan atau stunting sebesar 3040 persen selama dua tahun dan kegagalan menyelesaikan sekolah tingkat menengah. Ada kemungkinan pula anakanak mereka sulit mendapatkan kesempatan mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, berada dalam kondisi yang terbelenggu kemiskinan, serta kerentanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Diketahui juga, 85 persen anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikannya setelah menikah. Namun keputusan ini pun dapat diakibatkan hal lain, seperti kurangnya kesempatan bekerja. Anak perempuan dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih tidak siap memasuki masa dewasa dan berkontribusi, baik kepada keluarga maupun masyarakat. Mereka juga kurang mampu memperoleh penghasilan dan memberikan kontribusi finansial bagi keluarga. Halhal tersebut dapat meningkatkan angka kemiskinan. DIKO OKTARA