Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Kementerian Kesehatan tengah menggodok mekanisme pembiayaan asuransi kesehatan kombinasi antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan asuransi swasta. Hal itu diungkapkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, pekan lalu. Konsep yang diusung ialah membuat kelas khusus bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari golongan yang dianggap kelas menengah-atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Budi Gunadi, desain pembiayaan asuransi saat ini membuat masyarakat kaya mendapat lebih banyak manfaat dari layanan JKN ketimbang masyarakat miskin. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, kata dia, jumlah peserta JKN non-penerima bantuan iuran (PBI) lebih banyak ketimbang peserta PBI. Total peserta BPJS Kesehatan saat ini mencapai 247 juta orang dengan rincian: sebanyak 96 juta peserta PBI dan sisanya non-PBI yang terdiri atas pekerja penerima upah (PPU), pekerja bukan penerima upah (PBPU), serta bukan pekerja (BP).
"Dengan diterbitkannya aturan baru nanti, pemerintah berharap tidak ada lagi praktik klaim ganda dan jangkauan program JKN menjadi lebih luas," kata Menteri Kesehatan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Kunta Wibawa, menuturkan mekanisme kombinasi pembiayaan yang akan digunakan, pembagian porsi pemerintah dan swasta dalam pembiayaan layanan kesehatan dan penerimaan premi, serta penilaian masyarakat kaya dan miskin masih dibahas oleh pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Budi menjelaskan, sebenarnya pemerintah telah memiliki konsep kombinasi pembiayaan untuk layanan kesehatan, yakni coordination of benefits (CoB) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018.
Namun, dalam penyelenggaraannya kerap terjadi klaim ganda. Untuk meningkatkan CoB, pemerintah telah melakukan beberapa kali revisi aturan. Salah satunya adalah Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatur petunjuk teknis peserta asuransi kesehatan tambahan jaminan kesehatan (AKT JK).
Para peserta AKT JK terdaftar sebagai peserta JKN dan peserta asuransi kesehatan tambahan swasta. Dalam aturan ini, BPJS Kesehatan berkedudukan sebagai penjamin dan pembayar pertama. Sementara itu, asuransi kesehatan tambahan sebagai penjamin dan pembayar kedua. Terbaru, untuk memenuhi target universal health coverage dengan capaian 98 persen penduduk menjadi peserta JKN, pemerintah juga menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang optimalisasi JKN.
Selain klaim dari kalangan orang kaya yang dianggap membebani negara, Menteri Kesehatan menilai pembagian kelas perawatan saat ini membuat orang kaya membayar sedikit premi, tapi bisa mendapat manfaat dari layanan JKN untuk menangani penyakit yang membutuhkan biaya mahal. Hal itu dinilai oleh Budi Gunadi membebani negara.
Saat ini sistem yang dianut dalam BPJS Kesehatan adalah single pool, dengan seluruh peserta dimasukkan ke dalam satu kantong yang sama, termasuk dalam hal pengumpulan iuran. Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, sistem yang dianut oleh JKN ialah prinsip gotong royong. “Orang yang sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin, yang muda membantu yang tua.”
Keuangan BPJS Kesehatan Surplus
Aktivitas pelayanan BPJS Kesehatan di Jalan Proklamasi, Jakarta, 7 September 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Ghufron juga menyebutkan keuangan BPJS Kesehatan surplus sejak 2021. Pada tahun lalu, jumlah iuran peserta mencapai Rp 143,33 triliun, dengan jumlah klaim Rp 90,33 triliun. Jumlah iuran ini lebih tinggi dibanding pada 2020 yang sebesar Rp 139,85 triliun dengan total klaim Rp 95,51 triliun. Sementara itu, dari 1 Januari sampai 31 Oktober 2022, total iuran yang terkumpul mencapai Rp 114,39 triliun, yang terdiri atas Rp 37,59 triliun PBI dan Rp 76,8 triliun dari peserta non-PBI. Dari sisi kepesertaan, peserta JKN pun menunjukkan kenaikan. Pada 2020, jumlah peserta JKN sebanyak 222 juta jiwa, lalu naik menjadi 235 juta jiwa pada 2021, dan tahun ini total kepesertaan BPJS ditaksir mencapai 247 juta jiwa.
Dominasi klaim peserta kaya dibenarkan oleh dosen Fakultas Kedokteran UNS, Tonang Dwi Ardyanto. Menurut dia, pemilihan skema single pool memiliki konsekuensi kelompok non-PBI, seperti PBPU dan BP, menggunakan lebih banyak dana JKN daripada peserta PBI. Hal ini karena semua iuran JKN terkumpul menjadi satu dan digunakan secara bersama-sama.
“Kita sejak awal memilih skema single pool. Artinya, semua iuran JKN itu dari kelompok mandiri ataupun kelompok bukan mandiri dikumpulkan menjadi satu. Setelah itu, digunakan bersama-sama. Karena pilihan itu, kelompok mandiri menggunakan lebih banyak dana JKN. Hal ini bukan kesalahan mereka,” ujarnya.
Menurut Tonang, tidak ada yang salah dengan sistem single pool karena maksud dan tujuan awalnya adalah berusaha memenuhi jaminan kesehatan bagi warga mampu ataupun warga tidak mampu. Ia menjelaskan bahwa pemilihan sistem single pool harus dibarengi dengan pemerataan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. “Dengan pemerataan, semua peserta memiliki akses yang sama ke pelayanan kesehatan. Syarat itu belum bisa kita penuhi,” tuturnya.
Data yang ada di BPJS Watch menunjukkan bahwa selama ini penggunaan dana JKN didominasi oleh peserta non-PBI. Pada 2014, contohnya, porsi klaim rawat inap dan rawat jalan oleh peserta PBI hanya 37,11 persen, sedangkan peserta non-PBI mencapai 259,4 persen. Meski begitu, jumlah dana klaim peserta PBI pun meningkat dari tahun ke tahun,. Walaupun tetap tidak lebih besar klaim peserta non-PBI. Selanjutnya, pada 2018, klaim JKN oleh PBI mencapai 43,62 persen dan non-PBI 235,51 persen.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan ketimpangan besaran klaim JKN terjadi karena pemerintah belum mampu mengakomodasi biaya mobilisasi masyarakat miskin ke fasilitas kesehatan, utamanya fasilitas kesehatan rujukan yang jauh dari tempat tinggal mereka. Timbul mengimbuhkan, biaya hidup dan operasional penunggu pasien juga memakan biaya tidak sedikit. Sementara itu, warga mampu memiliki fasilitas yang dibutuhkan seperti mobil ketika dirujuk ke kota atau provinsi. “Semangat yang seharusnya dibangun adalah bagaimana meningkatkan akses orang miskin terhadap pelayanan JKN,” ujar Timboel. Dia mengungkapkan bahwa pemerintah tidak boleh berhenti menyediakan layanan kesehatan, dan harus memastikan masyarakat miskin dapat mengakses layanan tersebut.
Sementara itu, anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Agus Suyatno, mengatakan hal yang mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah ialah meninjau kembali data peserta JKN dan memastikan tidak ada golongan orang mampu yang menjadi peserta PBI.
JIHAN RISTIYANTI | NOVA YUSTIKA | FRANCISCA | GHOIDA RAHMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo