Booming perusahaan rintisan (start-up) di Indonesia ternyata memicu para pekerja Indonesia berpengalaman internasional untuk pulang kampung. Perusahaan konsultan perekrutan profesional global Robert Walters mencatat bahwa lebih dari separuh pekerja Indonesia di luar negeri yang teregistrasi dalam basis data mereka telah kembali dan memilih perusahaan rintisan di bidang teknologi informasi.
"Mereka kebanyakan bekerja di sektor teknologi informasi (IT) dan mengincar profesi seperti software engineer, software developer, dan product manager," kata International Candidate Manager Robert Walters Indonesia, Raynaldi Inaray, di Jakarta akhir pekan lalu.
Raynaldi mengatakan ada ratusan ribu WNI yang menetap dan bekerja di luar negeri. Mereka enggan pulang ke kampung halaman karena kualitas kehidupan serta besar gaji di dalam negeri dianggap lebih rendah dibanding di negara mereka bekerja. "Nah, sejak perusahaan start-up menjadi booming di Indonesia, mereka mulai tertarik bekerja di dalam negeri," kata dia.
Saat ini, setidaknya terdapat 1.559 perusahaan start-up di Tanah Air. Jumlah ini berada pada urutan ketiga terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Perusahaan-perusahaan tersebut telah menarik 56 persen dari ribuan pekerja Indonesia di luar negeri yang teregistrasi dalam basis data Robert Walters untuk pulang. Lebih dari 80 persennya mengincar perusahaan rintisan yang bergerak di bidang teknologi informasi.
Para profesional internasional yang kembali itu dijaring melalui program pulang kampung yang dibuka sejak 2015. Perusahaan yang berdiri sejak 1985 itu menghubungkan pekerja Indonesia di luar negeri dengan perusahaan start-up yang membutuhkan tenaga ahli di dalam negeri.
"Dengan memanfaatkan jaringan Robert Walters di 28 negara, sebanyak 3.000 orang telah mendaftarkan diri," kata Raynaldi. "Peran kami seperti penjembatan dan juga advisor bagi kandidat pekerja Indonesia di luar negeri, serta perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia yang ingin menarik mereka. Kami berbicara tentang peluang yang ada di Indonesia. Itu yang utama."
Raynaldi juga mengatakan banyak kandidat pekerja Indonesia di luar negeri yang belum ingin kembali ke Indonesia karena berbagai alasan, seperti pertimbangan ekonomi, kultur bekerja, hingga infrastruktur yang tak memadai. Namun mereka tak menekankan soal remunerasi dan infrastruktur untuk menarik mereka pulang. Kebanyakan profesional yang memilih kembali ke Indonesia mengambil keputusan setelah mendapat penjelasan tentang jenjang karier yang menjanjikan di sebuah perusahaan rintisan, ide dan inovasi yang terbuka, dan kesempatan lebih dekat bersama keluarga.
Dalam soal jenjang karier, misalnya, profesional tertarik karena di negara sebelumnya mereka berada di posisi non-manajerial, sementara di Indonesia mereka bisa menduduki posisi manajerial. "Di Indonesia, kesempatan berkarya masih berkembang. Mereka juga punya kesempatan lebih dekat bersama keluarga dan orang tuanya," kata dia.
Raynaldi menyarankan agar perusahaan di Indonesia menawarkan gaji yang lebih kompetitif-mungkin tidak setara dengan gaji mereka di luar negeri, tetapi kompetitif untuk Indonesia. Perusahaan juga harus memperhatikan tiga motivasi utama kandidat yang sudah kembali dan bekerja di Indonesia untuk mempertahankan mereka, antara lain dengan menerapkan budaya perusahaan, hubungan yang lebih dekat dengan CEO dan manajemen, serta rasa nasionalisme.
Meskipun gaji dan tunjangan menempati posisi teratas dalam motivasi untuk bergabung dengan perusahaan di Tanah Air, yaitu sebesar 68 persen, perusahaan mesti memiliki faktor penguat lain. Human Resource Manager Robert Walters Indonesia, Rachma Fauzie, menambahkan, sebanyak 48 persen kandidat menyatakan kepercayaan pada potensi pertumbuhan perusahaan sebagai motivasi utama. Sebanyak 42 persen lainnya menyatakan hubungan dekat dengan manajemen sebagai motivasi utama, sementara itu 36 persen lainnya mengemukakan alasan-alasan yang bersifat nasionalisme.
Sementara itu, peneliti dari Institute Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan pekerja Indonesia di luar negeri bakal mengincar lapangan pekerjaan di industri digital dalam negeri, seperti Go-Jek, Tokopedia, dan Bukalapak. "Mereka tak sulit beradaptasi jika berada dalam kultur dan coworking space yang sangat Barat dan itu yang mereka incar," Bhima mengungkapkan. "Bukalapak butuh berapa, Go-Jek berapa, ini yang mereka lirik."
Bhima mengatakan 1,1 juta penduduk Indonesia pindah ke luar negeri dengan berbagai alasan. Dari jumlah itu, 94,30 persen beralasan mencari pekerjaan, alasan belajar 2,45 persen, menemani pasangan 2,37 persen, alasan politik serta sosial 0,06 persen, dan alasan lainnya 0,82 persen. MUHAMMAD KURNIANTO